SAAT MALAM SEMAKIN MALAM
Tardi
terbangun ketika angin semilir menerpa pipinya. Dia cepat bersila. Tardi
memperhatikan jam dinding di depannya. Begitu ingat jarum jam itu sudah tidak
berdetak, dia segera beranjak. Pemandangan remang pesawahan seperti
siluet-siluet indah ketika Tardi mendorong pintu musola. Udara dingin segar merasuki
dadanya.
“Sepertinya
sudah lewat dari tengah malam,” gumamnya. Ya, Tardi merasa yakin karena
tenda-tenda di tengah sawah sudah padam. Tenda-tenda orang yang gacong itu menyebar di keluasan pesawahan.
Ada satu-dua tenda yang bercahaya karena di dalamnya ada lampu. Tapi kebanyakan
hanya siluet saja yang menandakan bahwa itu adalah tenda.
Tadi,
sebelum tengah malam, di sekitar tenda-tenda itu masih ramai. Orang-orang ngagebot padi tidak berhenti, dari pagi
sampai malam. Tardi selalu sesak melihatnya. Ya, karena orang-orang yang
mengejar dunia itu, yang mengumpulkan bulir-bulir padi sebanyak-banyaknya itu,
lupa dengan akhirat. Setiap adzan dikumandangkan Tardi atau Abah Sudira, selalu
tidak ada yang berhenti bekerja lalu ke mushola untuk menunaikan ibadah sholat.
Tadi
siang, setelah Tardi mengumandangkan adzan ashar, Abah Sudira pun tidak
kelihatan. Tardi sempat bertanya, apakah Abah Sudira yang merebot mushola ini, akhirnya sama saja dengan yang lain? Ambuing, duniawi, duniawi. Hmm, kasihan
Abah, guman Tardi. Ibadah mesti kalah dengan duniawi yang hanya sementara.
Bagaimana bisanya nur muhammad
menerangi hati bila ibadahnya terlantar. Seperti Si Iroh. Iya, Iroh itu istri
Tardi. Bila sholat Iroh selalu terburu-buru.
**
Sudah
tiga hari Tardi ikut beribadah di musola pinggir sawah. Maksudnya musola di
pinggir pesawahan yang berbatasan dengan sungai. Kata Abah Sudira, dulu musola
itu dibangun oleh Haji Sobana, maksudnya untuk mandi dan sholat para petani
yang menggarap sawahnya. Sewaktu masih ada, Haji Sobana selalu sholat duhur dan
ashar di mushola itu. Para petani pun mengikutinya. Setelah Haji Sobana
meninggal, para petani penggarap itu mulai malas-malasan sholat. Akhirnya hanya
Abah Sudira yang masih rajin ke mushola.
“Silakan
bila ingin beribadah di sini, tidak usah meminta ijin segala. Musola ini rumah
Tuhan, buat ibadah siapa saja,” kata Abah Sudira waktu Tardi meminta ijin untuk
bermalam. “Insyaallah, di sini terasa sunyinya, tenangnya, dan khusuknya.”
Tardi
sendiri sudah merasakan sunyi-malamnya. Tapi hati ini belum terasa khusuk.
Belum bisa untuk khusuk. Pasti karena pikiran yang kadang melayang kepada Iroh. Ya, tidak salah, istri
dan anak itu adalah godaan buat orang yang mengejar ilmu akhirat. Itu juga
sepertinya yang menghalangi nur muhammad
turun menerangi diri. Setitik saja cahaya itu jatuh ke hati, seluas bumi akan
terang benderang. Iroh, Iroh, kamu yang tidak mengerti urusan akhirat. Kamu
yang sudah menganggap enteng bekal akhirat.
Ya,
waktu Tardi khusuk sholat tahajud pukul tiga subuh, Iroh malah mengiris-iris
wortel, kol, pisang, membut adonan bala-bala, pisang goreng dan gehu. Sebenarnya
tidak masalah bila tidak mengganggu. Tapi katanya, “Kang, sudah tahajudnya,
jangan terlalu lama. Bantuin ini bikin gorengan.”
