Bulan di Langit Kota


Malam belum begitu tua. Bulan yang bersinar penuh tersaput gumpalan awan hitam. Sejak pagi sampai malam, di jalan-jalan kendaraan memang tidak berhenti, mengeluarkan gas beracun, mengotori langit. Pada dasarnya, ketidakindahan alam, manusia juga yang membikinnya. Berulangkali saya memahami kebenaran pernyataan itu. Benarkah? Benarkah ketidakindahan, manusia juga yang membikinnya? Termasuk cinta?
Dari tingkat 20 sebuah hotel saya memandang betapa sibuknya Jakarta. Di langit, bulan begitu suram. Di sepanjang jalan, lampu-lampu berkilatan seolah berlomba menyemprotkan sinarnya. Diskotik, rumah makan, pub, mulai sibuk. Para pegawai yang baru pulang, berjajar menunggu mobil angkutan. Mereka begitu kecil, seperti liliput, dari sini. Atau mungkin mereka benar-benar liliput dalam gemuruh kota Jakarta.
Entah sejak kapan, dalam pergaulan hidup dengan jutaan manusia di sini, saya merasa begitu sendiri, begitu sepi. Segala tempat yang katanya menghibur, tak lebih dari penggumpalan kepenatan. Saya tetap merasa kehilangan, kehilangan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa itu.
Apa yang tersisa dari sepi selain separuh kenangan? 1 Ya, untungnya saya masih punya kenangan. Apa jadinya hidup manusia seandainya tidak punya kenangan. Mungkin tidak ada bedanya kita dengan robot. Tapi, apa sekarang saya bukan robot? Jelas bukan, karena robot tidak mungkin datang ke tingkat 20 sebuah hotel untuk menunggu seseorang. Seseorang dengan rambut sepunggung bergelombang dan bermata teduh dan berbibir mungil. Ah ya, saya begitu kangen kepadanya. Sudah sebulan saya tidak bertemu dengannya.
Saya ambil telepon genggam dan pijit-pijit nomornya.
“Halo.”
“Kenapa lama, Sayang?”
“Jalannya agak macet.”
“Sekarang di mana?”
“Sebentar lagi sampai. Paling lima menit lagi.”
“Saya sudah kangen.”
“Saya juga.”
**
Dua hari dua malam saya bersama Siska menghabiskan waktu di sebuah kamar tingkat 20 sebuah hotel. Begitu kangen kami. Ke mana-mana selalu berdua sambil berpegangan tangan. Saya belai rambutnya, keningnya, pipinya, matanya, lehernya. Saya cium pelan dan lembut, lalu bergelora, bergelora seperti ombak yang tidak pernah berhenti. Kami ingin menumpahkan seluruh rasa kangen yang menggumpal di dada.
Setiap pagi dan malam kami duduk-duduk di beranda, memandang keluasan langit dan keramaian jalanan.
“Siska, apa kita harus berpisah lagi setelah ini?” kata saya saat kami duduk-duduk di beranda pada malam kedua.
“Kita bisa janjian lagi nanti.”
“Tapi kamu tahu apa yang ada di pikiran dan hati saya, Sayang?”
“Tentang apa?”
“Tentang kita. Saya tidak bisa melupakanmu.”
“Sama.”
“Beda Siska. Saya memang mengatakan hal seperti ini kepada pasangan saya sebelumnya. Kepada Caroline, Ratna, Ineke, Nisa, dan entah kepada siapa lagi. Tapi setiap mengenang kamu, saya merasa berbeda. Saya begitu rindu dengan keteduhan sebuah rumah, tempat kita menjadi pengasuh anak-anak mungil. Saya ingin menikahimu, Siska. Saya ingin membangun sebuah keluarga, seperti yang pernah dilakukan ibu-bapak kita.”
Siska tertawa.
“Kenapa tertawa, Sayang?”
“Kamu bermimpi. Kita tidak mungkin melakukan itu.”
“Kenapa? Kita toh belum pernah menikah dengan siapapun.”
“Tapi saya punya laki-laki lain dan kamu punya perempuan lain.”
“Kita bia putus, Sayang, putus.”
“Ah, saya tidak bisa mengerti pikiran kamu.”
Di langit, bulan bersinar redup, seperti tidak bergairah. Cahayanya berpendar-pendar ingin menembus gumpalan awan hitam. Angin yang berhembus menyampaikan bau buangan kendaraan. Sayup-sayup suara klakson bersahutan. Jalanan macet lagi.
“Tapi saya mencintaimu, Siska. Sangat mencintaimu.”
“Saya juga cinta.”
“Cukup dengan ini menikmati cinta?”
“Ya. Bila kangen kita bisa janjian.”
Saya remas-remas tangan Siska. Saya cium keningnya dengan lembut. Siska terpejam. Begitu bersih wajahnya. Saya dekap erat-erat seolah tidak akan melepaskannya lagi.
