Senyum yang Indah


Perempuan itu selalu tersenyum setiap saya memandangnya. Saya membalas senyumnya dengan hati bergetar. Tidak pernah saya berani menatapnya. Saya cepat membungkus nasi, membubuhinya dengan tempe atau tahu goreng, sambal, dan sedikit kuah. Perempuan itu tersenyum sekali lagi begitu menerima nasi bungkus, mengangguk sebagai ucapan terima kasih, lalu pergi entah ke mana.
Saya ikuti langkah kakinya yang tenang sampai menghilang di belokan. Beberapa jenak saya melamun, sampai pembeli berikut datang. “Sudah rutin, ya, perempuan itu mengambil jatah di sini?” Sering langganan warung saya bertanya seperti itu. Saya mengangguk dan tersenyum.
Saya memang terkesan dengan senyum perempuan itu. Senyum yang indah. Senyum yang diam-diam saya rindukan dari semua orang. Senyum yang tidak pernah saya dapatkan selama tiga puluh tahun merantau di Jakarta yang sibuk ini. Tapi begitu saya mendapatkannya dari perempuan itu, saya malah tidak bisa menikmatinya secara penuh. Hati saya selalu berdebar. Bila memandang matanya yang sejuk itu, mata saya jadi perih.
“Kamu ini aneh. Masak ada senyum seindah itu, sampai kamu ingat terus,” kata Kang Nanang, suami saya, ketika malamnya kami ngobrol.
“Saya tidak bohong, Kang. Rasanya bahagia bisa melihat senyum seindah itu. Tapi, kok, juga ada perasaan sedih. Entah oleh apa.”
Kang Nanang mencubit pipi dan memeluk saya erat-erat. Kalau sudah begitu saya tidak bisa cerita lagi.
**
Perempuan itu rutin datang ke warung saya selepas maghrib saat pembeli tidak ada. Dia berdiri di pinggir pintu. Kalaupun pembantu saya yang memergokinya, dia pasti bilang kepada saya. Saya memang menganjurkan seperti itu. Saya ingin setiap hari membungkuskan nasi buatnya dan melihat senyumnya.
Saat ini semakin banyak gelandangan di Jakarta. Para pengamen memenuhi bus kota dan perempatan jalan. Tidak perduli suaranya tidak memenuhi syarat. Saya pernah melihat ada yang masih balita membawa kecrekan, alat musik sederhana dari tutup botol minuman ringan yang dipaku di sebilah kayu, dan menyanyi dengan suara cadel. Para pengemis semakin berlomba menjual kesedihan dengan memamerkan cacat dan bayi yang menangis.
Udara kota memang makin menggerahkan. Sejak nilai tukar rupiah menurun tajam, yang diikuti naiknya semua harga dan bangkrutnya banyak perusahaan, napas semakin sesak. Apalagi koran selalu menulis, korupsi di tingkat atas sampai bawah, tidak pernah bisa diselesaikan. Begitu rakus manusia saat berhadapan dengan materi. Diam-diam saya takut mengalami hidup seperti itu. Hidup dengan hati yang membatu.
Pemerintah kemudian malah menaikkah harga dasar bbm (bahan bakar minyak), telepon dan listrik. Berbarengan semuanya. Sehingga harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Demonstrasi menentangnya terjadi di mana-mana, di kota besar dan kecil. Tapi presiden cukup menanggapinya dengan: “Kita harus hidup sederhana.” Ucapannya itu diberitakan koran-koran berbarengan dengan peringatan ulang tahun keluarga presiden yang menghabiskan empat milyar rupiah di hotel mewah, berbarengan dengan keluarga presiden dan wakilnya menonton kelompok musik menghabiskan ratusan juta rupiah. Begitu menyesakkannya hidup di negeri yang kacau, negeri dimana pemerintah dan wakil rakyatnya penuh borok.
Kerja keras dan keuletan rupanya tidak membawa hasil berarti. Setiap malam, saat menghitung penghasilan, saya selalu berkerut kening memisah-misah untuk belanja esok hari, menyimpan buat gaji dua pembantu, sewa tempat, bayar listrik, dan lain-lain. Ah, tapi ini barangkali masalah warung nasi kecil seperti yang saya kelola. Mungkin untuk kafe yang semakin menjamur dan harganya mahal itu tidak ada masalah seperti ini. Apalagi di hotel-hotel yang sekali makan saja bisa sampai berjuta-juta. Dengan dihibur artis-artis cantik, pelayan-pelayan cantik, sulap yang semakin populer, para eksekutif itu membayar sekali ‘makan malam’ seharga ratusan nasi bungkus. Makan, ternyata tidak lagi berarti memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Tapi juga pesta, pengalaman, penghargaan, dan membekukan kepedulian terhadap sesama. Karena berbarengan dengan pesta-pesta itu, seperti diberitakan koran, gelandangan semakin banyak di kota-kota, dan di desa-desa tertentu diam-diam masyarakat makan tiwul.   
Sementara pelanggan saya hanya para pekerja yang seharinya tidak membawa uang banyak. Sopir mikrolet, tukang kredit, tukang bakso gerobak, mahasiswa perantauan dari keluarga pas-pasan, dan pegawai kecil yang sekali makan berusaha tidak lebih dari tiga ribu lima ratus rupiah. Untungnya memang tidak begitu banyak. Tapi dengan tekun mengumpulkan yang sedikit, hidup bisa dijalani. Dengan tenang. Dengan indah. Kadang dengan keharuan yang tidak jelas.
