TIKUS

cerpen koran Merapi
Merapi, 28 Oktober 2016

Awalnya tikus itu kepergok sedang menggerogoti batang bunga bakung di halaman. Tikus kecil, sebesar mobil-mobilan tamiya. Warnanya hitam. Tapi saya terkejut. Waktu saya singkap rumpun bunga bakung, tikus kecil itu memandang saya. Lalu menyeringai memperlihatkan barisan giginya yang tajam. Seperti ikan piranha di dalam film. Tentu saja saya tidak jadi mencari kelereng yang hilang.
Saya tertegun di hadapan rumpun bunga bakung. Bunga bakung yang daun-daun dan bunganya kemudian jatuh ke tanah karena hampir putus. Tikus itu melenggang pergi ke semak-semak. Saya merinding. Bulu kuduk berdiri. Takut tikus itu menggigit seperti anjing gila.
Sejak itu saya tidak mau bermain lagi di halaman. Lebih enak main di kamar, bersama si Tiger, si Kura-kura Ninja, si Winnie Beruang, atau membaca buku.
Tapi suatu siang saya menjerit. Pulang sekolah, haus dan lapar. Setelah menyimpan tas saya ke dapur, membuka tudung saji. Si tikus sedang makan pindang bandeng. Tikus sebesar sandal jepit. Giginya yang tajam semakin mengerikan saat menyeringai. Matanya melotot, membuat jantung saya berdetak lebih cepat. Ceplok telor bumbu kecap kesukaan saya tinggal piringnya. Pelastik kerupuk sudah robek, isinya tinggal setengahnya.
Ibu yang sedang menjahit di kamar berlari menghampiri saya.
“Ada apa?” tanya Ibu.
“Ada tikus besar, sebesar sandal jepit, di dalam tudung saji,” jawab saya cepat.
Ibu membuka tudung saji. Si tikus sudah pergi, entah ke mana.
“Mana tikusnya?”
“Tadi ada di sana. Lihat saja, pindang bandeng tinggal sepotong. Adik tidak mau makan pindang bandeng bekas tikus. Ceplok telor habis. Kerupuk tinggal setengahnya.”
“Ah, ini bekas makan Kak Ijal,” kata Ibu. “Buat Adik bikin lagi ceplok telor, ya.”
Ibu membuat lagi ceplok telor bumbu kecap. Tapi saya sudah malas makan. Ingat terus ke si tikus. Ternyata si tikus sudah masuk ke dalam rumah. Mencuri makanan. Badannya sudah bertambah besar, jauh bertambah besar. Giginya semakin tajam mengerikan. Bagaimana kalau menggigit saya. Atau mengerat Kak Ijal, Papa, atau Ibu.
Saya makan di teras. Menyenangkan biasanya kalau makan di teras. Anginnya menyegarkan. Sambil melihat bebungaan di taman. Eh, kok kenapa bebungaan mengering. Piring saya simpan. Saya melihat-lihat rumpun sedap malam, bakung, mawar. Oh, ternyata batang-batangnya hampir putus. Pasti digerogoti si tikus.
Lalu saya mencari pemukul. Ada gagang sapu bekas. Lalu saya mencari si Mpus. Si Mpus saya kasih makan nasi yang diaduk dengan pindang bandeng.
“Mpus, kita akan berburu tikus! Kamu harus bertenaga!” kata saya sambil mengusap-usap punggung si Mpus. “Kejar ke mana pun si tikus lari, lalu gigit sekuatnya!”
Si Mpus mengeong. Lalu kami mencari si tikus seperti polisi di dalam film yang mencari penjahat. Si Mpus mengendus-endus. Awalnya di kamar saya. Si Mpus mengendus meja belajar, lemari baju, tempat mainan. Saya mempersiapkan pemukul. Tapi si tikus tidak ada.
Di dapur si Mpus mengeong-eong ke dalam lemari makanan. Saya membuka pintu lemari perlahan. Betul saja, si tikus sedang menggerogoti mie instan. Saat melihat saya dan si Mpus, tikus itu menggeram. Giginya berbaris tajam mengerikan. Si tikus keluar lemari. Tanpa rasa takut. Seperti tidak ada siapa-siapa di hadapannya.
