MENANG UNDIAN

Cerpen Yus R. Ismail

Jantung Tardi berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya setelah mendapat telepon. Seseorang yang mengaku dari perusahaan kopi menghubunginya. Dia mengucapkan selamat. Tardi katanya mendapatkan hadiah utama, sebuah mobil pajero sport. Tardi diminta datang ke kantor kopi itu besok dengan membawa berkas yang diperlukan.
“Bila ini memang betul, kita akan kaya mendadak,” kata Tardi kepada istrinya. “Terima kasih ya Allah, doaku dikabulkan.”
“Tapi Akang kan memang pernah mengirimkan undian kopi?” Istrinya malah balik bertanya.
“Iya, sebulan yang lalu Akang mengirimnya, hanya satu bungkus kopi.”
“Itulah Kang, Allah itu tidak salah memberi rejeki. Kalau sudah rejeki kita, ya tidak akan tertukar.”
Besoknya, Tardi dan istrinya datang ke kantor perusahaan kopi. Betul saja, setelah dicocokkan segala dokumentasinya, Tardi dan istrinya dikasih kunci mobil dalam sebuah acara meriah.
Tentu saja Tardi tidak membawa mobil ke rumah kontrakannya. Mobil seharga empat ratus juta rupiah itu masuk lagi ke dealer. Setelah membayar segala tetek-bengek dan memberi amplop orang-orang yang membantunya, Tardi dan istrinya menyimpan tiga ratus tiga puluh juta rupiah di bank.
Tentu juga uang sebesar itu adalah mimpi indah bagi Tardi dan istrinya. Sudah sepuluh tahun mereka berkeluarga, mempunyai dua orang anak, tapi hidup sepertinya semakin susah. Mereka hanya sanggup mengontrak sebuah rumah yang belum selesai di pinggiran kota seharga satu juta rupiah per tahun. Makan sehari-hari bila tidak nasi dengan tempe, nasi dengan tahu, ya nasi dengan oseng kangkung. Penghasilan laden (pembantu) tukang tembok di proyek bangunan tidak cukup hanya untuk hidup sederhana.
Tiba-tiba sekarang mereka mempunyai buku tabungan dengan saldo Rp 330.000.000,00. Dua hari dua malam mereka meyakini diri bahwa itu bukan mimpi. “Coba lihat di bawah lemari baju, benarkah kita mempunyai tabungan tiga ratus tiga puluh juta rupiah?” kata Tardi kepada istrinya. Pertanyaan kesepuluh kalinya di hari pertama itu diturut oleh istrinya. Betul saja, di bawah tumpukan baju usang mereka memang ada buku tabungan dengan saldo sebesar yang disebutkan tadi.
**
Setelah yakin bahwa mereka tidak bermimpi, Tardi dan istrinya mulai merencanakan membeli ini membeli itu. Rumah dengan perabotannya menjadi prioritas utama. Tanah atau sawah di kampung, sepeda motor, membawa anak-anak ke tempat wisata, pakaian, dan lainnya. Saat itulah istrinya bertanya yang tidak terpikirkan sebelumnya.
“Kang, apakah kita tidak akan syukuran?” tanya istrinya.
“Syukuran? Membuat nasi kuning atau uduk, menggulai ayam, balado telur, capcay, kerupuk, sambal goreng ati, begitu?”
“Ya, seperti itu. Kita membagi ke tetangga-tetangga. Sampai lupa kita membicarakan syukuran, karena kita tidak pernah melakukannya.”
“Tapi nanti tetanga-tetangga tahu kita mendapat hadiiah utama ratusan juta rupiah. Mereka pasti banyak yang datang, meminjam uang, atau malah ada yang terang-terangan meminta.”
Istrinya terdiam. Berarti, tetangga-tetangganya memang tidak ada yang tahu acara pemberian hadiah undian itu. Memang acara itu tidak disiarkan televisi, tapi wartawan dari koran kan banyak. Tapi siapa juga tetangga-tetangga di sini yang berlangganan koran? Mereka hanya membaca sobekan koran bekas pembungkus ikan asin.
“Jadi bagaimana baiknya?” tanya istrinya.
“Baiknya tidak usah syukuran, agar tetangga kita tidak ada yang tahu. Kalau belanja pun kita jangan terlalu mecolok. Jangan belanja siang hari, nanti tetangga kita curiga. Kita harus belanja malam hari.”
Maka dengan menyewa motor dari tukang ojek sebesar dua puluh lima ribu rupiah, Tardi dan istrinya belanja ke swalayan di tengah kota tepat pukul 22.00 WIBB. Jeruk, apel, lengkeng, mangga, telor, daging ayam, daging sapi, makanan kalengan, mie instan, minyak kelapa kemasan, pakaian buat sekeluarga, dan banyak lagi. Sebenarnya istrinya, juga Tardi sendiri, masih ngiler melihat barang-barang yang ada di swalayan itu. Karena baru kali itu mereka belanja di swalayan, apalagi tanpa dibatasi untuk membayarnya.
Pulang dari swalayan Tardi mengendarai motor sambil bersenandung. Istrinya senyum-senyum sendiri sambil mendekap pakaian yang barusan dibelinya. Tapi hanya seperempat jam motor mereka melaju nyaman. Setelah belok ke jalan yang sepi, tiba-tiba di pinggir jalan ada motor-motor yang lampunya menyala.
