DURNA EDAN
Kocap kacarita, resi Durna bingung tidak berujung. Baru
saja mundur dari hadapannya nayaka praja Astina, patih Sengkuni yang membawa
titah Prabu Duryudana. Kepentingannya hanya sebuah pertanyaan yang cukup
dijawab dengan satu kata.
“Bagaimana, Kakang?” kata patih Sengkuni. “Ke mana
pilihan Kakang, pro Kurawa atau Pandawa?”
Resi Durna beberapa saat tidak bicara. Pertanyaan
sederhana itu sungguh berat jawabannya. Ya, karena hatinya, hati terdalamnya,
tetap membenarkan Pandawa. Sejak kecil mengajarkan berbagai ilmu budi pekerti
sampai keterampilan berperang, Pandawa yang bisa menyerap intinya.
Tapi tentu kejujuran itu tidak bisa dikatakannya. Selama
ini resi Durna hidup mapan berkat jabatannya di Padepokan Sokalima yang berada
di wilayah Astina. Anak semata wayangnya, Aswatama, juga hidup mewah berkat
koneksi Kurawa.
“Bagaimana, Kakang?” tanya patih Sengkuni entah yang
keberapa kalinya.
“Kurawa,” jawab resi Durna dengan berat hati.
“Nah, kenapa tidak dari tadi, Kakang. Kata Ratu Prabu
Agung Duryudana, tugas pertama Kakang adalah...,” bisik patih Sengkuni.
Resi Durna merenung tanpa ujung. Hatinya gelisah. Kepalanya
perlahan menggeleng menolak tugas radikal dari Kurawa itu.
“Bila Kakang tidak sanggup, bukan saja dipecat dari
jabatan, tapi juga bisa dieksekusi. Juga begitu yang akan dialami Aswatama,”
kata patih Sengkuni. “Tapi bila Kakang oke, bonus tinggal mengambil.”
Itu yang menjadikan resi Durna mengangguk dengan pikiran
tidak menentu. Dan saat patih Sengkuni mundur dari hadapannya, Bratasena
kemudian datang, resi Durna harus tega dengan hatinya sendiri.
“Bima anakku,” kata resi Durna dengan suara bergetar
penuh emosi. “Jika engkau ingin menguasai ilmu sangkan paraning dumadi (asal-usul kehidupan), ada syarat yang
harus dipenuhi. Engkau harus mendapatkan banyu
perwita sari mahening suci yang berada di Hutan Tikbrasara di kaki Gunung
Reksamuka.”
Seperti biasa, Bratasena yang memang haus ilmu, segera
berangkat memenuhi petunjuk sang guru. Semangat Bratasena berlawanan dengan
hati resi Durna yang menjerit. Baru kali itu sang guru merasa air minum serasa hambar
makan nasi serasa basi. Padepokan Sokalima yang begitu indah; pepohonan
menghijau, air mengalir bening, burung-burung berkicau, hewan-hewan bersuara,
tidak mengobati gundahnya jiwa.
Ya, karena resi Durna tahu, Hutan Tikbrasara itu
jangankan pernah dimasuki manusia, burung lewat saja jatuh karena
keangkerannya. Belum lagi dua raksasa penunggu Rukmuka dan Rukmakala yang sadis
tiada bandingnya. Bratasena harus lenyap, begitu pesan dari Astina.
Sedikit yang mengobati hati resi Durna, dia merasa tidak
sendirian. Sekarang ini tahun politik menjelang Baratayudha. Banyak resi,
pendeta, romo, ustadz, kiai, apalagi sekedar wakil rakyat atau pejabat partai; yang
menyerah karena uang atau jabatan.
Itu sebabnya rasa gembira resi Durna saat melihat
Bratasena datang dengan kabar keberhasilannya, hanya sekejap ditumpas dengan tipu
muslihat baru.
“Air suci itu memang adanya di dasar samudra minangkalbu,”
kata resi Durna.
Bratasena tanpa prasangka curiga segera berangkat lagi.
Tapi hati resi Durna sudah tidak bisa terobati lagi. Badannya panas-dingin,
menggigil. Bicaranya melantur menyebut-nyebut nama ksatria kedua dari Pandawa
itu. Begitu sadar lagi, resi Durna mencari-cari tali tambang di gudang. Di
kebun padepokan resi Durna menggantung diri. Sayangnya talinya kepanjangan.
Sejak itu resi Durna sering terlihat berkeliling kota
hanya memakai handuk sambil menggumamkan sesuatu. “Ampun politik... ampun
politik....” Begitu katanya. ***
3 September 2019
* Cerpen ini terbit di harian Kedaulatan Rakyat 15 September 2019
0 Response to "DURNA EDAN"
Posting Komentar