GEHU PEDAS




Tabloid Nova, 3 November 2014

“Gehuuu pedaass...!” Suara anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun itu begitu melengking.
“Sebentar Kak, mau gehu pedas ya?” tanya Atun. Aku tersenyum. Atun ke depan rumah memanggil pedagang gehu pedas. Sudah satu minggu aku membimbingnya membuat skripsi. Daftar buku sudah dibeli. Metode penulisan sudah aku terangkan. Tapi seperti tidak berkembang karena Atun malas membaca. Jangankan seluruh buku yang ada di daftar, satu judul pun belum selesai.
Aku mengikuti Atun ke depan rumah. Selalu ada naluri di dalam hatiku untuk mengetahui segala sesuatu tentang gehu pedas. Gehu pedasnya lumayan besar. Terigunya tipis, tapi cukup memberi dugaan permukaannya kering dan renyah.
Atun membeli sepuluh biji gehu pedas. Ketika dia ke dalam rumah membawa uang, aku membeli lagi sepuluh biji.
“Sepuluh lagi?” tanya anak pedagang gehu pedas itu seolah tidak percaya.
“Dibungkus saja. Ini uangnya, kembaliannya bawa saja.” Aku memberikan uang selembar seratus ribu rupiah. Anak pedagang gehu pedas itu memandangku lama. Tangannya gemetar. Lalu tersenyum. Dari sudut matanya seperti ada yang mau mengalir tapi cepat diusapnya.
“Kakak baru dapat bayaran mengajar kursus,” kataku sambil tersenyum. “Semoga gehu pedasnya laku keras. Salam buat keluargamu, ya.”
Anak pedagang gehu pedas itu mengangguk. “Terima kasih, Kak,” katanya hampir tidak terdengar. Ketika Atun keluar dia juga terkejut begitu tahu aku membeli lagi sepuluh biji gehu pedas.
“Punya Kakak sudah dibayar. Tinggal punya Atun,” kataku cepat. “Kakak ingin membawa ke rumah. Sepertinya gehu pedasnya sangat enak.”
“Kalau begitu kenapa dibayar duluan,” kata Atun protes. Tapi kemudian tersenyum. Kami masuk lagi ke dalam rumah.
Kami makan gehu pedas dulu sambil ngobrol tentang apa saja. Atun menawariku nasi karena menyangka aku lapar. Membahas skripsi terganggu lagi karena kemudian Atun menerima telepon dari ibunya. Ibunya sudah menunggu di restoran masakan Jepang. Ibunya menyuruh membahas skripsinya di restoran saja sambil makan. Tapi aku memilih pulang.
**
Gehu paling enak di seluruh dunia, sepengetahuanku, adalah gehu pedas buatan Ibu. Aku selalu terkenang bagaimana Ibu mengiris kol, wortel dan cabe. Sampai sekarang, usiaku dua puluh enam tahun, sudah lulus kuliah, jadi asisten dosen di almamaterku, kecepatanku mengiris wortel masih kalah dibanding Ibu.
Saat usiaku sepuluh tahun hampir setiap hari aku makan gehu pedas. Aku tentu saja bosan. Tapi saat aku cemberut dan mengeluh mengekspresikan kebosanan, Ibu memeluk dan mencium rambutku.
“Nasi putih dan gehu pedas itu makanan terenak yang kita punya,” kata Ibu. “Kamu punya adik tiga orang. Kalau Rina bilang gehu pedas itu enak, adik-adikmu akan merasa enak. Tapi bila Rina bilang tidak enak dan membosankan, kasihan adik-adikmu.”
Saat itu aku mulai mengetahui perekonomian keluargaku tidak baik. Ayahku adalah pedagang tahu keliling. Pukul tiga subuh beliau sudah bangun. Membaca buku, membereskan keperluan berdagangnya, dan selepas subuh beliau berangkat. Kata Ibu, Ayah mengambil tahu di pabrik, lalu ke pasar, sudah agak siang ke rumah-rumah menawarkan tahu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Ayah. Tiga tahun yang lalu, saat aku kelas satu SD, makanan selalu ada. Di meja makan pasakan Ibu selalu bermacam-macam. Sop, ayam bumbu kecap, ikan goreng, gehu pedas, kerupuk. Di kulkas pun selalu ada sosis, naget, bakso, yang siap disajikan bila aku bosan pasakan Ibu.
