KEMBANG SINGKONG
Senja
yang muram. Gerimis membekukan daun-daun jambu. Angin entah ke mana. Kepak
burung yang menembus gerimis mempertegas sunyi. Ratmi memejamkan matanya. Dia
berusaha meyakini, senja memang muram. Sunyi. Bukan di dalam dirinya. Bukan di
dalam hatinya. Meski ada perasaan sedih yang hampir-hampir tidak sanggup
dibendungnya. Perasaan yang sempat membuat matanya perih, mendorong sebutir air
menyusuri pipinya.
Ratmi
duduk di kursi balkon. Balkon itu merupakan teras yang luas di depan kamarnya
di loteng rumahnya. Dari sini pemandangan selalu indah. Biasanya. Ya, biasanya.
Halaman yang luas tertata rapi. Mang Eman yang mengurus halaman tidak pernah
membiarkan pepohonan terlalu rimbun, bebungaan kering, kolam kecil di ujung taman
kekurangan atau kelebihan air.
Tapi
kali ini, halaman yang tertata rapi itu tidak terlihat indahnya. Karena di
halaman itu tidak ada jejak ban motor Dayan. Dua hari yang lalu halaman itu
penuh dengan mobil. CRV milik Rintan, SUV milik Dasiman, Inova milik Raninta.
Ya, semua anaknya datang. Dengan keluarganya masing-masing. Mereka ramai
memenuhi ruang tengah. Saling bercanda. Saling cerita. Lalu pindah ke ruangan
loteng, melihat pemandangan alam. Lalu pindah ke taman halaman belakang.
Cucu-cucunya memancing di kolam kecil.
Ramai.
Meriah. Rumah besar itu seperti sedang berpesta. Ya, sejak dua hari yang lalu.
Waktu hari ulang tahun Ratmi. Anak-anaknya, menantunya, cucu-cucunya, membawa
kado. Rintan dan Raninta memberi perhiasan. Dasiman memberi tiket berlibur
keliling Eropa. Cucu-cucunya, ada yang memberi buku, bunga yang katanya sengaja
ditanam dua bulan yang lalu, dan entah apa lagi.
Kang
Dira berdoa. Lalu Ratmi meniup lilin enam buah di sebelah kiri dan lima buah di
sebelah kanan, pertanda enam puluh lima tahun. Lalu semuanya memeluk dan
mencium Ratmi. Lalu kue dipotong, semuanya makan belepotan. Lalu ada yang menyanyi,
baca puisi, bersorak, main gitar, main piano. Meriah.
Tapi
hati Ratmi sepi. Senyap. Lebih senyap dari senja setelah semua anak-anaknya
pulang. Gerimis membekukan daun-daun. Tidak ada suara apapun yang terdengar.
Sengaja. Dulu ketika membeli rumah ini, sengaja memilih yang paling ujung, yang
berdekatan dengan hutan. Ratmi dan Dira, suaminya, sama-sama menyukai tempat sepi.
Dari sini, tidak terdengar suara kendaraan.
Tapi
sunyi kali ini tidak sebanding. Tidak sebanding dengan hati Ratmi. Hati Ratmi
lebih sunyi, lebih senyap. Ya, karena ulang tahun kali ini Dayan tidak datang.
Anak bungsunya itu tidak berkabar apapun. Tidak ada ucapan selamat. Tidak ada
surat. Tidak ada telepon. Tidak ada email. Tidak ada SMS.
Kean,
anak semata wayang Dayan, cucunya yang mungkin sekarang sudah tujuh tahun, apa
kabarnya sekarang? Setiap tahun, kalau semua anaknya berkumpul, anak itu yang
banyak berceria. Cerita tentang serunya main di sungai, mencari ikan, bermain
di sawah, membuat baling-baling daun kelapa, memelihara kelinci, memanen ubi,
dan banyak lagi ceritanya yang unik. Unik bagi saudara-saudaranya yang tinggal
di kota. Karenanya Kean selalu menjadi bintang mendongeng. Setiap Kean selesai
mendongeng, saudara-saudaranya bertepuk tangan. Tante dan pamannya memeluk dan
mencium. Kang Dira tentu lebih lagi perhatiannya terhadap Kean. Ratmi tahu,
Kang Dira sering membeli hadiah-hadiah buat Kean, lebih sering dan lebih bagus
dibanding buat cucu-cucunya yang lain.
