Poligami
Kebetulan
seringkali membuat manusia limbung. Saya pernah mengalaminya ketika musim hujan
sedang menebarkan rasa dingin dan sepi. Sore itu saya pulang belanja bulanan di
sebuah swalayan. Sudah setengah jam lebih saya termangu duduk di emperan
pertokoan, di antara orang-orang yang sama resahnya menunggu hujan reda.
Setiap pergi ke
mana pun, saya selalu ingin segera pulang dan tiba di rumah. Rasanya terlalu
mewah bagi saya untuk berjalan-jalan tidak jelas tujuannya atau sekedar
nongkrong bercengkrama dengan teman-teman. Makanya pulang dari kantor tidak
pernah saya pergi ke mana pun. Kecuali keperluan penting seperti belanja
bulanan, atau membeli sesuatu yang dibutuhkan.
Hujan masih
lebat ketika seseorang berdiri di hadapan saya dan menyapa.
“Asri, masih
belum pulang?” tanyanya.
Saya tentu
terkejut dan cepat berdiri begitu tahu yang di hadapan saya adalah Pak Hasan,
atasan baru saya.
“Iya Pak,” jawab
saya sambil mengangguk dan tersenyum penuh hormat.
“Tadi Bapak masuk
ke swalayan Asri sedang melamun, eh sekarang masih belum beranjak juga.”
“Hujannya masih
belum reda, Pak.”
“Menunggu hujan
reda sekarang ini bisa jadi patung,” kata Pak Hasan sambil tersenyum. “Ayo,
ikut saja sama Bapak,” lanjutnya sambil melangkah.
Saya sebenarnya
ragu-ragu untuk menerima ajakannya. Pak Hasan saya pikir melihat keraguan saya.
Tapi ternyata bukan itu yang menyebabkannya menghentikan langkahnya dan berbalik
lagi ke arah saya.
“Belanjaannya
banyak, Bapak bantu sebagian ya,” katanya lagi. Belanjaan saya ada tiga
pelastik besar. Pak Hasan menjinjing dua pelastik tanpa menunggu persetujuan
saya.
Seperti kerbau
dungu yang telah ditusuk hidungnya saya mengikuti langkah Pak Hasan. Setelah
duduk di dalam mobil CR-V yang nyaman baru saya sadar keadaan. Saya ini selalu
menghindari merepotkan orang lain. Juga menghindari orang lain berbuat baik
kepada saya. Bukan apa-apa, saya takut menjadi tidak enak dengan utang budi
yang harus dibalas.
“Pulangnya ke
mana?” tanya Pak Hasan.
Pertanyaan
itulah yang menyadarkan saya. Tiba-tiba saya merasa bersalah sudah duduk di
kursi mobil yang nyaman.
“Maaf Pak, saya
sudah merepotkan, ya?” Saya malah balik bertanya.
Pak Hasan
tersenyum. “Jangan pikirkan itu,” katanya tenang. “Bapak juga tidak akan tega
mendiamkan Asri menunggu hujan yang tidak jelas kapan redanya. Lagipula, Bapak
tidak ada yang menunggu. Bapak masih tidur di kantor. Sebentar lagi maghrib,
kita harus segera berangkat.”
Saya tersipu
malu. Saat menerangkan alamat saya berpikir, Pak Hasan ini bukan hanya seorang
atasan yang baik, kenalan yang perhatian, tapi juga orang yang memang baik.
Terhadap orang yang tidak dikenal pun, bila orang itu terlihat sedang dalam
kesusahan, Pak Hasan rasanya akan membantunya.
Sampai di rumah
sudah pukul setengah tujuh malam. Pak Hasan ikut sholat magrib dan saya
menyiapkan sejadahnya di tengah rumah. Saya sendiri segera menengok Ibu di
kamar, menyiapkan keperluan Ibu untuk sholat maghrib, dan bersiap juga untuk
sholat.
“Kalau Bapak mau
istirahat sebentar, saya akan buatkan teh manis,” kata saya. Pak Hasan duduk di
kursi tamu, menunggu saya sholat.
“Ya, boleh.
Terima kasih,” katanya.
Tidak banyak
sebenarnya yang dibicarakan kemudian. Pak Hasan pun tidak terlalu lama bertamu.
Hanya menghabiskan segelas teh manis. Tapi kebaikannya, perhatiannya, membuat
saya limbung. Ketika tahu Ibu saya sakit, dia menengok ke kamar Ibu,
memperkenalkan diri sebagai teman sekantor saya. Berbincang akrab dengan Ibu,
menghiburnya, dan mengatakan Ibu harusnya selalu berbahagia karena punya anak
yang sholehah dan berperilaku sangat terpuji.
