KUNTHI
Cerpen ini pernah dimuat Solo Pos, 28 Juni 2015
Ingin membaca cerpen ini dalam bahasa Sunda? Klik saja DI SINI
Wanita
cantik itu selalu duduk di meja paling ujung kafe. Rambutnya yang ikal
bergelombang berpadu dengan bulu matanya yang lentik. Matanya yang indah selalu
tidak berkedip memandang bunga-bunga di taman. Ah, entah dia memandang
bebungaan atau memperhatikan gerimis menyusuri dedaunan dan menjadi butiran
bening sebelum jatuh ke tanah. Hidung, mulut dan dagunya seperti patung
sempurna dari bayangan kecantikan.
Barangkali
kecantikan sempurna seperti itulah yang diinginkan ayahku waktu menamaiku
Kunthi. “Tidak ada lelaki yang berkedip saat memandang Kunthi,” kata ayah.
“Dari kasta sudra, ksatria, bahkan brahmana pun selalu punya mimpi saat
memandang Kunthi. Perkelahian terjadi tidak saja saat sayembara. Sebelum dan
sesudah sayembara pun para lelaki lupa dengan etika dan kepantasan. Sengkuni
menjadi otak terjadinya perang mengerikan baratayudha, salah satunya karena
tidak bisa melupakan Kunthi. Telah banyak peristiwa yang dipicu oleh kecantikan
Kunthi. Kecantikan yang sanggup memikat dewa sekalipun.”
Tapi
keinginan ayah itu tidak kesampaian. Aku tidak secantik yang diinginkan ayah.
Masa remajaku biasa saja. Tidak banyak lelaki yang mengejarku.
“Kunthi
itu tidak hanya cantik parasnya,” kata ayah, entah menghiburku atau memang yang
ingin disampaikan ayah sesuatu yang lebih sempurna dari bayanganku. “Mungkin
yang menitis kepadamu adalah kecantikan hatinya, kecintaannya kepada
anak-anaknya. Kunthi itu ibu yang dilematis, hatinya porak-poranda karena cinta
kepada anak-anaknya.”
**
Entah
sejak kapan mulainya wanita cantik itu senang menyepi diri di meja ujung kafe
ini. Sejak aku suka datang ke kafe ini, dia sudah seperti itu. Duduk
menyendiri. Matanya memandang ke jauhnya, entah ke dedaunan yang tertimpa
gerimis, entah ke tempat lain. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku
sendiri, selalu datang ke kafe ini karena rasa cinta kepada anakku. Di kafe ini
seorang wanita lainnya selalu datang menemuiku. Wanita muda yang usianya masih
dua puluh tahunan. Wanita terpelajar aku kira bila mendengar kata-katanya.
Wanita yang mengaku juru bicara seseorang yang masih dirahasiakannya.
“Bagaimana,
Bu, sudah siap?” Selalu pertanyaan itu yang terlontar dari bibir seksinya.
Pertanyaan biasa, pendek, dan mudah dimengerti maksudnya. Tapi di pikiran dan
hatiku, suaranya menggelegar seperti petir.
Anakku
adalah seorang pegawai negeri dengan karir cemerlang. Anak kebanggaanku itu,
setelah menjadi kepala dinas ini kepala dinas itu, akhirnya dilirik partai
politik untuk dicalonkan jadi gubernur.
Wanita
juru bicara itu menemuiku suatu senja.
“Saya
tahu, Ibu sangat mencintai anak Ibu,” katanya dingin. “Sekarang ini, ada dua
skenario untuk menjatuhkan anak Ibu. Pertama dihancurkan citranya dengan
korupsi. Ibu harus tahu, di negeri ini, di negara kita ini, sangat sulit, atau
malah mustahil, mencari kepala dinas tidak korupsi. Data korupsi anak Ibu sudah
kita pegang.”
Wanita
itu memperlihatkan foto-foto, juga video, penangkapan anakku saat sedang
menerima uang dari pengusaha.
“Ini
tangkap tangan, Bu. Tapi bukan KPK yang melakukannya. Kita yang melakukannya.
Dua puluh milyar rupiah lebih anak Ibu menerima uang suap. Ibu harus percaya,
anak kebanggaan Ibu tidak sebersih yang Ibu kira. Ibu tahu sendiri, anak Ibu
membeli 20 hektar tanah di kampung Wates, mempunyai beberapa villa, pabrik
tahu, rumah makan; apa itu semua terbeli dengan gajinya?”
Badanku
mulai bergetar. Mulut ini sudah ingin mendebatnya. Tapi entah mengapa malah
terkunci. Berita seperti itu tidak mengejutkan sebenarnya. Mata bathin seorang
ibu sudah menangkapnya sejak lama. Sejak anakku sering mengeluh. Lelah katanya
menjadi pegawai negeri.
“Lelah
bagaimana?” tanyaku saat itu.
