KEMBANG SINGKONG

cerpen Yus R. Ismail

Senja yang muram. Gerimis membekukan daun-daun jambu. Angin entah ke mana. Kepak burung yang menembus gerimis mempertegas sunyi. Ratmi memejamkan matanya. Dia berusaha meyakini, senja memang muram. Sunyi. Bukan di dalam dirinya. Bukan di dalam hatinya. Meski ada perasaan sedih yang hampir-hampir tidak sanggup dibendungnya. Perasaan yang sempat membuat matanya perih, mendorong sebutir air menyusuri pipinya.
Ratmi duduk di kursi balkon. Balkon itu merupakan teras yang luas di depan kamarnya di loteng rumahnya. Dari sini pemandangan selalu indah. Biasanya. Ya, biasanya. Halaman yang luas tertata rapi. Mang Eman yang mengurus halaman tidak pernah membiarkan pepohonan terlalu rimbun, bebungaan kering, kolam kecil di ujung taman kekurangan atau kelebihan air.
Tapi kali ini, halaman yang tertata rapi itu tidak terlihat indahnya. Karena di halaman itu tidak ada jejak ban motor Dayan. Dua hari yang lalu halaman itu penuh dengan mobil. CRV milik Rintan, SUV milik Dasiman, Inova milik Raninta. Ya, semua anaknya datang. Dengan keluarganya masing-masing. Mereka ramai memenuhi ruang tengah. Saling bercanda. Saling cerita. Lalu pindah ke ruangan loteng, melihat pemandangan alam. Lalu pindah ke taman halaman belakang. Cucu-cucunya memancing di kolam kecil.
Ramai. Meriah. Rumah besar itu seperti sedang berpesta. Ya, sejak dua hari yang lalu. Waktu hari ulang tahun Ratmi. Anak-anaknya, menantunya, cucu-cucunya, membawa kado. Rintan dan Raninta memberi perhiasan. Dasiman memberi tiket berlibur keliling Eropa. Cucu-cucunya, ada yang memberi buku, bunga yang katanya sengaja ditanam dua bulan yang lalu, dan entah apa lagi.
Kang Dira berdoa. Lalu Ratmi meniup lilin enam buah di sebelah kiri dan lima buah di sebelah kanan, pertanda enam puluh lima tahun. Lalu semuanya memeluk dan mencium Ratmi. Lalu kue dipotong, semuanya makan belepotan. Lalu ada yang menyanyi, baca puisi, bersorak, main gitar, main piano. Meriah.
Tapi hati Ratmi sepi. Senyap. Lebih senyap dari senja setelah semua anak-anaknya pulang. Gerimis membekukan daun-daun. Tidak ada suara apapun yang terdengar. Sengaja. Dulu ketika membeli rumah ini, sengaja memilih yang paling ujung, yang berdekatan dengan hutan. Ratmi dan Dira, suaminya, sama-sama menyukai tempat sepi. Dari sini, tidak terdengar suara kendaraan.
Tapi sunyi kali ini tidak sebanding. Tidak sebanding dengan hati Ratmi. Hati Ratmi lebih sunyi, lebih senyap. Ya, karena ulang tahun kali ini Dayan tidak datang. Anak bungsunya itu tidak berkabar apapun. Tidak ada ucapan selamat. Tidak ada surat. Tidak ada telepon. Tidak ada email. Tidak ada SMS.
Kean, anak semata wayang Dayan, cucunya yang mungkin sekarang sudah tujuh tahun, apa kabarnya sekarang? Setiap tahun, kalau semua anaknya berkumpul, anak itu yang banyak berceria. Cerita tentang serunya main di sungai, mencari ikan, bermain di sawah, membuat baling-baling daun kelapa, memelihara kelinci, memanen ubi, dan banyak lagi ceritanya yang unik. Unik bagi saudara-saudaranya yang tinggal di kota. Karenanya Kean selalu menjadi bintang mendongeng. Setiap Kean selesai mendongeng, saudara-saudaranya bertepuk tangan. Tante dan pamannya memeluk dan mencium. Kang Dira tentu lebih lagi perhatiannya terhadap Kean. Ratmi tahu, Kang Dira sering membeli hadiah-hadiah buat Kean, lebih sering dan lebih bagus dibanding buat cucu-cucunya yang lain.