“Jadi Asri hanya
tinggal berdua dengan Ibu?” tanya Pak Hasan setelah pamitan kepada Ibu.
“Iya Pak, hanya
berdua, tapi ada tetangga yang membantu menyiapkan keperluan Ibu selama saya
bekerja.”
“Kamu anak yang
baik dan berbakti, Asri,” kata Pak Hasan sebelum membuka pintu mobilnya. “Dan
anak yang berbakti, wanita yang sholehah, adalah perhiasan terindah di dunia
ini.”
Saya tersenyum
mendengarnya. Ada sesuatu yang menyentuh hati saya, membuatnya terharu.
“Terima kasih
teh manis dan kue bikanya.”
Saya melambaikan
tangan sampai mobil Pak Hasan menghilang dari penglihatan. Setelah menutup
pintu dan menguncinya saya baru sadar. Apa tidak berlebihan yang saya lakukan
barusan? Kenapa saya mesti menawarinya teh manis? Mengapa saya mesti
mengantarnya pulang sampai ke dekat mobilnya? Mengapa saya mesti melambaikan
tangan?
**
Sejak peristiwa
itu hati saya sebenarnya sudah kacau. Kadang saat melamun sendiri saya teringat
bagaimana Pak Hasan tersenyum, membawakan belanjaan saya, berbincang akrab
dengan Ibu, memberikan pujian kepada saya sebagai anak yang berbakti dan
sholehah.
Tapi perasaan
itu cepat saya hapuskan. Pak Hasan sendiri tidak pernah berubah perlakuannya di
kantor. Dia adalah atasan yang baik, tegas, dan humoris. Hampir semua karyawan
di penerbitan buku An-Nahl menyukainya. Dia adalah manager marketing baru yang
katanya pemilik sebagian saham perusahaan. Sementara saya adalah karyawan
biasa, staf administrasi yang mencatat buku-buku yang dikirim dan yang laku di
toko-toko buku.
Tentu saja saya
malu sendiri pernah mengingat kebaikan Pak Hasan kepada saya. Kebaikan yang
sebenarnya kebetulan belaka. Keyakinan itu saya tanam kuat-kuat sampai
kebetulan berikutnya hadir lagi. Selesai sholat lohor di masjid agung saya
makan di kantin masjid. Sendirian, karena teman-teman pada makan di warung nasi
lain. Saat sendirian itulah Pak Hasan datang sambil menenteng makanannya.
“Kebetulan ada
Asri,” katanya. “Tadinya Bapak akan nyusul anak-anak ke warung nasi. Tapi
rasanya sayang mesti mengakhirkan sholat. Lagipula sudah lama tidak berjamaah
di sini.”
“Di sini juga
banyak makanan yang enak, Pak.”
Pak Hasan duduk
di depan saya. Makanannya yang dibawa di nampan adalah sedikit nasi putih, soto,
goreng tempe dan kerupuk. Minumnya teh manis. Makanan yang sederhana untuk
seorang manager.
“Bagaimana kabar
Ibumu?” tanyanya sambil melirik saya.
Pertanyaan
sederhana sebenarnya. Tapi tenggorokan saya langsung tercekat.
“Ba... baik,
Pak, alhamdulillah.”
“Sudah berapa
lama Ibumu itu stroke?”
“Lama juga, Pak,
sekitar lima tahun yang lalu. Saya sendiri masih kuliah waktu itu.”
“Bapak kemarin
baru pulang dari Sumbawa. Ingat Ibumu Bapak bawakan susu kuda liar. Katanya,
susu kuda liar membuat badan lebih hangat. Sudah banyak yang stroke mencobanya
dan memberikan perkembangan yang positif.”
Itulah bagian
lain yang membuat tenggorokan saya tercekat. Apalagi malamnya, menjelang isya,
Pak Hasan bertamu. Katanya ada keperluan ke dekat rumah saya maka sekalian saja
mampir untuk memberikan susu kudu liar yang pernah diceritakannya.
Tapi akhirnya
dia minum teh manis juga. Saat itulah Pak Hasan bercerita bahwa keluarganya
masih tinggal di Samarinda. Istri dan kedua anaknya tidak mau ikut ke Bandung. “Mungkin
karena keluarga ada di sana semuanya, sejak kecil menghirup udara segar
Samarinda, jadi rasanya segan untuk pindah,” kata Pak Hasan. “Sementara Bapak
harus memikirkan juga untuk mencari nafkah. Ke mana pun harus rela pergi, meski
bulan-bulan awal mengalami homesick juga.”
