BERTEMU WALI
Pagi berkabut turun di desa Karang Tumaritis. Matahari
kalah bersaing dengan gerimis yang kemudian turun. Orang-orang seperti yang
malas untuk pergi bekerja. Udara memang dingin mencucuk tulang.
Tapi di rumah Kang Alpan terasa hangat dengan kedatangan Dirman.
“Apa yang dikatakannya, Dir?” tanya Kang Alpan.
“Wah, lupa Kang. Melihatnya berjalan saja, dengan
senyumnya yang khas, membuat saya terpana,” kisah Dirman.
“Berjalannya memang seperti itu? Tangan yang satu ke
depan, dan tangan yang satunya lagi ke belakang?”
“Ya, keseimbangan, Kang.” Dirman seperti yang
terperanjat. “Betul Kang, beliau mengatakan itu. Hidup haruslah seimbang. Orang
hebat itu bukan yang tidak pernah salah. Tapi orang yang cepat memperbaiki
kesalahannya dan tidak pernah mengulanginya lagi. Beliau kan Wali, Kang.”
“Lalu?”
“Lalu beliau berjalan. Di ujung jalan, beliau naik
tangga. Tangga cahaya, Kang. Ke langit.”
Kang Alpan berdecak kagum. Lalu tatapan matanya beralih
ke luar rumah, ke hamparan kabut yang mulai menipis. Sudah lama dia ingin
bertemu dengan Wali. Sejak kecil Kang Alpan sudah mendengar cerita tentang Wali
yang wujudnya seperti Semar, kadang dilihat penduduk berkeliling kampung. Kata
bapaknya, ibunya, kakeknya, itulah leluhur Karang Tumaritis yang selalu menjaga
keseimbangan mental orang Karang Tumaritis.
Berbagai usaha telah dilakukan Kang Alpan. Puasa,
berjikir, tidak makan dari yang bernapas, sedekah, dan entah apa lagi. Tapi
malah Dirman, sekretarisnya, yang mendapat rejeki didatangi beliau.
**
Kabar Dirman bertemu Wali segera menyebar ke seluruh desa.
Dirman selalu ditanya oleh orang-orang desa yang ingin tahu. Pasar, warung
kopi, kebun, sawah, menjadi tempat menyebarnya kabar itu. Ketika orang-orang
yang sedang membicarakan Wali itu melihat Dirman, mereka segera memanggil
sekertaris desa itu dengan hormat.
“Kang Dirman, mampir dulu sini,” kata Pak Jaju saat
Dirman lewat ke gubuk di pinggir sawah. Dirman meminggirkan sepeda ontelnya.
Sudah biasa dia mampir ke tempat orang-orang desa berkumpul. Sekedar menengok,
atau ingin tahu apa yang sedang menjadi permasalahan orang-orang desa.
“Kang Dirman, apa ada petunjuk dari pertemuan sampean
itu?” tanya Pak Jaju mewakili lainnya. Ada sekitar sepuluh orang petani yang
waktu itu berkumpul di gubuk pinggir sawah. Mereka sedang istirahat setelah
menyiangi padi, membersihkan rumput-rumput gulma yang akan mengganggu
pertumbuhan padi.
“Pertemuan yang mana, Pak?” Kang Dirman malah balik
bertanya.
“Itu, pertemuan sampean dengan yang kita impikan itu,
kangjeng Wali.”
“Oh, saya hanya bermimpi melihatnya, Pak. Tidak ada
petunjuk apa-apa.”
“Apakah beliau tidak mengisyaratkan, sebaiknya musim
tanam sekarang sawah itu ditanami palawija karena airnya semakin susah?”
“Haha... Pak Jaju ini. Tidaklah. Saya hanya bermimpi
melihatnya.” Kang Dirman tertawa renyah. Sementara para petani yang ada di
sekitarnya begitu seksama mendengarkannya, ingin tahu apa yang telah terjadi.
“Artinya, kita harus tetap bekerja giat di bidang kita masing-masing. Petani ya
bertani yang rajin, pedagang ya berjualan yang jujur, pegawai ya bekerja yang
semangat.”
Begitu biasanya Kang Dirman akan berkata bila orang-orang
desa memanggilnya. Dia tidak pernah mengatakan sejujurnya apa yang dilihatnya. Dia
takut orang-orang desa menjadi terganggu dengan berbagai bayangan yang ada di
kepala mereka. Tidak mengatakan yang sejujurnya pun, mimpi Dirman bertemu Wali
itu berkembang ke mana-mana. Katanya Dirman nantinya akan menjadi pejabat
negara. Katanya desanya akan subur makmur meski tanpa bekerja yang rajin.
Katanya desanya akan dicoba dengan berbagai bencana kecil sebelum semakin
makmur.
Dirman hanya mengatakan yang sejujurnya kepada Kang
Alpan.
**
Suatu pagi Dirman terburu-buru ke rumah Kang Alpan.
“Saya bermimpi ketemu lagi, Kang,” kata Dirman dengan suara
yang lemah dan gugup. “Tapi beliau marah kali ini.”
“Marah? Marah bagaimana?”
