KISAH RINGAN


cerpen basabasi

Kisah Nanang
Tahun 1986 tidak akan terlupakan dalam hidup saya. Menginjak usia 25 tahun, tidak seperti biasanya, dipestakan segala. Bukan, bukan dipestakan dengan mengundang teman dan kerabat, ada acara tiup lilin dan potong kue. Tapi dipestakan berdua dengan pacar saya yang cantik, Euis Moemaneh.
Makan-makan di restoran yang agak mahal dari biasanya, dan Euis memberi kado.
“Terima kasih kadonya. Pasti isinya buku,” kata saya menebak. Euis sudah hapal bila saya suka membaca. Kadang suka ketak-ketik juga membuat karangan, mengirimkannya ke koran atau majalah, meski belum pernah ada karangan saya yang diterbitkan.
“Buka saja bila ingin tahu,” katanya sambil tersenyum.
Tentu saja saya terkejut waktu membuka kado, karena isinya buku yang berjudul Bumi Manusia, novel karangan Pramudya Ananta Tour. Buku itu termasuk yang diberhentikan distribusinya. Hasil sitaannya di toko dan perorangan kemudian dibakar. Pengarangnya adalah salah seorang pemimpin Lekra, lembaga kesenian yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia.
“Beli dari mana?” tanya saya sambil membuka buku selembar demi selembar.
“Ah, tidak usah tahu. Yang jelas, Euis ingin memberi yang paling berharga.”
Selesai makan-makan lalu nonton film India di bioskop Palaguna. Pulang nonton Euis ada janji mengantar kakaknya berlatih cianjuran di Cibiru. Setelah Euis naik bemo, saya lalu ke Masjid Agung untuk sholat ashar yang terlewat. Selesai sholat saya duduk-duduk di teras sambil membaca buku. Tidak kuat juga saya menunda membaca sampai di rumah.
Baru saja selembar saya baca, waktu membuka lembaran berikutnya, terlihat di kejauhan, di bangku alun-alun, ada juga yang sedang membaca buku. Saya tersenyum. Neneng Cingut. Tidak terlalu kenal sebenarnya. Hanya beberapa kali bertemu di acara sastra  di gedung kesenian Rumentang Siang. Termasuk familiar Neneng Cingut di acara-acara sastra. Setiap diskusi selalu paling dulu bertanya.
“Saya hampir setiap minggu mengirim puisi, tapi mengapa belum juga dimuat?” Neneng Cingut pernah bertanya sepeti itu kepada Pak Saini KM dalam acara diskusi di Akademi Seni Tari Indonesia. Pak Saini KM, selain sastrawan terkenal, juga mengasuh rubrik sastra di salah satu koran.
Tentu saja pertanyaan seperti itu mengundang tawa peserta diskusi lainnya. Termasuk saya. Bubar diskusi saya ngobrol dengan Neneng Cingut, terutama karena pengalaman dia adalah pengalaman saya juga.
Sampai waktu itu, waktu selesai membaca selembar novel Bumi Manusia, waktu terlihat Neneng Cingut sedang membaca di bangku alun-alun, tidak ada yang aneh di pikiran saya. Tapi waktu terlihat ada yang menghampiri Neneng Cingut, lalu duduk di sebelahnya, mendadak ada yang membesar di dalam dada saya. Buku Bumi Manusia saya tutup. Neneng Cingut juga menutup bukunya, lalu melayani berbincang dengan yang baru datang.
Saya tidak akan melupakannya meski sudah tujuh tahu tidak bertemu. Dudung, ya dia adalah Dudung. Nama yang tidak benar-benar terhapus di dalam hati saya. Meski saya mencoba melupakannya, meski saya selesai sholat, nama Dudung masih ada di tempat paling gelap di hati saya. Waktu saya melihatnya lagi, yang sakit di dalam hati ini muncul kembali....

Untuk baca selanjutnya, KLIK ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KISAH RINGAN"

Posting Komentar