“Nanti
saja bikin gorengannya setelah sholat subuh,” kata Tardi kesal.
“Nanti-nanti
bagaimana, kan bakda subuh itu harus sudah jualan di sebelah kios kue serabi.
Ini gorengannya tolong dibalik-balik, saya masih banyak yang harus
diiris-iris.”
“Lagipula,
jangan terlalu mengejar-ngejar duniawi, tidak akan dibawa mati. Urusan akhirat
yang penting. Kita mesti meningkatkan ibadah, berdoa memohon cinta Tuhan biar nur muhammad menerangi hati kita. Kamu
tahu apa nur muhammad?”
“Ah,
bosan! Nar-nur nar-nur tapi pekerjaan diam tidak menghasilkan. Percuma ibadah
juga bila sambil menyiksa orang lain!”
“Dasar,
kamu bodoh! Duniawi saja yang diurusnya! Hanya kewajiban saya mengingatkan dan
mengajak, terserah kamu mau nurut atau tidak. Waktu lahir setiap manusia
dibarengi nur muhammad, mati juga
mestinya dibarengi nur muhammad.
Masalah duniawi itu kecil sekali. Bila kita, tubuh dan hati kita, sudah
ditetesi nur muhammad, apapun
keinginan kita bakal terlaksana. Ingin apapun tidak akan susah. Siapapun yang
sudah terkena nur muhammad tidak akan
sibuk mengurus duniawi, seperti kamu!”
“Akang
yang bodoh! Si Itok hampir setiap hari nangis. Malu katanya selalu ditagih oleh
guru, kapan bayar ongkos ujian dua ratus lima puluh ribu rupiah?”
“Bayar
apa lagi, sekolah SD Negeri kan gratis. Bulan lalu buat bayar buat cat pagar,
sekarang buat ujian?”
“Tidak
tahu, tanyakan saja ke sekolah! Katanya ujian itu harus menyiapkan ini-itu,
dana BOS tidak cukup. Makanya Akang yang datang bila ada rapat di sekolah, biar
bisa protes!”
“Dasar
manusia, punya kekuasaan sedikit saja dimanfaatkan untuk memperkaya diri
sendiri. Lupa, segala perilaku akan terbawa ke akhirat!”
“Jangan
banyak omong, Kang! Yang bayar cat pagar saya yang mengusahakannya, bayar
perbaikan toilet sekolah saya yang menabung, sekarang buat bayar ujian saya
yang jualan ini jualan itu. Akang mah sekedar protes sambil diam! Sekarang
waktunya untuk bekerja, Kang! Bekerja!”
“Kamu
ini, Iroh! Ngomong ngelantur saja! Akang ini sedang mengusahakan urusan
akhirat. Nur muhammad yang sedang
Akang kejar. Akang mendapatkan cahanya, meski hanya setetes, kamu bakal
terbawa-bawa.”
“Dasar…!
Peribahasa…!”
Bila
sudah begitu Iroh akan diam bicara. Waktu sholat subuh, Iroh melakukannya
dengan tergesa. Begitu salam, langsung beres-beres, lalu membawa gorengan ke
pinggir jalan, duduk di sebelah Mak Enong yang sedang bikin kue serabi. Tidak
habis di sana, lalu berkeliling ke rumah-rumah. Pulang sekitar pukul sembilan
pagi. Waktu itu Tardi sudah bersiap mau sholat sunat duha.
“Cepat
sholat duhanya, Kang. Bantuin saya memetik kangkung di sawah Mang Samin.
Lumayan ikut panen kangkung, bisa dapat bagian maro,” kata Iroh.
Lalu
berantem lagi. Sudah biasa. Hampir setiap hari. Tiga hari yang lalu berantem yang
termasuk lebih dari biasa. Anak kedua mereka, Iyam yang baru empat tahun, sakit
demam, panas badannya tidak mau turun.
“Bawa
ke dokter, Kang, kasihan,” kata Iroh.