“Kejjaarr... itu mangsa kita!” teriak seseorang. Motor-motor yang jumlahnya belasan itu pun melesat mengejar motor Tardi. Tentu saja Tardi gugup. Gas ditarik lebih kencang. Tapi tentu bukan tandingan para geng motor itu. Dalam waktu semenit motor Tardi sudah dipepet ke pinggir. Tardi dan istrinya dipukuli. Motor dan belanjaannya direbut.
“Kojek, maju sini...!” kata ketua geng motor itu. Seorang remaja maju dengan wajah gugup dan badan gemetar. “Kamu lulus jadi anggota geng Sadis ini asal keberanianmu mantap! Habisi orang itu! Dan perkosa yang perempuannya, lalu habisi juga!”
Tardi dan istrinya gemetar badannya. Darah mengucur dari hidung dan pelipisnya. Tardi terkesiap ketika ketua geng motor itu mencabut samurai. Besi putih itu berkilat dalam cahaya remang. Bunyi “sreengng” ketika samurai dicabut menghancurkan hati Tardi dan istrinya. Mereka menangis meski matanya terpejam. “Ya Allah, tolong kami. Kami ikhlas kehilangan apapun, asal selamatkan kami,” doa Tardi dan istrinya.
“Habisi!” perintah ketua geng motor itu.
Samurai diangkat remaja itu, lalu angin berdesir oleh sabetan samurai. Saat itulah seseorang meloncat menahan sabetan samurai dengan goloknya. Perkelahian terjadi sekitar satu menit. Geng motor itu pun kabur melarikan diri.
**
Tardi dan istrinya sangat berterima kasih kepada Kang Majun. Tukang sayur di pasar itu mengantar Tardi dan istrinya sampai ke rumah. Tardi dan istrinya segera diobati luka-lukanya. Saat Kang Majun pamitan, Tardi memberi amplop berisi uang satu juta rupiah, semua uang sisa belanja. Tapi Kang Majun menolaknya. Saat ditawari belanjaan sebagai oleh-oleh untuk anaknya, Kang Majun pun menolak.
“Terima kasih banyak, Kang. Tuhan telah menolong kami melalui tangan Kang Majun,” kata Tardi. “Bila Kang Majun menginginkan sesuatu, jangan sungkan datang ke sini.”
Besoknya, meski luka masih terasa nyeri dan perih, Tardi membawa uang ke bank sebesar lima belas juta rupiah. Tardi dan istrinya merencanakan untuk membeli sepeda motor seorang guru yang baru dibeli sebulan lalu. Tapi sebelum mereka ke rumah pak guru itu, Kang Majun datang.
“Wah, maaf mengganggu ya. Kang Majun ini ingat kemarin yang dikatakan kalian berdua, bila menginginkan sesuatu, datang saja ke sini. Kang Majun ini ingin membeli sepeda motor untuk jualan sayuran. Bila punya lima belas juta rupiah....”
Tanpa bicara sepatah pun, Tardi segera mengambil uang dan memberikannya kepada Kang Majun. Tiga hari kemudian Tardi mengambil uang lagi untuk membeli rumah di kampung tetangga. Tapi sebelum Tardi dan istrinya berangkat ke kampung tetangga itu, Kang Majun datang dan meminta uang untuk membeli rumah. Beberapa hari kemudian Kang Majun datang lagi meminta uang untuk membeli gerobak dagangan. Lalu datang meminta uang untuk membeli tanah, modal usaha, membeli beras, ternak, bibit tanaman dan pupuknya, dan entah untuk apa lagi.
“Kang, sudah lebih dari dua ratus juta rupiah uang kita diminta Kang Majun. Kita sendiri, selain belanjaan pertama itu, belum menikmatinya lagi,” kata istrinya.
“Tapi berapapun yang dimintanya jadi terasa murah bila mengingat nyawa kita telah diselamatkannya,” jawab Tardi.
Betul saja, hari-hari berikutnya Kang Majun masih datang meminta ini meminta itu. Dan akhirnya uang tabungan Tardi habis. Setelah Kang Majun pulang, tetangganya ada yang datang ke rumah Tardi.
“Wah, selamat. Tadi saya lihat Kang Majun baru pulang dari sini,” kata tetangganya itu. “Berarti kalian pun diberi uang untuk membeli rumah sederhana, ya?”
“Memangnya kamu diberi uang?” Tardi malah balik bertanya.
“Semua orang miskin di kampung kita ini sepertinya dikasih oleh Kang Majun. Saya ini sudah tiga puluh tahun berkeluarga tapi masih mengontrak rumah tidak selesai ini. Kang Majun membelikan rumah seharga tiga puluh juta rupiah di sebuah kampung terpencil. Saya akan pindah rumah dan alih profesi jadi peternak ikan lele. Ada juga yang diberinya sebidang tanah, gerobak-gerobak untuk jualan beserta modalnya, uang untuk membayar tunggakan sekolah anak-anak, dan banyak lagi.”
Tardi dan istrinya saling memandang. Lalu keduanya menangis, entah menyesali apa. ***

Cilembu, 6 April 2016
Cerpen ini dimuat Harian Rakyat Sultra, 13 November 2017

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MENANG UNDIAN"

Posting Komentar