Sebuah Catatan (1)
Entah sejak
kapan mulainya, saya selalu merasa tidak enak setiap membaca koran atau memirsa
tayangan berita televisi. Berbagai kontradiksi selalu menyiksa. Bayangkan, di
halaman depan sebuah harian, headlinenya tentang korupsi milyaran rupiah
yang lolos dari jerat hukum, di sebelahnya berita anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah ketahuan menerima “uang segala macam” dari gubernur terpilih, dan
di bawahnya liputan di sebuah wilayah anak-anak kurang gizi karena hanya makan sekali sehari atau hanya tiwul.
Hari berikutnya wabah polio, demam berdarah, kenaikan BBM, kenaikan harga-harga sembako, rusaknya fasilitas-fasilitas umum, “menyiksa” rakyat miskin yang tersebar di kota dan desa. Sementara dana bansos milyaran rupiah dibagi-bagikan untuk “kesejahteraan” keluarga pejabat dan kerabat, proyek-proyek trilyunan rupiah belum dimulai sudah dicuri, kebocoran uang pajak mencapai trilyunan rupiah setiap tahunnya, anggota DPR mengajukan dana aspirasi sebesar 20 miliar rupiah per orang, dan masih banyak lagi.
Di waktu lain, petinggi negeri yang divonis menggelapkan uang jatah kesejahteraan rakyat kecil, didukung begitu heroik oleh para kader partainya yang selama ini menggembar-gemborkan diri “berparadigma baru”. Ustad-ustad yang berpolitik mulai “mengelola” proyek, menerima uang sogokan, dan para pendukungnya masih juga membela sebagai “serangan” terhadap partainya. Berita itu disandingkan dengan dipenjaranya seorang buruh pabrik yang dituduh mencuri sandal bolong saat berwudhu sebelum shalat, seorang nenek miskin dipenjara karena dituduh mencuri buah coklat saat memungutnya di perkebunan. Selain media massa yang menuliskan peristiwa “menyesakkan” itu, tidak ada seorang pun tokoh masyarakat yang mempertanyakan secara keras. Para wakil rakyat malah sibuk bertamasya ke luar negeri dengan ongkos milyaran rupiah.
Sebagai publik yang dididik pasif, saya hanya bisa tidak enak, sedih, dan mentidakbenarkan semua perilaku buruk itu. Tentunya ini adalah keimanan terlemah. Saya tidak bisa lebih dari itu. Karenanya selain bersedih dengan kemuraman negeri ini, juga dengan kelemahan tenaga sendiri.
Hari berikutnya wabah polio, demam berdarah, kenaikan BBM, kenaikan harga-harga sembako, rusaknya fasilitas-fasilitas umum, “menyiksa” rakyat miskin yang tersebar di kota dan desa. Sementara dana bansos milyaran rupiah dibagi-bagikan untuk “kesejahteraan” keluarga pejabat dan kerabat, proyek-proyek trilyunan rupiah belum dimulai sudah dicuri, kebocoran uang pajak mencapai trilyunan rupiah setiap tahunnya, anggota DPR mengajukan dana aspirasi sebesar 20 miliar rupiah per orang, dan masih banyak lagi.
Di waktu lain, petinggi negeri yang divonis menggelapkan uang jatah kesejahteraan rakyat kecil, didukung begitu heroik oleh para kader partainya yang selama ini menggembar-gemborkan diri “berparadigma baru”. Ustad-ustad yang berpolitik mulai “mengelola” proyek, menerima uang sogokan, dan para pendukungnya masih juga membela sebagai “serangan” terhadap partainya. Berita itu disandingkan dengan dipenjaranya seorang buruh pabrik yang dituduh mencuri sandal bolong saat berwudhu sebelum shalat, seorang nenek miskin dipenjara karena dituduh mencuri buah coklat saat memungutnya di perkebunan. Selain media massa yang menuliskan peristiwa “menyesakkan” itu, tidak ada seorang pun tokoh masyarakat yang mempertanyakan secara keras. Para wakil rakyat malah sibuk bertamasya ke luar negeri dengan ongkos milyaran rupiah.
Sebagai publik yang dididik pasif, saya hanya bisa tidak enak, sedih, dan mentidakbenarkan semua perilaku buruk itu. Tentunya ini adalah keimanan terlemah. Saya tidak bisa lebih dari itu. Karenanya selain bersedih dengan kemuraman negeri ini, juga dengan kelemahan tenaga sendiri.
