Jampe Pamake
Motor yang melaju pelan itu meninggalkan kepulan debu di sepanjang jalan desa. Di depan sebuah warung kecil motor itu berhenti. “Esih...! Jadi nanti siang...?!” teriak pengemudinya.
Esih yang sedang berada di
dapur bergegas ke warung. Begitu dilihatnya Pak Sutardi di atas motornya, Esih
gugup. Tenggorokannya tersekat.
“Nanti siang jadi, kan?” tanya
Pak Sutardi sambil tersenyum.
“I... iya Pak, nanti siang,”
jawab Esih terbata-bata.
“Iyalah, harus berani. Biar
warungmu ramai... seperti yang lain. Bapak tunggu, ya!”
Motor Pak Sutardi melaju lagi.
Debu beterbangan dari bekas gilasan ban motor. Esih duduk di depan warung. Matanya
memandang ke depan, tapi dia tidak melihat apapun. Kemarau tahun ini terasa
lebih mencekik. Setiap hari matahari memanggang.
Tapi sepanas apapun matahari,
tidak membuat orang-orang mengalah. Orang Pasir Nanjak masih pergi ke sawah,
menyiram di kebun, apalagi para pegawai yang sedang mengerjakan proyek jalan
tol. Sudah sebulan lebih mereka bekerja siang malam.
Anehnya, meski warung Esih
tidak jauh dari proyek jalan tol, para pegawai itu lebih senang makan di
warung-warung lain yang letaknya lebih jauh. Padahal sejak lama warung Esih
menjual nasi dan pasakan.
Awalnya ide menyediakan nasi
dan pasakan itu untuk menyelamatkan sayuran dan tempe-tahu yang tidak habis
hari itu. Esih belum mempunyai kulkas. Tempe-tahu seringkali basi bila belum
laku dua hari. Barang dagangan yang basi dan terpaksa dibuang sudah lama sering
membuat perkara.
**
Sudah lama Esih dan Kang Dadang
menyadari warungnya itu tidak ramai. Pelanggannya hanya tetangga terdekatnya. Meski
begitu, awalnya Esih tidak begitu menghiraukan. Kedatangan orang-orang yang
mengerjakan proyek jalan tol itulah yang menanamkan kepercayaan bahwa warungnya
memang sepi.
“Berdagang jaman sekarang itu
tidak boleh kosong, jangan sabongbrong,”
kata Ceu Awang, tetangga Esih. “Warungmu itu kalah pelet.”
“Maksudnya gimana, Ceu?” Esih
tidak mengerti.
“Seminggu pertama orang-orang
proyek jalan tol itu bekerja, banyak yang makan atau membeli nasi bungkus di
warungmu. Tapi kemudian semakin berkurang dan menghilang sama sekali. Lihat
saja di warung lain, orang-orang proyek itu beralih ke sana.”
Esih menarik napas panjang.
Kenyataan pahit itu memang pernah dibicarakan dengan Kang Dadang. Mereka
percaya, pasakan mereka itu kurang enak. Wak Ningsih pernah bicara ketika suatu
hari mampir ka warungnya. “Pasakanmu itu cawerang,
tidak jelas bumbunya. Kalau mau berdagang masakan, belajar dulu kepada Uwak,”
kata Wak Ningsih. Wak Ningsih pernah menjadi koki di rumah makan besar di
Bandung.
Tapi kenyataan sekarang yang
dihadapi Esih adalah penglihatan Ceu Awang. “Warungmu itu harus dibukakan
auranya, harus ada jampe pamake yang
cocok,” kata Ceu Awang.
Esih sebenarnya ragu-ragu. Bagaimanapun
dia pernah sekolah sampai SMP. Waktu sekolah dia malah termasuk siswa
berprestasi. Rangkingnya selalu sepuluh besar. Pernah juara menulis kaligrafi
sesekolah. Jampe pamake yang akan
diberikan seorang dukun tidak masuk akal sehatnya.
Tapi Kang Dadang sangat
mempercayainya. “Tidak semua persoalan bisa dimengerti akal sehat,” katanya. Esih
tahu betul, pendapat Kang Dadang itu didukung oleh keluarganya. Lagipula, siapa
di kampung ini yang tidak percaya orang pintar seperti Pak Sutardi? Mungkin
hanya satu-dua orang saja yang ragu-ragu seperti Esih.
Esih sebenarnya ingin tidak
mempercayai jampe pamake itu. Tapi
kehidupan ekonomi keluarganya tidak bisa menunggu lama. Esih tahu, keluarganya
bukanlah penganut agama yang taat. Tapi untuk tidak mempercayai dukun tidaklah
mesti taat beragama dulu. Kenyataan warungnya yang sepi dan keadaan ekonomi
keluarganya yang morat-marit membuatnya menyerah.