Dan Ningsih, menantunya yang tidak pernah berias berlebihan, tidak pernah bermake-up kecuali bedak, kenapa tidak datang kali ini? Hampir sepuluh tahun sejak Dayan pertama kali mengenalkannya, menantunya itu seperti tidak berubah. Rambutnya yang panjang selalu tersisir rapi. Tidak pernah bicara yang tidak perlu. Hanya senyumnya. Hanya senyumnya yang diumbar menjadi wakil kata-katanya.
Mengapa Dayan tidak datang kali ini? Biasanya, setiap tahun menjelang ulang tahunnya, Dayan selalu datang paling dulu. Motornya parkir di bawah pohon jambu air. Cucu-cucu yang sudah remaja sering meminjam motor Dayan untuk berkeliling kompleks, atau ke pedesaan. Mereka senang bisa naik motor sepuasnya.
Apa Dayan kecewa dengan sikapnya? Sikap diamnya sejak belasan tahun yang lalu?
“Kecewa dan sangat bersedih, Mih,” kata Kang Dira, setahun yang lalu. “Dayan menangis, memeluk Papih erat sekali. Katanya, mengapa Mamih sampai sebegitu marahnya? Belasan tahun Mamih tidak menyapanya.”
Ratmi berdiri, lalu ke kamar. Selalu begitu. Siapapun yang ingin membicarakan Dayan, selalu ditinggalkannya. Hatinya terlalu sakit. Ya, hanya anak itu yang sanggup menjatuhkan kebanggaannya, egonya, kehormatannya.
Semuanya berawal saat Dayan masuk kuliah. Entah apa yang dilakukannya di kampus. Diskusi-diskusi, buku-buku yang bertebaran di kamar, dan akhirnya demonstrasi di jalanan. Ratmi masih menganggapnya wajar. Bahkan bagus. Demonstrasi menandai bahwa dia punya perhatian sosial.
Tapi kemudian Dayan tidak hanya demonstrasi di jalanan. Dayan lebih keras demonstrasi di rumah. Awalnya karena teman-temannya mengadakan kegiatan amal dan kreativitas remaja, memasukkan proposal ke departemen yang dipimpin Ratmi. Setelah acara itu selesai, Dayan malah mendebatnya di rumah.
“Dayan baru tahu, ternyata dana kegiatan dari pemerintah dipotong 50%. Kenapa mesti dipotong, Mih? Buat siapa yang 50% lagi?” tanyanya  keras. “Katanya, hampir semua proyek di departemen pemerintah ada potongan sampai 50%. Itu namanya korupsi, Mih! Negara dirugikan! Rakyat dirugikan! Pantas saja jembatan cepat ambruk, jalan cepat rusak, program pemberdayaan tidak sampai ke rakyat paling bawah.”
“Ah, baru jadi demonstran begitu saja sudah sok bersih!” balas Ratmi tidak kalah keras. “Mamih ini dulu demonstrasi juga. Mamih menentang konglomerasi! Turun ke jalan!”
“Ya Mih, memang seperti itu kenyataannya. Negara ini tidak bisa belajar dalam mengisi kemerdekaannya!” Dayan tetap mendebat. “Tahun 66 mahasiswa turun ke jalan, lalu sebagian demonstran jadi legislatif, jadi pejabat, akhirnya korupsi! Tahun 70an juga begitu, para demonstran yang kemudian mengatur negara, malah korupsi! Mamih juga sebagai mantan demonstran tidak bisa berbuat apa-apa saat setiap proyek di departemen yang Mamih pimpin harus dipotong sampai 50%. Buat siapa yang 50% lagi? Atau Mamih sendiri kebagian?”
“Dayan!”