Tapi kemudian berubah sedikit-sedikit. Ibu semakin jarang memasak ayam bumbu kecap. Sop bikinan Ibu semakin tawar. Dan akhirnya hampir setiap hari hanya gehu pedas. Di depan adik-adik, aku selalu mengatahan bahwa gehu pedas itu enak sekali. Dan Ibu menambahkan: “Kita itu harus bersyukur. Kita masih bisa makan nasi putih yang pulen dan gehu pedas yang enak. Karena banyak saudara kita makannya hanya nasi bau apek dan tahunya tidak digoreng.”
Adik-adikku, Rita, Tania dan Santi, makan nasi putih dan gehu lahap sekali.
Ibu mungkin tahu aku tidak mengerti dengan perubahan yang terjadi. Aku hanya tahu Ayah berhenti bekerja. Makanya Ibu sering bercerita, “Ayahmu itu orang hebat. Ayah orang pintar. Lihat saja, koleksi buku Ayah hampir memenuhi rumah,”
Tentu saja aku mempercayai cerita Ibu. Dulu, ketika masih bekerja, Ayah sering mengajakku ke toko buku. Aku bebas memilih buku yang aku inginkan. Tapi sering juga Ayah memilihkan buku-buku buat aku baca. Kalau malam Ayah selalu mengajak membaca buku bergiliran. Adik-adikku, semuanya sebelum masuk sekolah sudah bisa membaca.
“Tapi kenapa Ayah berhenti bekerja?” tanyaku saat Ibu mengajakku membuat gehu pedas. Ibu berhenti mengiris wortelnya.
“Ayahmu itu orang hebat,” kata Ibu sambil memandangku. “Kalau orang hebat itu berani menolak apa yang dianggapnya tidak baik. Misalnya, Ayah disuruh mencuri. Siapapun yang menyuruhnya, Ayah pasti tidak mau.”
“Jadi ada yang menyuruh mencuri di kantor Ayah?”
“Ya, pencuri itu ada di mana-mana. Kebetulan di kantor Ayah pun ada. Tapi Ayah tidak mau ikut mencuri. Ayah lebih memilih menjadi pedagang tahu. Lagipula, berdagang tahu itu hebat, bisa berkeliling setiap hari.”
Aku tidak mengerti betul. Bukankah ayah bekerja di kantor Pemda, kantor tempat Om Dedi, Om Sutardi, Tante Irma, dan Kakek Andi juga bekerja. Tapi Ibu tidak menceritakan lebih jauh. Aku hanya merasakan keputusan ayah itu membawa perubahan yang sangat besar. Ayah dan Ibu semakin jarang mengajak main ke rumah Kakek Andi dan Nenek Anit. Kakek-nenek, Om Dedi, Om Sutardi, Tante Irma, juga tidak pernah lagi  main ke rumah. Padahal biasanya bila mereka datang, pasti membawa oleh-oleh.
**
Aku semakin akrab dengan gehu pedas ketika Ayah mengalami kecelakaan. Motornya terseret mobil lamborghini yang ngebut subuh itu. Mobil itu kemudian menabrak pilar jalan dan halte bis. Motor Ayah hancur. Aku, Ibu dan ketiga adikku, menangis hebat saat Ayah dimakamkan.
Pengemudi lamborghini itu adalah anak seorang pejabat dari Jakarta. Keluarga mereka datang ke rumah, meminta maaf dan berjanji mau memberi santunan kepada kami. Kata teman-temanku, keluarga kami ada di televisi waktu itu. Aku tidak tahu kelanjutannya, karena sehari setelah kedatangan keluarga penabrak itu Ibu mengajak kami pindah.