“Katanya, dia tidak suka dengan apa yang dilakukan Haji
Fahri. Meski sudah ke tanah suci, Haji Fahri mendaftarkan anaknya menjadi
polisi lewat jalur belakang, dengan membayar tiga ratus juta rupiah entah kepada
siapa.”
Kang Alpan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lalu juga beliau tidak suka kepada Ceu Omoh, pedagang daging ayam di pasar, karena Ceu Omoh sering mengurangi timbangan. Pak
Sutar juga dikritik. Kata beliau, jangan menyalahgunakan jabatan bendahara
hanya untuk memperkaya diri sendiri. Karena kekayaan seperti itu hanya akan
melilitnya seperti ular, bukan membebaskannya.”
Kang Alpan terdiam. Dia mulai berpikir, apa yang
dikatakan Wali adalah amanat. Wali bukan hanya mengoreksi Haji Fahri, Ceu Omoh, dan Pak Sutar, tapi yang utamanya adalah menegur dirinya sebagai kepada
desa.
“Apa lagi yang dikatakannya, Dir?” tanya Kang Alpan.
“Tidak ada. Hanya itu, Kang. Lalu seperti mimpi yang
lalu, beliau pergi lagi, berjalan meniti tangga cahaya, ke langit yang
bercahaya.”
Kang Alpan terdiam beberapa jenak. Ada yang harus
dikerjakannya sebagai kepala desa, tapi apa? Wali pasti memberikan petunjuk
dengan perilaku dan perkataannya, tapi apa?
“Kang, kenapa mesti saya yang dipilih beliau. Saya selalu
bersedih yang sangat, kadang sehabis bertemu saya menangis, karena saya pun
merasa bukan orang yang bersih,” kata Dirman.
“Hus, jangan berkata begitu. Kamu itu orang pilihan, Dir.
Karena kamu dekat dengan aku. Dan aku pun harus berani menyampaikan pesan
beliau kepada orang-orang yang ditujunya. Tentu saja harus dibarengi dengan
kamu.”
**
Kabarnya ketika Kang Alpan dan Dirman menemui Haji Fahri, Ceu Omoh, dan Pak Sutar, ketiga tokoh desa itu menangis. Mereka menyesali apa
yang sudah dilakukannya. Haji Fahri memeluk Dirman, berkali-kali berterima
kasih sudah diingatkan.
“Bapak ini ketakutan, Dir, Bapak ketakutan,” kata Haji
Fahri setelah memeluk Dirman. “Bapak ini takut anak-anak tidak hidup cukup
rejekinya. Padahal soal rejeki sudah ada yang mengaturNya, tugas kita hanya
mengusahakannya dengan sebersih-bersihnya. Padahal semakin Bapak tua, semakin
yakin, dunia ini sementara, rejeki itu hanya titipan.”
Kang Alpan dan Dirman tidak banyak bicara melihat Haji
Fahri menangis di hadapan mereka.
“Mengapa Bapak sampai gelap mata, menghalalkan segala
cara, hanya karena ketakutan yang tidak berdasar itu. Bagaimana Bapak mesti
bertobat, Kang Alpan?” kata Haji Fahri sambil menahan tangisnya.
Tidak banyak yang dikatakan Kang Alpan dan Dirman. Mereka
hanya berjanji, besok-lusa akan datang lagi. Mereka hanya menyampaikan, dan
benar-benar tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
“Itulah hidup yang seimbang, Dir. Makanya beliau selalu
berjalan dengan tangan yang satu ke depan dan yang satunya lagi ke belakang,
biar selalu ingat dengan keseimbangan,” kata Kang Alpan ketika mereka pulang dari
rumah Haji Fahri.
**
Berpuluh tahun kemudian, kabarnya semakin banyak orang
desa Karang Tumaritis yang bertemu Semar. Termasuk Kang Alpan. Kenyataan itu
yang membuat desa Karang Tumaritis terkenal. Kabar lisan dari mulut ke mulut,
media cetak, internet, menjadikan desa Karang Tumaritis dikenal dunia.
Tentu saja banyak orang yang sengaja datang ke desa
Karang Tumaritis. Karena kabar penduduk desa Karang Tumaritis sering bertemu Wali
diikuti oleh prestasi yang luar biasa. Alamnya asri, indah, penduduknya ramah,
gemar menolong, merasa bahagia dengan hidup bersih, dan beribadah menjadi
keseharian mereka.
Organisasi massa, partai politik, para pejabat eksekutif,
legislatif, perguruan tinggi, juga melakukan penelitian di desa Karang Tumaritis.
Bertahun-tahun mereka melakukan berbagai cara untuk bertemu Wali. Apa yang
dilakukan penduduk Karang Tumaritis ditirunya sesempurna mungkin.
Tapi tidak seorang pun yang bertemu Wali. Ya, karena
mereka tidak tahu, Wali selalu hadir di hati dan kesadaran penduduk Karang Tumaritis,
bukan di dunia nyata. ***Cerpen ini pernah tayang di Tribun Jabar 22 September 2019
0 Response to "BERTEMU WALI"
Posting Komentar