KEMBANG BAKUNG

cerpen kembang bakung yus r. ismail

“Menggigil tapi badannya panas, Bu,” kata Mang Karta menceritakan keadaan anaknya, Siti. “Sejak dua hari yang lalu panasnya, Bu.”
“Kenapa tidak dibawa ke Puskesmas?”
“Katanya mau sama Ibu saja.” Mang Karta diam beberapa saat. “Maafkan anak saya, Bu, sudah semakin kurang ajar sama Ibu.”
Saya meneguk segelas air putih, mengambil tas stetoskop, mewadahi obat ke dalam plastik; lalu keluar rumah.
Bik Minah mencegat saya di pintu. “Katanya Ibu mau mandi, air hangatnya sudah siap,” katanya.
“Nanti saja, Bik, saya nengok Siti dulu,” kata saya. Lalu berangkat dengan Mang Karta.
Hari menjelang maghrib. Saya sebenarnya baru sampai setelah tiga hari ada keperluan ke kota. Yang dimaksud kota adalah Sumedang, ibu kota kabupaten, atau Bandung, ibu kota propinsi. Karena keperluan saya ke Bandung, sekalian saya mampir ke rumah Om Ardi, adik Ayah.
Pulang dari Bandung bukanlah perjalanan ringan bagi saya. Berdesakan di elf dari terminal Cicaheum, kadang berjam-jam ngetem di Cibiru. Sampai di Cadas Pangeran, dilanjutkan dengan angkutan umum sampai Ciwening. Terakhir naik ojek selama satu jam, melewati perkebunan penduduk, tepi hutan, dan jalan berbatu. Bila musim hujan tiba seperti sekarang, lebih sengsara lagi. Jalanan licin, motor bisa terpeleset di mana saja. Untungnya ada beberapa tukang ojek tetangga saya yang siap mengantar atau menjemput saya kapan saja, selalu hormat dan menjaga saya.
Badan Siti memang panas, 38.7 derajat celcius. Tapi anak itu seperti tidak merasakannya. Saya kasih parasetamol dan vitamin.
“Bu, jadi kita belajar bahasa Inggris itu?” tanyanya.
“Tentu dong, tapi Siti harus sembuh dulu,” jawab saya. “Pasti gara-gara hujan-hujanan lagi, ya?”
Siti tersenyum. “Besok juga sembuh, Bu,” katanya yakin. 
@@@

Untuk membaca lebih lanjut, KLIK ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KEMBANG BAKUNG"

Posting Komentar