KEMBANG BAKUNG
“Menggigil tapi
badannya panas, Bu,” kata Mang Karta menceritakan keadaan anaknya, Siti. “Sejak
dua hari yang lalu panasnya, Bu.”
“Kenapa tidak
dibawa ke Puskesmas?”
“Katanya mau
sama Ibu saja.” Mang Karta diam beberapa saat. “Maafkan anak saya, Bu, sudah
semakin kurang ajar sama Ibu.”
Saya meneguk
segelas air putih, mengambil tas stetoskop, mewadahi obat ke dalam plastik;
lalu keluar rumah.
Bik Minah
mencegat saya di pintu. “Katanya Ibu mau mandi, air hangatnya sudah siap,”
katanya.
“Nanti saja, Bik,
saya nengok Siti dulu,” kata saya. Lalu berangkat dengan Mang Karta.
Hari menjelang
maghrib. Saya sebenarnya baru sampai setelah tiga hari ada keperluan ke kota. Yang
dimaksud kota adalah Sumedang, ibu kota kabupaten, atau Bandung, ibu kota
propinsi. Karena keperluan saya ke Bandung, sekalian saya mampir ke rumah Om
Ardi, adik Ayah.
Pulang dari
Bandung bukanlah perjalanan ringan bagi saya. Berdesakan di elf dari terminal
Cicaheum, kadang berjam-jam ngetem di Cibiru. Sampai di Cadas Pangeran,
dilanjutkan dengan angkutan umum sampai Ciwening. Terakhir naik ojek selama
satu jam, melewati perkebunan penduduk, tepi hutan, dan jalan berbatu. Bila
musim hujan tiba seperti sekarang, lebih sengsara lagi. Jalanan licin, motor bisa
terpeleset di mana saja. Untungnya ada beberapa tukang ojek tetangga saya yang
siap mengantar atau menjemput saya kapan saja, selalu hormat dan menjaga saya.
Badan Siti
memang panas, 38.7 derajat celcius. Tapi anak itu seperti tidak merasakannya.
Saya kasih parasetamol dan vitamin.
“Bu, jadi kita
belajar bahasa Inggris itu?” tanyanya.
“Tentu dong,
tapi Siti harus sembuh dulu,” jawab saya. “Pasti gara-gara hujan-hujanan lagi,
ya?”
Siti tersenyum. “Besok juga sembuh, Bu,” katanya
yakin.
@@@
Untuk membaca lebih lanjut, KLIK ini.
0 Response to "KEMBANG BAKUNG"
Posting Komentar