Kecebur Got

 


Tidak heran sebenarnya waktu Kasut terpilih jadi Ketua RT. Mau jadi bupati pun sebenarnya dia bisa saja. Tanahnya luas, perusahaannya banyak. Itu sebenarnya modal utama saat ini. Betul kan seperti itu? Jangankan jadi RT, bupati, mencalonkan diri jadi RI-1 atau RI-2 pun bisa saja dilakukan oleh pengusaha. Syaratnya, kekayaannya tidak terhitung.

Tapi Kasut, dia kan hanya kaya dalam level kampung. Sejak awal saya memang sudah tertarik dengannya. Maksudnya, tertarik dengan kekayaannya itu. Dulu dia dikenal hidupnya susah. Pastinya ada sesuatu yang sangat memotivasi orang dari pengalamannya.

Tapi tentu saja saya tidak percaya ketika desas-desus itu saya dengar. Kasut, katanya, memiliki kekayaan sekitar 500 M rupiah. Wah, saya jadi penasaran dengan perasaan terbesar tidak percaya. Masa orang kampung sekaya itu? Meski banyak tidak percayanya, sebagai wartawan muda media online, tentu saya ingin memberitakannya. Apalagi Kasut ini adalah tokoh masyarakat di kampung tempat saya tinggal 10 tahun lalu.

“Benar Kasut sekaya itu?” tanya saya kepada Setia, teman saya sewaktu SD di kampung. Sekarang Setia masih kuliah di wilayah Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

“Bener lho, kalau tidak percaya datang saja dan buktikan,” jawab Setia.

Saya pun sengaja datang ke kampung yang saya tinggalkan 10 tahun lalu. Saya tinggal di kampung yang saya memilih untuk merahasiakannya (sementara waktu saja sebenarnya) sampai kelas 6 SD, usia 11-12 tahun. Ayah saya kemudian pindah bekerja ke kota dan saya ikut. Sejak itu hanya dua kali saya pernah mengunjungi kampung itu lagi. Ya, karena sebenarnya ayah dan ibu saya juga sebenarnya bukan asli orang kampung sana. Kami tinggal di sana hanya karena urusan pekerjaan saja.

Dua kali saya pernah ikut ayah mengunjungi lagi kampung itu. Pertama saat ayah mengunjungi tempatnya bekerja dulu. Kedua saat ada undangan syukuran pernikahan dari sahabat ayah waktu tinggal di sana. Saat itu, saya tidak melihat perbedaan yang mencolok dengan Kasut. Rumahnya memang diperbaiki, diperbesar, ada mobil-mobil bagus di garasinya. Saya rasa masih wajar, seperti halnya bandar-bandar ubi yang sukses menjual ubi simadu yang terkenal dari kampung itu.

Oh iya, Kasut itu sebenarnya nama sapaan akrab orang kampung. Kasut itu kependekan dari Kasdi Kusut. Ya, karena Pak Kasdi ini memang selalu kelihatan kusut yang artinya tidak rapi. Rambut suka acak-acakan, wajah selalu seperti bangun tidur setelah semalaman begadang. Memang Pak Kasut ini tidak punya pekerjaan tetap. Kadang memelihara burung, ayam, kelinci, memancing, adu muncang (kemiri), menyaksikan kolecer (baling-baling) berputar dan berbunyi sambil tertawa senang.

Itu semua tentu saja kelangenan, hobi. Meski begitu Pak Kasut kaya. Sawah, kebun, kolam, diperkirakan ada ratusan hektar di beberapa tempat. Ternak, pabrik tahu, pabrik gula merah, pabrik layang-layang, dan banyak lagi. Belum yang berupa emas, surat berharga, dan yang masih rahasia. Konon, kelangenannya saja sekarang bisa berharga ratusan juta rupiah. Burung perkutut, ayam sabung, beberapa ekor yang ditempatkan khusus di halaman belakang, harganya di atas seratus juta rupiah. Itu kabar yang sampai kepada saya.

“Wah, kabar bohong itu haha...,” kata Kasut senang waktu saya bertanya. Pagi itu saya menemuinya di belakang rumahnya yang asri. Bunga-bunga angkrek, ayam-ayam adu, burung-burung kicau, sedang diurus oleh para pegawainya. Mata saya berkeliling sambil menerka burung dan ayam mana yang harganya di atas seratus juta rupiah.

“Tapi kenyataannya kan begitu, Pak. Bapak usahanya banyak, tanahnya di mana-mana, ternaknya juga. Saya hanya ingin tahu bagaimana perjuangan Bapak merintis usaha,” kata saya lagi. “Itu pasti memotivasi banyak orang.”

“Ya, awalnya karena... kecebur got.”