Dan
Ningsih, menantunya yang tidak pernah berias berlebihan, tidak pernah
bermake-up kecuali bedak, kenapa tidak datang kali ini? Hampir sepuluh tahun
sejak Dayan pertama kali mengenalkannya, menantunya itu seperti tidak berubah.
Rambutnya yang panjang selalu tersisir rapi. Tidak pernah bicara yang tidak
perlu. Hanya senyumnya. Hanya senyumnya yang diumbar menjadi wakil
kata-katanya.
Mengapa
Dayan tidak datang kali ini? Biasanya, setiap tahun menjelang ulang tahunnya,
Dayan selalu datang paling dulu. Motornya parkir di bawah pohon jambu air. Cucu-cucu
yang sudah remaja sering meminjam motor Dayan untuk berkeliling kompleks, atau
ke pedesaan. Mereka senang bisa naik motor sepuasnya.
Apa
Dayan kecewa dengan sikapnya? Sikap diamnya sejak belasan tahun yang lalu?
“Kecewa
dan sangat bersedih, Mih,” kata Kang Dira, setahun yang lalu. “Dayan menangis,
memeluk Papih erat sekali. Katanya, mengapa Mamih sampai sebegitu marahnya?
Belasan tahun Mamih tidak menyapanya.”
Ratmi
berdiri, lalu ke kamar. Selalu begitu. Siapapun yang ingin membicarakan Dayan,
selalu ditinggalkannya. Hatinya terlalu sakit. Ya, hanya anak itu yang sanggup
menjatuhkan kebanggaannya, egonya, kehormatannya.
Semuanya
berawal saat Dayan masuk kuliah. Entah apa yang dilakukannya di kampus.
Diskusi-diskusi, buku-buku yang bertebaran di kamar, dan akhirnya demonstrasi
di jalanan. Ratmi masih menganggapnya wajar. Bahkan bagus. Demonstrasi menandai
bahwa dia punya perhatian sosial.
Tapi
kemudian Dayan tidak hanya demonstrasi di jalanan. Dayan lebih keras
demonstrasi di rumah. Awalnya karena teman-temannya mengadakan kegiatan amal
dan kreativitas remaja, memasukkan proposal ke departemen yang dipimpin Ratmi. Setelah
acara itu selesai, Dayan malah mendebatnya di rumah.
“Dayan
baru tahu, ternyata dana kegiatan dari pemerintah dipotong 50%. Kenapa mesti
dipotong, Mih? Buat siapa yang 50% lagi?” tanyanya keras. “Katanya, hampir semua proyek di
departemen pemerintah ada potongan sampai 50%. Itu namanya korupsi, Mih! Negara
dirugikan! Rakyat dirugikan! Pantas saja jembatan cepat ambruk, jalan cepat
rusak, program pemberdayaan tidak sampai ke rakyat paling bawah.”
“Ah,
baru jadi demonstran begitu saja sudah sok bersih!” balas Ratmi tidak kalah
keras. “Mamih ini dulu demonstrasi juga. Mamih menentang konglomerasi! Turun ke
jalan!”
“Ya
Mih, memang seperti itu kenyataannya. Negara ini tidak bisa belajar dalam
mengisi kemerdekaannya!” Dayan tetap mendebat. “Tahun 66 mahasiswa turun ke
jalan, lalu sebagian demonstran jadi legislatif, jadi pejabat, akhirnya
korupsi! Tahun 70an juga begitu, para demonstran yang kemudian mengatur negara,
malah korupsi! Mamih juga sebagai mantan demonstran tidak bisa berbuat apa-apa
saat setiap proyek di departemen yang Mamih pimpin harus dipotong sampai 50%.