Ketika malam itu Esih dan Kang
Dadang mendatangi rumah Pak Sutardi, mereka terhenyak. Pak Sutardi adalah orang
pintar tempat bertanya segala persoalan. Langganannya datang dari berbagai
daerah. Katanya orang tenar dari Jakarta dan kota besar lainnya juga bukan seorang dua
orang yang sering datang ke rumahnya.
Berhari-hari Esih dan Kang Dadang
membisu setelah pulang dari rumah Pak Sutardi. Mereka tidak saling menyapa. Pak
Sutardi waktu itu bilang, “Warung kalian itu dingin dan gelap, karena aura
jelek dari Esih. Tubuh Esih yang harus dibersihkan.”
Cara membuka aura warung,
membersihkan tubuh Esih, ya dengan didatangi sang dukun, disetubuhi sambil membacakan
mantra jampa pamake itu. Itulah yang
menjadi persoalan. Kang Dadang berhari-hari melamun. Esih sendiri merasa
tersinggung. Hanya membayangkannya saja dia merasa jijik. Dia melihat serigala
menyeringai di wajah Pak Sutardi.
Tepat malam kesepuluh sejak
mereka tidak saling menyapa, Kang Dadang menghampiri istrinya. “Esih, Akang
sudah menemui Pak Sutardi. Besok siang kamu bisa membersihkan auramu,” kata
Kang Dadang, lalu dia pergi ke dapur sambil membawa sehelai tikar. Esih
sekarang melihat serigala itu menyeringai di wajah suaminya. Serigala yang
lebih buas. Serigala yang meneteskan air liur mengerikan.
**
Besoknya hari terasa pengap.
Kang Dadang sejak pagi sudah pergi. Dia membuat nasi timbel sendiri, meminjam
pancingan dari tetangganya, lalu pergi entah ke sungai mana. Esih melihat
langkah suaminya langkah yang lesu, langkah yang bingung, langkah yang kalah. Tapi
serigala di wajahnya itu semakin mengerikan. Taring-taringnya runcing siap
merobek Esih.
Esih sendiri tidak tahu apa
yang mesti dikerjakan. Makanya ketika Pak Sutardi menghentikan motornya, memanggil
Esih dari pinggir jalan, Esih cemas dan gugup. Napasnya terasa pengap. Warungnya
yang sepi begitu lengang. Tengah rumahnya yang berukuran 3 X 3 meter penuh
dengan suara televisi 14 inci yang sejak pagi bicara sendiri. Tapi Esih merasa
sepi.
**
Menjelang senja Kang Dadang
pulang dengan langkah gontai. Pancingannya terikat rapi seperti yang
berkali-kali dibereskan. Tidak ada ikan yang dibawanya. Ketika dilihatnya warungnya
tutup, ludah keringnya tercekat di tenggorokan. Kang Dadang duduk di depan
warungnya.
“Esih, sudah pulang?” kata
Kang Dadang. Maksudnya berteriak, tapi suaranya kecil karena tertahan.
Kang Dadang maklum kalau
beberapa saat tidak ada jawaban. Dia menajamkan telinganya, konsentrasi mendengar
suara dari dalam rumah. Siapa tahu ada suara tangisan. Ya, ada suara tangisan.
Semakin jelas. Tapi bukan dari dalam rumah. Suara tangisan itu semakin jelas
dari dalam dirinya. Kang Dadang melengos, tersenyum kecut. Laki-laki kok
menangis, gumamnya.
Karena hampir setengah jam
tidak ada jawaban dari dalam rumah, tidak ada reaksi apapun, Kang Dadang
melangkah mendekati pintu. Pintu depan terkunci. Kang Dadang ke belakang rumah,
pintu dapur yang terhalang oleh kamar mandi biasanya tidak dikunci. Pintu itu
menjadi pintu rahasia yang hanya diketahui berdua dengan Esih.
Kang Dadang mendorong pintu
perlahan. Ada yang mengiris sakit di dalam hatinya saat suara pintu berderit.
“Esih, maafkan Akang,” katanya pelan. Tapi di dapur Esih tidak ada. Ketika Kang
Dadang melongok ke dalam rumah, begitu banyak kertas berserakan. Semua potongan
kertas itu bertuliskan.
“Hari Ini Bayar, Besok Gratis”, “Beli 5
Bungkus Mie Instan, Gratis Sosin”, “Belanja Rp 50,000 dapat 1 Kupon. 10 Kupon Dapat
Ditukarkan Dengan Sebungkus Garam”, “Hari Ini: Kangkung Disc 50%”. Dan banyak
lagi tulisan lainnya. Kang Dadang tidak sempat membacanya. Karena perhatiannya
tercuri sobekan kertas kecil yang menempel di televisi. “Saya ke rumah Wak
Ningsih, mau kursus memasak.”
Kang Dadang menarik napas
panjang. Entah napas bahagia atau napas sakit-perih. @@@
:
Catatan :
Nyelekit = sakit
Sabongbrong =
sewajarnya
Pelet = mistik agar
disukai orang lain
0 Response to "Jampe Pamake"
Posting Komentar