Kambing Kang Abing - Cerpen Harian Fajar
Di kampungku Kang Abing termasuk tokoh yang terkenal. Setiap
menjelang Hari Raya Idul Adha banyak orang yang mencarinya. Kambing peliharaan
Kang Abing memang selalu tampak sehat, bersih, gemuk dan gagah. Orang yang akan
berkurban akan merasa puas dengan udhiyah
seperti itu. Makanya keberadaan kambing Kang Abing tidak pernah melewati hari tasyriq.
“Apa rahasianya, Kang, kok kambing Kang Abing gemuk-gemuk
dan sehat?” Saya pernah bertanya seperti itu.
“Ah, sama saja dengan yang lain. Dikasih makan rumput dan
pakan fermentasi. Bukan sok gengsi, tapi itulah caranya mengirit biaya pakan
dan menyederhanakan pekerjaan. Jadi bisa memelihara kambing yang banyak,” kata
Kang Abing. “Tapi mungkin ini termasuk rahasianya, saya itu dalam memelihara
kambing melibatkan perasaan. Makanya bila ada kambing yang sakit saya suka ikut
sakit.”
“Nah, itu mungkin rahasianya, Kang. Makanaya dinamai Kang
Abing, bakal hebat dalam memelihara kambing.”
“Huss! Persoalan tidak nyambung disambung-sambung!”
Konon, Kang Abing dulunya seperti kebanyakan orang
kampung, hidup dalam kemiskinan. Pekerjaan tidak tetap, jadi buruh tani saat
mengolah kebun, kadang memelihara kambing tapi kambing milik orang lain. Sekali
waktu Kang Abing mendapat hadiah anak kambing saat panjat pinang hari
kemerdekaan.
Setelah anak kambing itu dipelihara Kang Abing, badannya
semakin besar dan sehat. Saat menjelang Idul Adha kambing Kang Abing terjual
dengan harga mahal. Dari hasil penjualan kambingnya itu, Kang Abing kemudian
membeli empat anak kambing. Begitu ceritanya sampai kemudian Kang Abing menjadi
pengusaha kambing yang terkenal.
Kepandaian Kang Abing dalam memelihara kambing sudah
terlihat dari harga kambing yang ditawarkan. Pasaran tahun ini harga kambing
untuk kurban sekitar dua sampai tiga juta rupiah. Nah, harga kambing Kang Abing
paling murah tiga juta rupiah. Si Tanduk, kambing kebanggaan Kang Abing, malah berani
dibeli empat juta lima ratus ribu rupiah oleh Pak Haji Sorbana. Tapi saat Si
Tanduk mau diambil dari kandung, hewan itu lepas dari kandang. Kang Abing dan
dua orang pegawainya tentu heran, kenapa Si Tanduk bisa melepaskan palang-palang
kayu dan kuncian kandang yang kokoh?
“Kenapa kalian sudah buka palang-palang kayunya?” kata
Kang Abing kepada dua orang pegawainya.
“Belum dibuka, Kang. Kami juga tidak tahu kenapa Si
Tanduk lepas.”
Tapi begitulah yang terjadi. Seharian Kang Abing dan
kedua pegawainya mengejar-ngejar Si Tanduk, kambing yang biasanya penurut itu
tidak tertangkap juga. Tidak tersentuh bulunya sekalipun. Padahal biasanya Si
Tanduk sangat jinak. Saat dijemur setelah dimandikan, anak Kang Abing yang baru
delapan tahun, malah suka menungganginya seolah Si Tanduk adalah seekor kuda.
Tapi kejadian hari itu memang diluar perkiraan. Si Tanduk
kabur ke kebun-kebun. Warga kampung yang sedang bekerja di kebun kemudian
membantu menangkap Si Tanduk. Tapi hewan untuk kurban itu selalu bisa
melepaskan diri. Dia naik ke undakan kebun paling atas. Saat para pengejarnya
ikut naik, Si Tanduk turun lagi dengan meloncati semak-semak. Sampai sore, Si
Tanduk tidak tersentuh bulunya sekalipun. Sementara orang-orang yang
mengejarnya, terduduk kelelahan.
Pak Haji Serbana akhirnya membatalkan membeli Si Tanduk.
Anehnya, setelah Pak Haji Serbana pulang, Si Tanduk pun pulang ke kandangnya.
Sehari menjelang Idul Adha, ada orang kota yang mencari udhiyah berani membeli Si Tanduk lima
juta rupiah. Kang Abing tentu saja sangat setuju. Tapi saat Si Tanduk mau
dibawa, dia lepas lagi dari kandang. Orang kota itu membatalkan membeli Si
Tanduk. Kang Abing yang sebenarnya orang sabar, terpancing juga untuk marah.
“Dasar, hewan tidak berotak! Kalau tertangkap, saya jual
sejuta rupiah sekalipun!” kata Kang Abing saat kelelahan mengejar-ngejar Si
Tanduk.
Saat itu hari sudah mulai gelap. Para pengejar melangkah
gontai di jalan kampung. Betapa terpananya mereka saat melihat di kejauhan Si
Tanduk sedang diusap-usap seorang kakek. Kang Abing akhirnya menghampiri kakek
dan Si Tanduk.
“Kambing yang gagah, gemuk, bersih, sangat bagus menjadi udhiyah. Bapak tahu, ini kambing punya
siapa?” kata kakek itu dengan airmata yang tidak bisa disembunyikan.
“Kakek, kenapa menangis?” Kang Abing malah balik bertanya.
“Bertahun-tahun Kakek ini menabung ingin berkurban. Tapi
sampai tahun ini uang yang terkumpul tidak cukup. Maklum kakek hanya pekerja
serabutan yang sering menahan lapar dibanding ada uang untuk ditabung. Tahun
kemarin Kakek berkeliling mencari kambing untuk kurban, tapi tidak ada yang pas
dengan uang tabungan Kakek. Tahun ini pun, setelah berhari-hari mencari ke
berbagai kampung, juga malah ditertawakan orang.”
“Berapa uang tabungan Kakek?”
“Satu juta rupiah.”
Kang Abing ingat saat dia marah. Dia mengumpat akan
menjual Si Tanduk sejuta rupiah sekalipun. Maka sambil ikut mengelus-elus Si
Tanduk, Kang Abing berkata, “Kambing ini sepertinya milik Kakek. Saya memang
akan menjualnya satu juta rupiah.”
Kakek itu terpana mendengarnya. Linangan air mata tidak
bisa lagi disembunyikannya.
Sejak itu Kang Abing sering melamun. Kepada pegawainya
dia berkata sambil berurai airmata, “Saya ini bertahun-tahun berbisnis kambing.
Sudah bisa membuat rumah bagus, terbeli kebun dan sawah, terbeli mobil dan
motor, menyekolahkan anak-anak. Tapi belum sekalipun punya kemauan untuk
berkurban.” ***
Cerpen ini dipublikasikan harian Fajar (Makasar) 12 Juli 2020
0 Response to "Kambing Kang Abing - Cerpen Harian Fajar"
Posting Komentar