Buat siapa yang 50% lagi? Atau Mamih sendiri kebagian?”
“Dayan!”
“Mamih
kan pemimpinnya, masa tidak tahu apa-apa? Papih itu hanya dosen biasa saja,
dosen yang idealis, tidak bisa berbisnis. Tapi kita punya tanah seluas hampir
dua puluh hektar di kampung pinggiran Bandung di Yogya di Solo, punya villa di
Bogor, punya ternak ayam, kolam terapung di Jatiluhur, rumah makan, mobil-mobil
mewah seharga miliaran, saham ini itu; itu pasti dari Mamih! Apa bisa membeli
semuanya dari gaji Mamih?”
“Kamu
keterlaluan! Kamu makan, membeli buku-buku, pergi berlibur ke manapun yang kamu
mau, biaya kuliah; itu dari Mamih!”
“Iya,
dari mana Mamih....”
Ratmi
begitu saja menampar anaknya, sampai Dayan terjatuh. Sampai Dayan terdiam.
“Pergi
kamu! Berani-beraninya kamu menentang Mamih!”
Ratmi
masih ingat bagaimana tidak beraturannya napasnya waktu itu. Tidak ada rasa
penyesalan di hatinya saat Dayan pergi membawa baju dan buku-bukunya. Sejak itu
Ratmi tidak pernah melihat anak bungsunya itu. Kata Kang Dira, Dayan kerja
menjadi pengantar katering untuk menyelesaikan kuliahnya.
“Biarin,
anak yang sok jago harus kuat!” Ratmi masih ingat begitulah dia berkomentar. “Jangan
pernah ada yang memberinya uang, Pih. Dia sudah keterlaluan! Dikiranya hidup
ini bisa hanya mengandalkan idealisme.”
Nyatanya,
Dayannya sendiri tidak mau diberi apapun juga. Kang Dira bercerita, dia
diam-diam memberinya uang, tapi Dayan menolaknya.
“Papih
pasti memberi ini secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan Mamih. Karena Mamih
pasti melarang,” kata Dayan. “Terima kasih, Pih. Tapi bukannya Dayan menolak. Dayan
hanya ingin membuktikan saja, Dayan sanggup menyelesaikan kuliah tanpa bantuan
dari mana pun.”
Ratmi
tidak berkomentar ketika Kang Dira menceritakannya. Dia masih marah. Termasuk
saat Dayan dengan suka citanya datang suatu hari. Dia membawa kabar bahwa
kuliahnya sudah selesai. Kang Dira, juga kakak-kakak Dayan, bersuka cita. Tapi
tidak Ratmi. Hanya untuk menemuinya saja Ratmi tidak mau.
Juga
saat suatu hari Dayan membawa Ningsih, calon istrinya. Ratmi tidak mau
menemuinya. Hari pernikahan Dayan pun dilewatkannya begitu saja. Ratmi lebih memilih
menghadiri pelatihan pegawai baru di departemennya.
Lalu
Dayan hanya datang setahun sekali saat Lebaran. Tapi saat orang-orang meminta
maaf dan memaafkan itu juga Ratmi tidak mau menemuinya. Kang Dira, Rintan,
Dasiman, Raninta, semuanya pernah bicara kepadanya. Bicara berdua-duaan, dari
hati ke hati. Tapi hati Ratmi tidak mau luluh. Dayan sendiri pernah mengeluh
kepada Kang Dira, kepada kakak-kakaknya, sambil menangis. Tapi cerita seperti
itu tidak membuat Ratmi berubah sikap.
Setelah
pensiun, Ratmi sempat terpilih jadi legislatif selama satu periode. Banyak
partai yang sejak awal menawarinya. Juga teman-temannya hampir semuanya beralih
ke situ setelah pensiun. “Biar tidak post power sindrome,” kata salah seorang
temannya.