Saya memukul sekuatnya. Tapi gagang sapu bekas itu seperti yang ditangkap oleh giginya yang tajam. Lalu gagang sapu itu ditarik sampai saya terbanting. Si Mpus menerkam. Tapi akibatnya membuat jantung saya hampir copot. Cakar si Mpus ditangkap, digigit sampai patah. Si Mpus menjerit. Belum selesai terkejut saya, tikus itu menerkam si Mpus, menggigit lehernya sampai hampir putus, dan membanting kepalanya sampai pecah. Darah muncrat ke mana-mana. Si Mpus menjerit sekali, lalu terkulai.
“Ibuuu...!” Saya menjerit. Tubuh saya bergetar. Bulu kuduk merinding. Takut. Pemukul entah sudah lepas kemana.
Ibu merangkul saya. Saya didekapnya. Ibu mungkin terkejut melihat darah di mana-mana, mengalir di lantai. Bangkai si Mpus tergeletak dengan leher hampir putus.
“Kenapa si Mpus? Kenapa dipukul sama adik?” tanya Ibu sambil melihat pemukul yang berlumuran darah.
“Tikus, Bu! Tikus sebesar sandal yang giginya tajam menyeramkan yang menerkam!”
Saya dibawa ke kamar. Lalu ditidurkan. “Adik istirahat dulu. Ibu akan membuat teh manis,” kata Ibu. Setelah memberikan teh manis Ibu lalu menelepon Bapak. Entah apa yang mereka bicarakan, karena Ibu keluar kamar setelah ada jawaban dari Bapak.
Saat sedang sendiri di kamar, saya mendengar pintu berderit-derit. Saya perhatikan, ternyata si tikus sedang mengerat pintu. Saya lempar dengan bantal. Bantal itu ditangkap, lalu dibanting-banting sampai isinya berantakan. Wah, ternyata sekarang tikusnya ada dua ekor. Kapas beterbangan dan berserak di lantai. Dua tikus itu menghampiri saya. Lalu menggeram, giginya berbaris tajam mengerikan. Oh, ada taringnya sekarang. Keduanya seperti yang hendak menerkam.
“Ibuuu, takut...!” teriak saya.
Ibu datang dengan berlari. “Ada apa?” katanya sambil mendekap saya. Saya memeluk Ibu erat sekali.
“Takut apa?” tanya Ibu lagi.
“Takut tikus. Sekarang ada dua ekor tikusnya. Giginya tajam mengerikan, bertaring, seperti yang mau menerkam!”
“Minum lagi teh manisnya, ya. Tikusnya tidak akan berani sekarang. Ibu tidak akan keluar kamar lagi.”
“Bunuh saja tikusnya, Bu. Adik takut....”
“Iya, nanti Bapak dan Kak Ijal akan memburu tikus itu.”
Sejam kemudian Bapak datang. Saya lalu dibawa naik mobil Bapak. Ternyata saya dibawa ke rumah sakit. Saya diperiksa oleh dokter. Ditidurkan di kasur tipis, mata dan lidah saya disorot oleh lampu kecil. Lalu difoto sinar X. Selesai diperiksa saya dipeluk Ibu.
“Fisiknya tidak masalah. Tapi mentalnya terganggu. Ada indikasi skizoprenia, halusinasi kepada apapun yang tidak nyata,” kata dokter. “Sebaiknya jangan dulu dibawa pulang. Biar istirahat dulu di sini. Nanti akan ada pemeriksaan susulan yang lebih lengkap.”
Saya tidak tahu kenapa mesti dirawat di rumah sakit. Saya tidak merasa sakit apapun. Tapi harus saya akui, di rumah saya merasa takut. Lebih baik di rumah sakit. Ibu tidak pulang lagi karena menunggui saya. Bapak yang pulang, membawa berbagai keperluan.
Dua minggu saya dirawat di rumah sakit. Senang rasanya berada di rumah sakit. Banyak anak-anak yang sakit di rumah sakit. Dokter dan perawatnya baik-baik. Mereka sering bercanda dengan saya. Dan yang paling penting, di rumah sakit tidak ada tikus.