“Kamu tidak bohong, Siska? Kamu tidak ingin kita menikah, punya rumah, punya anak-anak yang lucu, punya taman yang penuh dengan bunga-bunga? Setiap sore kita menyiramnya. Kita ajarkan kepada anak-anak bahwa hidup mesti seperti bunga, tetap indah meski tumbuh di tempat sampah. Kamu tidak rindu suasana seperti itu, Siska?”
Siska merangkul saya erat-erat. Tangannya menjelajah punggung saya. Bibirnya naik mencari bibir saya.
**
Perkenalan saya dengan Siska terjadi begitu saja, sepele, seperti perkenalan dengan wanita-wanita lainnya. Saya sedang makan siang di sebuah kafe saat seorang wanita berambut sebahu bergelombang, memakai rok sejengkal di atas lutut, datang dan duduk di meja pojok. Beberapa lama saya perhatikan, dia sendirian dan sepertinya tidak sedang menunggu seseorang. Saya titipkan kepada pelayan secaraik kertas untuk diberikan kepada wanita itu. Bunyi surat itu: “Saya sendirian, anda sendirian, kenapa kita tidak bersama?” Lalu saya tulis nomor telepon genggam saya. Dia tersenyum setelah membaca surat itu, lalu mengeluarkan telepon genggam dari tasnya dan memijit nomor saya. 2
Selanjutnya keluar kafe bersama dan janjian di suatu tempat. Selanjutnya kami sering janjian dan menumpahkan segala hasrat di tempat tidur.
Perkenalan yang sepele. Perkenalan gampangan seperti saya mengenal Ratna, Devi, Shara, Gladis, dan entah siapa lagi. Tapi tidak sepele setelah saya sering melihat matanya, senyumnya, geletar bisikannya, getaran tangannya. Saya menemukan dunia lain yang tidak bisa diberikan wanita-wanita kenalan lainnya. Mengingat Siska, ingatan saya tidak hanya jatuh di tempat tidur, seperti saya mengingat wanita-wanita lainnya.
Mengingat Siska saya disadarkan akan adanya keindahan yang lain. Keindahan sebuah rumah dengan anak-anak mungil dan taman-taman bunganya. Saya ingin memberikan sesuatu kepada kehidupan di masa depan saat saya sudah tidak ada. Saya ingin mewakilkan rasa cinta ini kepada anak-anak saya dan Siska.
Tapi Siska tidak mau. “Kita cukup janjian kalau kangen,” katanya. Memang banyak wanita dalam hidup saya. Si Tante, seorang istri pengusaha kaya yang menjadi pasangan kencan pertama saya yang kemudian memberi saya anak perusahaannya. Lalu teman-teman kerja saya, rekan bisnis saya, kenalan-kenalan saya di tempat hiburan, dan entah kenalan di mana lagi. Tapi saya juga yakin, laki-laki dalam hidup Siska tidak hanya saya dan Si Bapak yang membelikannya sebuah rumah di Pondok Indah beserta keperluan lainnya.
Apakah bagi manusia seperti saya dan Siska, cinta hanya berupa kenangan dan keinginan? Bagi saya tidak. Kegerahan dan kesunyian hidup yang selama ini saya jalani bisa dihempaskan dengan cinta. Dan hanya pada mata Siska saya menemukan getaran-getaran itu.
**
“Saya mencintaimu, Siska,” bisik saya saat kami bertemu di sebuah kamar lantai 20 sebuah hotel.
“Saya juga.”
“Apakah cinta hanya sampai pada keadaan seperti ini?”
Siska tidak menjawab. Tangannya tidak berhenti mempermainkan rambut saya.
“Saya ingin menikah, Siska.”
Siska tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Kamu bermimpi.”
“Kenapa bermimpi?”
“Kita tidak bisa menikmati hidup seperti itu.”
“Lalu apa artinya cinta?”
“Cinta itu saat bibirmu bergetar mencium mata saya. Cinta itu, ya seperti ini.”
Dua hari dua malam saya dan Siska tidak keluar dari sebuah kamar di lantai 20 sebuah hotel. Begitu selesai malam kedua, seperti biasa, Siska berkemas, mencium kening saya dan mengucapkan selamat tinggal.
Saya menatapnya sampai Siska keluar kamar. Dari beranda saya melihat mobil Siska menyusuri jalan, mengecil, dan menghilang. Tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya, sesuatu yang saya sendiri tidak tahu.
***






1 Bait pertama dari puisi The Wedding Song karangan Cecep Syamsul Hari
2 Saya membaca perkenalan seperti ini di sebuah majalah terbitan Jakarta, tanggal penerbitannya tidak tercatat. Saya sering khawatir dengan materialisme yang memungkinkan pergaulan seperti ini. Kata seorang teman, itulah kekhawatiran seorang yang tidak mapan secara ekonomi. Barangkali iya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bulan di Langit Kota"

Posting Komentar