Saya memang sudah membiasakan diri sejak merantau dan membuka warung nasi untuk berbagi kepada gelandangan yang biasa mampir di depan warung. Dan di saat krisis ini, saat pengeluaran diperketat, pemberian jatah kecil untuk gelandangan tidak bisa saya kurangi, malah justru ditambah karena jumlah mereka juga bertambah.
Meski setiap gelandangan yang sering lewat di depan warung tahu bahwa saya rutin memberi makan alakadarnya, tapi tidak semua gelandangan memanfaatkannya. Mungkin yang kalah bersaing saat mengemis atau mencari sesuatu yang bisa dijual yang melakukannya. Sementara yang mendapat rejeki hari itu tidak mampir ke warung saya. Barangkali mereka tahu bahwa warung kecil saya akan bangkrut bila diminta terlalu banyak. Jatah alakadarnya itu dikhususkan bagi mereka yang tidak kuat menahan lapar hari itu.
**
Tidak ada yang saya harapkan dari beberapa orang gelandangan yang setiap hari saya beri sedikit nasi dan lauknya itu. Mereka tidak punya apa-apa. Ke mana-mana memakai baju yang itu-itu saja. Bagaimana mengharapkan bayaran dari mereka?
Mereka yang setiap lepas maghrib mampir itu memang tidak pernah bicara. Tapi mata mereka sudah merupakan jutaan kalimat yang mengharukan dan meminta pengertian. Mereka menatap makanan yang terpajang di dalam kaca, sampai saya atau siapa saja yang menunggu warung memergokinya dan membungkuskan nasi dan satu potong tahu atau tempe goreng.
Hanya kepada perempuan yang usianya saya rasa tak lebih dari 40 tahun, tapi kotor dan tampak tua itu, saya mengharapkan sesuatu. Saya menginginkan sebuah senyum yang indah darinya. Senyum yang selalu membuat saya bergetar, menangis, dan bersedih. Dan perempuan itu memang selalu tersenyum setiap mampir di depan warung saya.
**
Seperti gelandangan lainnya, perempuan itu juga tidak pernah bicara. Tapi lewat tatapan matanya dan senyumnya, kami sering berdialog. Kami membicarakan banyak hal. Saling mengadu. Dari setiap pertemuan, saya memunguti kisah hidupnya, menyusunnya bersama menjadi perhiasan yang tak ternilai bagi saya.
“Saya bahagia hidup seperti ini,” bisiknya sekali waktu. Saya mengangguk dan tersenyum tanda memahami. Saya pun membayangkan perjalanan seorang perempuan yang bertahun-tahun ditinggal pergi suaminya entah ke mana. Dia datang ke  Jakarta karena bingung. Di desa setiap orang membicarakannya. Dengan ijazah SMA dia menjalani hidupnya, melawan ketidakberdayaannya.
Tubuhnya memang tidak sempurna untuk menjadi seorang model. Dia tidak tinggi. Tapi wajahnya yang bersih dan ceria cukup menarik perhatian setiap orang. Saat menjadi karyawan sebuah swalayan, banyak lelaki menggodanya, dari teman kerja sampai pengunjung. Tapi dia tahu semuanya iseng. Dia mau kalau ada yang serius menikahinya. Tapi siapa yang mau serius dengan janda berusia tiga puluhan yang asal-usulnya pun tidak jelas?
Setelah swalayan tempatnya bekerja terbakar, bersama ribuan karyawan lainnya dia kehilangan pekerjaan tanpa pesangon. Mulailah dia menjalani hidup yang tragis. Dia mengerjakan apa saja seperti mencuci dan membantu memasak. Tapi itu tak cukup untuk hidup sederhana dan menyewa kamar kontrakan. Banyak memang kenalannya menawari kerja di tempat hiburan atau kafe. Tapi semua itu mesti dibarengi dengan tambahan servis genit sampai memenuhi ajakan kencan. Dia tidak mau melakukan itu. Dia melawan kesombongan Jakarta. Sampai nasibnya berubah besar ketika tiga orang pengunjung  tempatnya bekerja di karaoke – pekerjaan yang dia terima dengan keterpaksaan – memberinya minuman berobat, membawanya ke sebuah rumah dan memperkosanya.
“Tapi saya bahagia,” kata perempuan itu, yang meninggalkan pemerkosanya begitu saja, tidak mengambil uang yang diberikan kepadanya. “Saya bahagia bisa menolak siapa pun yang mengajak untuk menjual diri. Saya menikmati hidup, meski kenalan saya bilang saya sok dan kolot,” lanjut perempuan yang kemudian menggelandang dan diperkosa berkali-kali itu. “Saya sudah melawannya. Saya tidak merasa kalah. Saya bahagia. Saya ingin mati diam-diam, sambil tersenyum, sambil menikmati begitu indahnya lapar yang sangat.”
**
Semakin hari saya dengan perempuan gelandangan itu semakin akrab. Meski waktu bertemu hanya beberapa menit, tapi kami berdialog semakin panjang. Kami sama-sama yakin bahwa kebahagiaan ada dalam prinsip hidup, bukan dalam hasilnya. Karena itu, ketika banyak yang menyarankan agar warung saya diubah menjadi kafe dengan penunggu wanita-wanita muda yang cantik, saya menolaknya. Meski rincian penghasilan mereka gampang dimengerti.
“Saya ingin bahagia dan merasakan keindahan senyum perempuan gelandangan itu,” kata saya. Memang, setiap orang yang mendengar alasan saya, termasuk Kang Nanang, sulit mengerti. Berkali-kali saya menerangkannya, tapi mereka tetap menganggap saya mengada-ada. ***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Senyum yang Indah"

Posting Komentar