Suatu hari saya dibawa ke ruangan dokter. Bapak, Ibu dan Kak Ijal, ikut masuk ke ruang dokter.
“Adik sekarang sudah bisa pulang. Jangan takut lagi oleh tikus. Tikusnya juga sudah tidak ada,” kata dokter.
“Tikusnya diusir atau dibunuh?” tanya saya.
Dokter melirik Bapak.
“Oh, tikusnya sudah diusir ke tempat yang jauh sekali,” kata Bapak.
“Dua-duanya?”
“Ya, dua-duanya.”
Lalu saya sekeluarga pulang. Di rumah ternyata sudah ada Nenek, Kakek, Om Asip, Om Didin, Wawa Yayat, Tante Uwit, dengan keluarganya masing-masing. Waktu saya turun dari mobil, Nenek memeluk saya. Pipi saya dicium, rambut saya diusap-usap. Semuanya lalu memeluk saya, bergiliran. Lalu saya dibawa ke tengah rumah.
Di meja ternyata sudah banyak kado.
“Karena Adik sudah sembuh, sekarang tinggal membuka kado. Ini semua hadiah karena Adik sudah sembuh,” kata Kakek. “Kita bersyukur atas kesembuhan Adik.”
Kadonya banyak. Ada mobil-mobilan, uang, kapal-kapalan, buku, robot-robotan, kereta-keretaapian, dan entah apa lagi. Ah, saya lupa. Karena setelah saya masuk ke kamar, tidur sendirian, saya mendengar bunyi yang berderit-derit. Jantung saya langsung berdetak kencang. Di meja belajar ternyata ada tikus sedang mengerat kaki meja.  Kayunya sudah berlubang. Kaki meja yang satunya malah sudah putus. Bila dua kaki meja itu putus, mejanya pasti ambruk.
Bunyi berkerat-kerit itu ternyata dari mana-mana. Dari tempat tidur juga terdengar. Oh, ternyata ada juga tikus sedang mengerat. Saya meloncat. Saya takut tempat tidur ambruk. Semakin bergemuruh jantung saya, karena ternyata dari bawah karpet juga terdengar suara mengerat. Karpet jebol di mana-mana.
Tikus-tikus itu lalu meloncat dari tempat mengeratnya. Satu, dua, tiga, empat... wah ternyata banyak sekali tikus. Saya dikepung. Mereka menyeringai memperlihatkan barisan giginya yang tajam dan bertaring. Saya menjerit. Saya berlari ke tengah rumah.
Tapi keluarga saya sedang asyik makan makanan pesta syukuran. Bapak melahap puding bercampur susu kental. Ibu memotong-motong ayam panggang. Kak Ijal menyedot jus alpukat. Nenek dan Kakek sedang makan nasi tumpeng yang di dalamnya ada daging ayam, telor, wortel, kentang. Om Didin dan Wawa Yayat sedang kepedasan karena sambalnya kebanyakan.
Saya semakin terkejut karena di bawah yang sedang berpesta itu ada juga pesta lainnya. Tikus begitu banyaknya. Mereka mengerat kaki meja, menjebol karpet, mengerat tiang-tiang kayu, menggerogoti semua peralatan rumah, mengikis tiang-tiang rumah.
Di dapur juga seperti itu. Tikus di mana-mana. Peralatan rumah hampir semuanya hancur. Mereka meloncat, mengepung saya, memperlihatnya barisan giginya yang mengerikan dan bertaring.
“Ibu...! Bapak...! Banyak tikus...!” teriak saya sambil berlari. “Rumah takut hancur! Mari kita keluar rumah!”
Tapi yang sedang makan-makan semakin asyik. Mulut mereka penuh makanan. Tangan mereka penuh makanan. Perut mereka buncit-buncit. Saya berteriak-teriak. Tapi mereka tidak mendengar. Mungkin terlalu banyak makan mereka jadi tuli, jadi buta, jadi pura-pura, jadi... memuakkan!  ***


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TIKUS"

Posting Komentar