Kami menempati rumah kecil berkamar satu. “Sekarang, hidup kita tergantung kerja keras kita,” kata Ibu di depan aku dan adik-adikku. “Ayah mewarisi moral yang hebat, dan buku-buku yang banyak. Kita harus berterima kasih dengan memanfaatkannya.”
Maka setiap malam Ibu dan aku bergiliran membacakan buku kepada adik-adik. Subuhnya Ibu bangun, mengiris kol, wortel dan cabe. Sambil berangkat sekolah aku menitipkan gehu pedas ke warung-warung yang terlewati. Siangnya, saat aku pulang sekolah, Ibu pasti sedang mengiris kol, wortel dan cabe. Aku sering membantunya. Sorenya aku dan adik-adik berkeliling perumahan berdagang gehu pedas. Ke tempat belajar ngaji pun aku membawa gehu pedas. Waktu itu Dik Tania, adik bungsuku, baru empat tahun.
“Kalau Rina ingin sekolah terus, sampai tinggi, jadilah murid terpintar. Belajar yang sering, baca buku yang banyak, dan raihlah beasiswa,” kata Ibu. Itulah kalimat-kalimat Ibu yang memecutku untuk belajar keras. Sambil berdagang gehu aku dan ketiga adikku menghapal surat-surat Qur,an, saling tebak-tebakan soal matematika atau pengetahuan umum.
Saat diwisuda aku menangis di pelukan Ibu. Adik-adikku pun ikut memeluk dan menangis. Dik Rita dan Tania sudah kuliah, Dik Santi kelas XII SMU, waktu itu. Kami sudah biasa bangun pukul tiga subuh, membaca buku, membantu Ibu mengiris wortel dan cabe, dan berangkat sekolah atau kuliah sambil membawa gehu pedas. Aku dan adik-adikku selalu mendapat beasiswa untuk menjaga kelangsungan sekolah kami.
**
Begitulah ceritanya, mengapa aku selalu terharu bila melihat anak kecil berdagang gehu pedas. Ada sesuatu yang meletup-letup di dalam dada ini, semangat yang sangat hebat. Tapi juga ada sesuatu yang membuatku tidak bisa bicara, karena bila bicara airmataku pasti mengalir.
Saat ini aku sudah memulai karir baru. Aku menjadi asisten dosen di almamater, mengajar di kursus-kursus, dan menulis artikel di koran-koran. Penghasilan yang lebih dari cukup. Adik-adikku lebih cepat mandiri dengan berbagai bisnis internetnya. Meski kami tidak lagi meminta biaya sekolah ke Ibu, Ibu masih tetap berjualan gehu pedas. Ibu memberdayakan para tetangga untuk ikut berbisnis. Penghasilannya Ibu tabung. Ibu ingin berhaji dan membangun Rumah Yatim.
**
Tiga bulan berjalan membimbing Atun menyelesaikan skripsinya, aku mulai berpikir untuk mundur. Bukan karena bayarannya. Orang tua Atun sangat royal. Mengajak makan-makan, memberi hadiah, rasanya kalau dihitung lebih dari jumlah bayaran wajib. Tapi karena Atunnya sendiri yang tidak mau bekerja keras. Membaca satu buku pun begitu malasnya.
Suatu hari saat aku ke rumah Atun, orang tuanya yang menyambutku. Atun sedang weekand katanya ke Australia.
“Begini Dik,” kata ayah Atun. “Bapak tahu adik belum bekerja yang mapan, Di kampus kan Adik belum diangkat. Di Departemen Bapak sedang ada penerimaan karyawan. Coba masukin lamaran, biar Bapak yang urus semuanya. Tapi jangan tanggung membantu Atun. Buatkanlah skripsinya. Atun agak susah kalau mesti membuat skripsi sendiri.”
Aku tiba-tiba teringat kepada Ayah. Aku mulai mengerti mengapa Ayah dulu keluar bekerja. Aku sangat mencintai dan merindukan Ayah. ***

Pamulihan, 19 Oktober 2014  

 


Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "GEHU PEDAS"