Ketidakenakan
seperti itu yang kadang mendesak saya tidak hanya bersedih, tapi juga
menuliskannya berupa cerita. Selalu merasa belum mendapatkan pola bercerita
yang lebih enak, lebih nikmat, lebih memuaskan meski sementara, lebih
membebaskan dari kesumpekan hidup. Tapi setidaknya membuat saya lebih
bersemangat untuk tetap mencintai negeri ini.
Barangkali ide menulis cerpen dari
“ketidakenakan” membaca berita koran atau memirsa televisi bukanlah ide yang
menyenangkan. Karena sejujurnya saya lebih menikmati menulis cerpen yang idenya
terpicu dari kecerdasan spiritual yang tersebar di dalam kisah-kisah sufistik,
cerita rakyat, dan tentu saja puisi.
“Masuklah ke
telingaku,” bujuknya.
Gila :
ia digoda
masuk ke telinganya sendiri
agar bisa
mendengar apa pun
secara
terperinci – setiap kata, setiap hurup,
bahkan
letupan dan desis
yng
menciptakan suara.
“Masuklah,”
bujuknya.
Gila! Hanya
agar bisa menafsirkan sebaik-
baiknya apa
pun yang dibisikkannya
kepada diri
sendiri
Saya terteguh di hadapan yang
terhormat puisi Telinga karya Sapardi Djoko Damono ini. “Mendengarkan diri
sendiri”, menjadi kalimat yang lebih kental dari kopi pahit, berhari-hari
membuat susah tidur. Meresapi dan memikirkannya menjadi kesenangan spiritual
tersendiri. Dan akhirnya pertanyaan itu muncul, bagaimana mencerpenkannya?
Sama mempesonanya ketika tokoh Ahmed
rela mengembara meninggalkan pekerjaan dan kemapanannya demi bertemu Maulana
Jalaluddin Rumi dalam novel Kimya Sang Putri Rumi karya Muriel Maufroy. Ahmed punya
perasaan samar-samar bahwa Maulana bisa
menjenguk bagian dirinya yang dia sendiri tidak ingin menjenguknya.
Kesadaran “ada bagian gelap di dalam
diri yang begitu lama tidak ditengok apalagi dibersihkan” juga menjadi
kesenangan spiritual yang “mengganggu”. Akhirnya pertanyaan itu datang lagi,
bagaimana mencerpenkannya?
Sering kali saya merasa tidak puas
ketika menulis cerpen dengan ingatan kepada puisi atau kecerdasan spiritual
kisah sufistik. Karena puisi atau kisah hikmah yang awalnya sangat
mempengaruhi, begitu dituliskan dalam bentuk cerpen hasilnya hanya
“tersinggung” sedikit. Cerpen mempunyai kemerdekaan sendiri yang tidak mau
dipengaruhi apalagi ditentukan oleh unsur lainnya.
Cerpen seperti itu bisa disebutkan
berawal dan berakhir di “dunia atas”. Sementara cerpen-cerpen yang saya
sebutkan pertama adalah pengejawantahan “dunia bawah”. Adakah keduanya
berinteraksi, bersitegang?
Mengumpulkan kembali cerpen-cerpen
yang saya tulis sepuluh tahun terakhir, ada semacam ketidaksadaran bahwa “dunia
bawah” dengan “dunia atas” itu sudah bergumul dalam pikiran dan perasaan saya.
Cerpen Legenda Penakluk Harimau yang mengisahkan masih berlainannya keniscayaan
kedua dunia itu, diikuti oleh cerpen Legenda Harimau dan Sumur Tua yang
menceritakan interaksi kedua dunia itu. “Dunia bawah” seringkali mencurigai dan
membungkam “dunia atas” meski secara sadar mengakuinya bahwa “dunia atas”
menyebarkan pencerahan. “Dunia bawah” yang refresif seperti itu, semacam bagian
gelap di dalam hati, di dalam diri, yang bertahun-tahun, atau mungkin sepanjang
hidup kita, tidak ditengok apalagi dibersihkan. Begitu ada kesadaran dan usaha
untuk menengok dan membersihkan bagian gelap itu, tentu saja ada rintangan dan
perlawanan yang mungkin tidak kita perkirakan sebelumnya.
Interaksi semacam itu tanpa disadari
terus berlangsung dalam proses penulisan cerpen saya. Cerpen Pulang Ke Rumah
Ibu yang sentimentil dan hanya mengungkapkan kesedihan, harus diikuti oleh
cerpen Airmata Ayah yang tetap optimis, tetap yakin akan selalu lahir
pencerahan di dalam diri kita. Seberangasan apapun “dunia bawah” harus selalu
dimasuki oleh “dunia atas”.
Hidup barangkali adalah proses
ketegangan antara dua dunia itu. (Yus R.
Ismail) **
0 Response to "Sebuah Catatan (1)"
Posting Komentar