“Kompres
saja dulu. Jangan segala ingin bayar,” kata Tardi. “Lagipula, saya sedang
berzikir tinggal beberapa ribu lagi, sayang kalau mesti tidak khatam.”
“Dikompres
kan sudah dua hari yang lalu! Kang, zikir itu bisa sambil apa saja. Sambil
nyangkul di dalam hati berzikir lailahaillallah,
sambil nyabit berzikir subhanallah,
sambil mengiris wortel berzikir hasbunallah
wa nimal wakil, sambil menggoreng berzikir nimal maula wa niman nasir.”
“Dasar,
istri kurang ajar!”
“Akang
yang kurang ajar! Setiap hari hanya diam! Melihat istri banting-tulang
mengerjakan apa saja malah santai-santai saja. Masih untung bila tidak ikut
makan ikut minum!”
“Hati-hati
kamu bicara, Iroh! Dosa besar mengatai suami seperti itu!”
“Akang
yang dosa! Anak sakit diam saja!”
“Diam
bagaimana, saya ini sedang menjalankan syariat, bila nur muhammad sudah turun, kamu juga terbawa-bawa.”
“Bosan!”
Setelah
berantem waktu itu Tardi pergi dari rumah. Dia berjalan tanpa tujuan hanya
berbekal beberapa kepal beras. Akhirnya sampai ke musola pinggir sawah.
**
Tardi
khusuk berzikir meski berkali-kali terganggu oleh kantuk. Menjelang subuh dia
terbangun. Dia merasakan sesuatu yang aneh. Dipejamkan juga matanya tetap
terlihat yang aneh itu. Ada cahaya yang bersinar dari langit. Cahaya yang
begitu indah itu terasa oleh hatinya. Tardi lalu bergegas ke luar musola. Benar
saja, di langit ada tangga cahaya yang jatuh ke suatu tempat.
“Ya
Tuhan, ini sepertinya nur muhammad
yang saya rindukan itu,” gumam Tardi. “Begitu bahagianya meski hanya sekedar
melihatnya. Tuhan, tunjukkan ke siapa cahaya itu turunnya. Saya ingin berguru
kepadanya.”
Tardi
segera beres-beres, lalu pergi mengikuti tangga cahaya itu. Angin semilir
menerpa kulit terasa segar, rupanya sudah waktunya pepohonan mengeluarkan
oksigen. Setelah berjalan terantuk-antuk tapi tidak terasa lelah karena hati
ingin segera melihat tempat jatuhnya cahaya, Tardi terpana melihat sebuah rumah
begitu bercahaya. Ke rumah itu cahaya dari langit itu jatuh. Lalu terkejut,
karena Tardi ingat rumah itu adalah rumahnya.
Cahaya
dari langit itu seperti tidak berbekas karena terserap cahaya listrik yang
dipasang di sana-sini. Kang Sobri, Jang Maman, Pak Nano, tetangga Tardi, masih
belum selesai memasang lampu di halaman. Tardi menghampiri mereka. Kang Sobri,
Jang Maman, Pak Nano, yang sekarang terpana melihat Tardi.
“Ada
apa, Kang?” kata Tardi.
Ketiganya
ragu-ragu untuk menjawab. Tardi sendiri lalu mendorong pintu rumah. Di tengah
rumah, sesosok
anak terbujur kaku, seluruh tubuhnya
ditutupi kain samping. Iroh dan Itok menangis di sebelahnya, ditenangkan oleh
tetangga-tetangganya. ***
Catatan:
gacong = panen padi di sawah orang lain
ngagebot = memukulkan rumpun
padi ke papan agar bulir-bulir padi berjatuhan.
merebot = penjaga
masjid/musola
ambuing = kata yang
menyatakan keheranan
nur muhammad = cahaya yang merupakan asal-usul
seluruh makhluk ciptaan Tuhan dalam suatu kepercayaan*Cerpen ini terbit di Padang Ekspres 13 Oktober 2019
0 Response to "SAAT MALAM SEMAKIN MALAM"
Posting Komentar