Tapi
umur adalah sesuatu yang tidak bisa dibohongi. Setiap bertambah satu lilin di
kue ulang tahunnya, Ratmi merasakan kesepian yang semakin mengaliri seluruh
tubuhnya. Ya, kesepian yang dia sendiri tidak mengerti. Lamborghini, alphard,
mobil-mobil mewah yang dulu dia merasa bangga setiap membicarakan dengan
teman-temannya, sekarang melihatnya di garasi tidak ada artinya sama sekali. Berakhir
pekan melihat perkebunannya yang luas, menyusuri pepohonan cabai, peternakan
ayam, hatinya malah hampa.
Hati
kecilnya selalu teringat Dayan. Setahun setelah Dayan menikah, Ratmi masih
ingat mengutus anak buahnya secara diam-diam untuk menghubungi Dayan. Waktu itu
Dayan ikut tes CPNS. Bagaimanapun Ratmi ingin membantunya. Tapi Dayan malah
marah-marah.
“Dasar,
mental tikus! Masa dia datang kepada Dayan, Pah. Katanya, ‘Hasil tes Bapak itu
sebenarnya masuk sepuluh besar. Tapi masih tidak aman karena banyak yang lewat
jalur belakang. Nah, saya bisa bantu untuk mengamankannya. Tarif jalur belakang
PNS sekarang ini seratus jutaan. Bapak hanya perlu menyediakan tiga puluh juta
rupiah saja. Tidak besar, hanya untuk uang jajan yang ngurusnya saja. Itu juga
dibayarkannya nanti saja setelah benar-benar keterima.’ Dia bilang begitu,
Pah.”
“Ya,
kalau memang Dayan mau masuk, Papah bisa menyediakan uang sebanyak itu,” kata
Kang Dira yang memang sudah dikoling oleh Ratmi.
“Papah
ini bagaimana? Kok, sama-sama ingin jadi tikus sih? Dayan yakin, diminta
seratus juta pun, hari ini, Papah pasti bisa menyediakannya. Tapi cara seperti
ini kan yang ditolak Dayan sejak dulu, Pah. Sampai kapan pun Dayan tidak akan
kompromi. Dayan tidak menyesal sikap ini menyusahkan pekerjaan Dayan. Dayan
hanya menyesal, dulu, menyampaikan sikap ini mungkin salah, kepada Mamih,
sehingga Mamih marah, sampai sekarang.”
Ratmi
mendengarkan percakapan itu diam-diam. Dia semakin yakin, Dayan memang keras
kepala. Dayan lebih memilih bekerja di perusahaan komputer kecil yang gajinya
hanya dua juta rupiah per bulan. Dua tahun kemudian Dayan pindah ke kampung
istrinya.
“Dayan
itu anak kita yang paling hebat, Mih. Dia lebih mandiri, lebih bekerja keras,”
cerita Kang Dira. “Sekarang dia bertani singkong, membuat keripik singkong. Langganannya
sudah menyebar di kota-kota besar Indonesia.”
Ya,
Dayan memang keras kepala. Keras kepala yang dulu menjatuhkan harga diri, ego,
kehormatan, dan kebanggaan Ratmi sebagai pegawai sukses. Tapi setelah pensiun,
setelah semakin sering merasa kesepian entah oleh apa, Ratmi diam-diam menganggap
sikap Dayan adalah sesuatu yang luar biasa. Sikap yang indah dalam mengisi
hidup.
Karenanya
suatu subuh Ratmi membangunkan suaminya. “Pah, perkebunan kita sekarang
ditanami apa?” tanyanya lembut.
“Hah,
apa Mih?” Dira terbangun. ”Mamih mau ke kebun? Mau lihat panen kacang tanah?”
“Bukan
Pih. Mamih ingin ke kebun singkong. Mamih ingin bakar singkong, seperti dulu,
waktu kita masih berdua.”
“Kita tidak menanam singkong. Yang
selalu menanam singkong ya Dayan....” ***
Cerpen ini dipublikasikan di majalah Femina edisi Juli 2018
Cerpen ini dipublikasikan di majalah Femina edisi Juli 2018
0 Response to "KEMBANG SINGKONG"
Posting Komentar