Sophia


Sophia masih duduk di bangku taman. Matanya tidak lepas dari kolam. Angin menyisir pipinya, menggeraikan rambutnya yang panjang berkilau karena tertimpa cahaya bulan. Diantara bunga-bunga yang tertunduk malu, Sophia adalah bunga terindah yang pernah kulihat.
Sejak mataku menangkap keanggunan wajah Sophia dengan latar belakang senja yang menakjubkan, tidak ada kedip di kelopakmataku. Aku takut kehilangan pemandangan ini barang sedetik. Aku tahu, alam akan berubah cepat. Aku tidak mau seperti seseorang yang bergumam lirih, “Begitu indah pemandangan senja, sayang cepat berlalu.” 2
Tapi ini barangkali senja yang lain. Senja yang menularkan keindahannya kepada apapun dan siapapun. Juga kepada malam yang kemudian datang bersama bulan dan ribuan bintang. Keindahan abadi, dari senja yang lain, karena apa? Aku merasa Sophia yang menjadikan senja begitu lain.
Dari sini, dari luar pagar taman, masih tanpa berkedip aku melihat Sophia dengan latar belakang keremangan malam di taman. Sebuah tas ransel penuh yang mengisyaratkan perjalanan panjang, tergeletak di sampingku. Daripada terganggu dalam perjalanan, aku pikir lebih baik menunda keberangkatan. Aku ingin menuntaskan kepenasaranku kepada Sophia.
Perjalanan ke Negeri Cahaya memang mengisyaratkan lepas dari apapun dan siapapun yang ada di dunia ini. Aku masih punya raga yang perlu dipenuhi kebutuhannya, tapi tidak menjadikannya begitu penting. Mata boleh melihat, telinga boleh mendengar, perut boleh makan, hidung boleh menghirup; tapi semua itu lebih indah setelah nafs menggantikan tugasnya.3 Bertahun-tahun aku mempersiapkan diri setelah seluruh indera dan elemen di tubuhku selalu bermimpi tentang perjalanan ini. Dan untuk terakhir kali, aku ingin memandang Sophia, si kekasih gelap yang selama ini membuatku mengurungkan perjalanan.
Tapi lama-lama memandangnya, aku seperti seorang mahabiksu yang terpesona kecantikan selir raja.4  Dan aku pun seperti Mishima yang ragu. Aku ingin masuk ke dunia Sophia dan menjadikan ketersesatan adalah keindahan. Aku ingin menikmati bagaimana memabukkannya bibir Sophia, bagaimana menenggelamkannya kedalaman mata Sophia, bagaimana menerbangkannya geraian rambut Sophia, bagaimana menggelincirkannya kulit Sophia. Atau segera berangkat, melakukan perjalanan mengikuti jalan cinta yang bercahaya dari kedalaman nafs yang tak terkirakan sebelumnya, dan mengubur segala yang berbau Sophia.
“Tapi apalah artinya sebuah perjalanan, jika tidak menghantui seseorang,” kata sebuah suara, entah dari mana.
**
Niat melakukan perjalanan itu bermula dari sebuah puisi. Membacanya dalam kelengangan pukul 12 malam, aku seperti berada di dunia lain. Dunia ketentraman, keindahan, sekaligus juga dunia airmata. Aku rasa perjalanan adalah puisi yang lain. Maka aku berkemas; mengumpulkan kata-kata, mengepak perumpamaan, dan membungkus sebanyak-banyaknya sunyi.
“Tapi ingat, seperti juga puisi, perjalanan tidak punya target,” kata Acep, teman yang tadinya akan melakukan perjalanan bersama, tapi tidak jadi karena tidak bisa meninggalkan goyang dangdut.
Baru kuperhatikan, teratai ternyata hanya mekar malam hari. Untuk siapa keindahan bunga teratai?
**
Nyatanya, di taman ini, keberangkatanku tertahan. Tidak saja oleh Sophia, si gadis anggun dengan latar malam yang mempesona. Tapi juga oleh keinginan menjadi hantu. Apa artinya keberangkatan bila tidak menghantui yang ditinggalkan? Sementara perjalanan harus bersih dari segala keinginan dan harapan.
Angin menyisir pipi begitu perih. Dan sunyi kolam menghipnotis kesadaranku. Pelan-pelan, Sophia menghampiriku.
“Mengapa memandangku seperti itu?” katanya.
Aku tergagap. “Seperti apa?”
“Seperti kamu memandangku.”
Aku menggeleng. “Aku tak punya perbendaharaan kata-kata untuk menerjemahkannya.”
“Hanya itu?”
Aku berangkat diantar senyum Sophia. Aku tidak tahu, apakah berjam-jam pandanganku telah menghantuinya. Tapi yang jelas, berabad-abad perjalananku, aku berusaha membunuh Sophia, dan gadis itu tak mati-mati. ***
                                                                                              Bandung, 2001


1. Sophia (bahasa Yunani, artinya kebijaksanaan), menurut Al-Biruni adalah kata dasar shufi. Populer di kalangan remaja Indonesia setelah Sheila On 7 menyanyikan lagu Sefhia. Alumni IAIN Bandung pun ikut-ikutan menerbitkan jurnal filsafat bernama Sophia.
2. Dalam cerita silat China klasik, dengan mengutif puisi-puisi seangkatan Wang Wei atau Li Tai Po, sering dijumpai seorang tokoh yang berdiri memandang senja dengan suasana mengharukan. Dan dia akan berucap lirih: “Begitu indah senja di langit Barat, sayang cepat berlalu.”
3. An-nafs adalah istilah dalam bahasa Arab, berkaitan dengan nafas, jiwa, esensi, diri dan nature. Menurut Syaikh Muzaffer Ozak, seorang guru shufi pimpinan Tarekat Halveti-Jerrahi Turki yang mengajarkan shufisme di Amerika Serikat, an-nafs merujuk kepada apa yang dihasilkan dari interaksi antara raga dan ruh.
4 Suatu senja, seorang mahabiksu yang telah bertahun-tahun memasuki dunia bathin, terpesona seorang selir raja dengan seperangkat daya tarik materialnya. Adegan dalam cerpen Imam Kuil dari Shiga dan Kekasihnya karangan Mishima itu seringkali mengganggu saya. Saya rasa Mishima adalah peragu. Tapi waktu lain, saya merasa saya yang selalu ragu.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sophia"

Posting Komentar