Saya yang sekarang tertawa. Pak Kasut ini ada-ada saja. Atau memang orang-orang kaya suka aneh. Seperti dulu saya kagum kepada Bob Sadino almarhum, pengusaha hebat yang sukses setelah menggoblok-goblokkan diri sendiri. Tapi sampai saya pulang, Kasut tidak menceritakan kisah kecebur gotnya sampai dia jadi pengusaha sukses.

Sebagai wartawan muda yang belum lama lulus kuliah saya memang merasa tertantang. Setiap hari saya mendatangi Kasut. Ngobrol lagi. Dan akhirnya bertanya lagi mengenai “kecebur got”nya itu.

Kasut itu orang baik. Sangat dermawan dikenal oleh orang-orang kampung. Menyumbang ini menyumbang itu, membantu siapa saja. Setiap saya bertamu, suguhannya juga selalu istimewa. Tetangga dan kenalannya dari kampung lain pun setiap hari silih berganti dan mereka dijamu dengan makanan dan minuman yang istimewa.

Tapi khusus kepada saya, karena selalu ditanya mengenai “kecebur got” itu, Kasut seperti yang marah. Dia mulai menolak kehadiran saya. Dia tidak mau bertemu saya. Tentu saja itu tantangan. Semakin membuat saya penasaran. Dan suatu malam, dia mengundang saya ke rumahnya.

“Begini Nak Wartawan, Bapak akan cerita mengenai kecebur got itu. Tapi harus tahu diri! Di kisah ini ada banyak rahasia. Bila Nak Wartawan tidak bijak, Bapak tidak tahu apa yang akan terjadi,” kata Kasut.

Tentu saja saya tidak mengerti. Ada apa ini sebenarnya? Di ruangan yang luas, ada meja biliar satu, di pinggir ada lemari berisi botol minuman, kursi dan sofa; hanya ada kami berdua. Tapi di luar ruangan, dari kaca pembatas, saya melihat ada beberapa orang mengintip. Badannya tegap-tegap dan besar.

“Saya hanya ingin tahu ceritanya saja, Pak,” kata saya gugup.

“Dulu Bapak ini pekerja serabutan. Suatu hari Bapak berjualan tape ke kota. Di sebuah perumahan mewah di Jakarta, saat Bapak keliling menawarkan tape, Bapak dikejar anjing yang lepas. Bapak lari dan kecebur got.”

Saya tersenyum. Lucu juga. Lalu minum air yang disuguhkan. Terasa hangat ke seluruh badan.

“Bukan hanya baju dan badan Bapak yang kotor, bau, tapi semua tape tidak lagi bisa dipungut. Untungnya Bapak ditolong satpam, lalu dibawa ke rumah Beliau Yang Terhormat yang menjadikan Bapak seperti ini. Bapak disuruh mandi, dikasih baju bagus, dan disuguhi makanan yang luar biasa enaknya dan baru kali itu mencicipinya. Pulangnya Bapak diantar sampai ke sini oleh sopir pribadinya, naik mobil mewah, yang membuat bengong orang sekampung. Dan Bapak ditinggalin karungan uang miliaran rupiah.”

Tentu saja saya pun seperti orang kampung, bengong hanya mendengarkan ceritanya.

“Selanjutnya tidak hanya Beliau Yang Terhormat itu yang datang ke sini. Tapi sahabat Beliau Yang Terhormat lainnya berdatangan. Mereka menitipkan uang bermiliar-miliar rupiah. Bapak belikan tanah, usaha, ternak, dan lainnya. Semua surat-surat kepemilikan memang atas nama Bapak. Tapi nanti bila diambil, ya harus dikasihkan. Bapak kebagian sekian persennya saja.”

“Wah, itu moneylaundring, Pak! Itu cuci uang!” kata saya mulai mengerti.

“Ssstt...!” Kasut membuat saya diam. “Kamu memang pintar, Nak. Makanya Bapak ajak bicara berdua. Bapak ceritakan apa yang kamu mau. Tapi Bapak berharap kamu bijak untuk tidak menceritakan kisah kecebur got itu.”

Kasut lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat besar dari bawah mejanya. “Bapak sudah konsultasi dengan beberapa Beliau Yang Terhormat, dan mereka menitipkan ini. Cukup buat membeli mobil. Kamu memang masih muda, Nak, tapi bekerja ke mana-mana naik ojek itu kurang asyik, kurang menyenangkan,” kata Kasut sambil mendorong amplop itu.

Saya terkejut. Duduk pun berubah jadi bersandar ke kursi.

“Tapi bila kamu sok idealis, menolak kasih sayang Beliau-Beliau Yang Terhormat, orang-orang di luar itu tidak hanya berbadan besar, bertato, jago bela diri. Mereka juga jago melenyapkan orang.”

Saya merasa detik itulah hidup saya menjadi kusut. @@@

SELESAI

Cerpen ini dipublikasikan kompas.id 1 Mei 2021, ini linknya bagi yang ingin menengoknya: KECEBUR GOT

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kecebur Got"

Posting Komentar