Dalam
perbincangan yang tidak lebih dari setengah jam itu, hanya menunggu teh manis
habis, Pak Hasan membuka laptop, memperlihatkan foto-foto keluarganya. Istrinya
yang masih cantik di usia yang sudah 46 tahun, kedua anaknya yang sudah remaja,
dan keluarga lainnya.
**
Sepulangnya Pak
Hasan hati saya kembali tidak normal. Saya ingat bagaimana perhatiannya,
nasihatnya, dan pujiannya. Seorang bapak yang bijak, atasan yang perhatian,
sahabat yang baik. Mungkin berlebihan perasaan saya ini. Mungkin karena sudah
bertahun-tahun saya merindukan seorang ayah, seorang sahabat, seseorang yang
bisa membuat hati saya tenang.
Tapi begitu
ingat istri dan anak-anak Pak Hasan, seperti biasa saya mesti menutup semua
lamunan saya. Sampai suatu malam minggu ketika saya tidak bisa tidur, membuka
facebook pukul satu malam, ada yang masuk ke inbox saya.
“Hai, kenapa
belum tidur?” tanya Pak Hasan di inbox.
“Kan malam
minggu, Pak, hehe,” balas saya.
“Tidurlah, besok
pagi Bapak ingin ikut memasak di rumah Asri. Asri bikin nasi timbel, Bapak
bikin ayam cincane, masakan khas Samarinda.”
Besoknya Pak
Hasan datang dengan membawa belanjaan yang banyak. Kami pun memasak. Makan
bersama. Ibu senang melihatnya. Saya sendiri bahagia di waktu yang singkat itu.
Tapi setelahnya hati saya seperti diiris dan disiram garam.
“Hanya kepada
Asri sebenarnya Bapak bercerita tentang keluarga dan pribadi,” katanya saat
melihat-lihat tanaman di belakang rumah. Sejak Ibu sakit, hobi saya adalah
berkebun, karena berkebun bisa dilakukan sambil menunggui Ibu.
“Asri sendiri
tahu, sudah hampir setahun ini Bapak berpisah dengan keluarga,” katanya lagi.
Saya masih belum bisa menebak ke mana arah pembicaraannya. “Keluarga Bapak
tetap tidak mau pindah ke Bandung, Bapak sendiri kerepotan harus selalu
pulang-pergi Bandung-Samarinda. Akhirnya keputusannya, Bapak harus menikah lagi
di sini.”
Saya tercekat
mendengarnya.
“Seandainya
istri dan anak-anak Bapak mengenal Asri, mereka pasti menyukai Asri,” kata Pak
Hasan yang mengunci bibir saya. Perasaan saya bercampur-aduk, tapi saya tidak
bisa bicara.
“Ah maaf, Bapak
mungkin lancang, terlalu dini membicarakan ini,” katanya setelah tahu saya
tidak mengomentari apapun. “Poligami itu halal secara agama. Tapi berat untuk
dilakukan. Maaf bila apa yang Bapak katakan tidak berkenan, menyinggungmu.
Katakan saja bila Asri tidak menyukai pembicaraan itu.”
Sampai Pak Hasan
pulang saya tidak mengatakan apapun. Sejak Pak Hasan menyapa saya, membawakan
belanjaan, hati saya sebenarnya sudah tertawan. Saya ini gadis yang merindukan
lelaki yang menghormati, memperhatikan, mencintai, melindungi. Hati saya
merasakan Pak Hasan sepertinya bisa memberikan semuanya. Saya telah jatuh cinta
kepadanya.
Tapi saya sangat mencintai Ibu. Saya ingin memberikan apapun yang saya punya buat Ibu. Juga perasaan saya. Ibu sudah lima tahun lebih sakit stroke, tidak bisa berjalan dan bicarapun kurang lancar. Itu terjadi sejak Bapak berpoligami, menikah lagi di kota lain, di tempat kerjanya. @@@
Saya pernah menulis dengan nama pena Pelangi Pagi. Ini salah satu penampakannya, dimuat kompas.id 1-2-2020. Bagi yang ingin menengok linknya, POLIGAMI.
Nice. Semoga cerpen sy juga bisa tembus di sini
BalasHapusAamiinn...
Hapus