“Sekarang
saya ini jadi pusat perhatian, Bu. Barangkali karena di departemen saya tidak
ada potongan untuk proyek-proyek. Pengawas, pengusaha, tidak ada yang berani
berbohong.” Cerita anakku itu awalnya enak didengar. “Tapi sekarang malah
semakin rumit. Teman-teman tersenyum sinis, karena hanya di departemen yang
saya pimpin yang seperti itu. Banyak yang memfitnah. Katanya saya punya kebun
puluhan hektar. Gubuk tempat yang jaga kebun dibilang villa seharga milyaran
rupiah. Pabrik tahu, warung nasi, pom bensin, itu kan hasil usaha menantu Ibu.
Sejak saya masih menjadi juru tik, usaha itu kan sudah dirintis. Sampai
sekarang, tidak ada sangkut pautnya dengan proyek-proyek pemerintah. Tapi
sekarang yang dibicarakan orang, katanya usaha-usaha itu moneyloundring,
cuci uang.”
Saya
tidak bisa memberi jalan keluar. Hanya menasihatinya, “Harus sabar, sabar dan
sabar. Perilaku buruk atau baik, akhirnya akan ada pembalasan.”
“Skenario
kedua,” wanita juru bicara itu meneruskan, membuat aku tersadar dari lumunan.
“Pembunuh bayaran profesional akan membuat cerita sendiri tentang kematian anak
Ibu. Di negara kita ini tidak susah membuat skenario pembunuhan. Mau seperti
Munir yang dihabisi di perjalanan, Udin yang jejaknya pun tidak ketahuan, atau
Wiji Thukul yang tetap misterius. Semuanya tidak pernah jelas siapa dalang pembunuhan
itu.”
Aku
sempat menyesali datang ke kafe ini, memenuhi undangan wanita juru bicara itu.
Tapi kalau saya tidak datang, masalahnya mungkin akan lebih rumit.
“Tapi
tenang saja, Bu,” katanya sambil menjentikkan abu rokok. “Kedua skenario itu
tidak akan berhasil bila Ibu mencegahnya. Bagaimana cara mencegahnya? Ibu cukup
bicara di hadapan wartawan, bahwa anak Ibu itu nakal, tidak bisa berterima
kasih, selalu melawan bila dinasihati, durhaka seperti Malin Kundang. Lebih
bagus kalau Ibu mengatakannya sambil menangis.”
Aku
tidak bisa mengatakan apapun. Sampai wanitu itu menyelesaikan kata-katanya, aku
tidak mengatakan sepatahpun. Meski di dalam hati, begitu banyak yang ingin aku
katakan.
**
Di
kafe pinggir kota ini, menunggu wanita juru bicara itu, aku seperti Kunthi yang
ragu untuk mendatangi Karna, si sulung yang disia-siakan. Kunthi tahu, cintanya
kepada Karna tidak pernah berubah. Karna menempati bagian hatinya yang paling
dalam. Bagian hatinya yang tidak bisa dimasuki siapapun, termasuk Pandawa.
Meski kemudian pertemuan paling mengharu-biru itu terjadi. Kunthi menangis di
hadapan anak sulungnya, meminta agar jangan membunuh Pandawa dalam Baratayudha.
Permintaan paling menyakitkan seorang ibu kepada anak yang mencintai dan
menghormatinya. Karena bagi Karna, janji tidak membunuh Pandawa, sama artinya
dengan membunuh dirinya.
“Kunthi
itu wanita yang dilematis,” kata ayah sekali waktu. “Hatinya porak-poranda
karena kecintaannya kepada anak-anaknya.”
Baru
kali ini aku menyesali apa yang pernah ayah katakan. Karena sambil duduk
menunggu wanita juru bicara itu, aku tidak bisa memilih yang manapun.
Bersandiwara di hadapan wartawan atau membela anakku meski ancaman itu bisa
saja terjadi?
Wanita
cantik yang selalu duduk di meja paling ujung kafe itu menghampiriku. Cangkir
kopi pahit yang sudah dingin dibawanya serta.
“Mengapa
kamu selalu memandangku?” tanyanya.
Aku
terkejut. “Aku tidak memandangmu, aku sedang memandang diriku sendiri,”
jawabku.
“Kamu
terlalu membesar-besarkan persoalan. Cinta seorang Ibu itu tidak bisa
digambarkan oleh cerita yang serumit bagaimanapun. Karena bila sebuah cerita
bisa menggambarkan cinta seorang ibu, maka itu bukanlah cinta seorang Ibu.”
Aku
tersentak. Seperti pernah mendengar kalimat begitu. Kalimat yang tersimpan rapi
di dalam hati.
Wanita
cantik itu berdiri, lalu melangkah meninggalkanku.
“Maaf,
siapakah engkau ini?” tanyaku tiba-tiba.
Wanita
cantik itu menghentikan langkahnya. Lalu memandang kepadaku. Katanya, “Aku
adalah Kunthi Nalibrata.” ***
0 Response to "KUNTHI"
Posting Komentar