“Mamih kan pemimpinnya, masa tidak tahu apa-apa? Papih itu hanya dosen biasa saja, dosen yang idealis, tidak bisa berbisnis. Tapi kita punya tanah seluas hampir dua puluh hektar di kampung pinggiran Bandung di Yogya di Solo, punya villa di Bogor, punya ternak ayam, kolam terapung di Jatiluhur, rumah makan, mobil-mobil mewah seharga miliaran, saham ini itu; itu pasti dari Mamih! Apa bisa membeli semuanya dari gaji Mamih?”
“Kamu keterlaluan! Kamu makan, membeli buku-buku, pergi berlibur ke manapun yang kamu mau, biaya kuliah; itu dari Mamih!”  
“Iya, dari mana Mamih....”
Ratmi begitu saja menampar anaknya, sampai Dayan terjatuh. Sampai Dayan terdiam.
“Pergi kamu! Berani-beraninya kamu menentang Mamih!”
Ratmi masih ingat bagaimana tidak beraturannya napasnya waktu itu. Tidak ada rasa penyesalan di hatinya saat Dayan pergi membawa baju dan buku-bukunya. Sejak itu Ratmi tidak pernah melihat anak bungsunya itu. Kata Kang Dira, Dayan kerja menjadi pengantar katering untuk menyelesaikan kuliahnya.
“Biarin, anak yang sok jago harus kuat!” Ratmi masih ingat begitulah dia berkomentar. “Jangan pernah ada yang memberinya uang, Pih. Dia sudah keterlaluan! Dikiranya hidup ini bisa hanya mengandalkan idealisme.”
Nyatanya, Dayannya sendiri tidak mau diberi apapun juga. Kang Dira bercerita, dia diam-diam memberinya uang, tapi Dayan menolaknya.
“Papih pasti memberi ini secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan Mamih. Karena Mamih pasti melarang,” kata Dayan. “Terima kasih, Pih. Tapi bukannya Dayan menolak. Dayan hanya ingin membuktikan saja, Dayan sanggup menyelesaikan kuliah tanpa bantuan dari mana pun.”
Ratmi tidak berkomentar ketika Kang Dira menceritakannya. Dia masih marah. Termasuk saat Dayan dengan suka citanya datang suatu hari. Dia membawa kabar bahwa kuliahnya sudah selesai. Kang Dira, juga kakak-kakak Dayan, bersuka cita. Tapi tidak Ratmi. Hanya untuk menemuinya saja Ratmi tidak mau.
Juga saat suatu hari Dayan membawa Ningsih, calon istrinya. Ratmi tidak mau menemuinya. Hari pernikahan Dayan pun dilewatkannya begitu saja. Ratmi lebih memilih menghadiri pelatihan pegawai baru di departemennya.
Lalu Dayan hanya datang setahun sekali saat Lebaran. Tapi saat orang-orang meminta maaf dan memaafkan itu juga Ratmi tidak mau menemuinya. Kang Dira, Rintan, Dasiman, Raninta, semuanya pernah bicara kepadanya. Bicara berdua-duaan, dari hati ke hati. Tapi hati Ratmi tidak mau luluh. Dayan sendiri pernah mengeluh kepada Kang Dira, kepada kakak-kakaknya, sambil menangis. Tapi cerita seperti itu tidak membuat Ratmi berubah sikap.
Setelah pensiun, Ratmi sempat terpilih jadi legislatif selama satu periode. Banyak partai yang sejak awal menawarinya. Juga teman-temannya hampir semuanya beralih ke situ setelah pensiun. “Biar tidak post power sindrome,” kata salah seorang temannya.
Tapi umur adalah sesuatu yang tidak bisa dibohongi. Setiap bertambah satu lilin di kue ulang tahunnya, Ratmi merasakan kesepian yang semakin mengaliri seluruh tubuhnya. Ya, kesepian yang dia sendiri tidak mengerti. Lamborghini, alphard, mobil-mobil mewah yang dulu dia merasa bangga setiap membicarakan dengan teman-temannya, sekarang melihatnya di garasi tidak ada artinya sama sekali. Berakhir pekan melihat perkebunannya yang luas, menyusuri pepohonan cabai, peternakan ayam, hatinya malah hampa.
Hati kecilnya selalu teringat Dayan. Setahun setelah Dayan menikah, Ratmi masih ingat mengutus anak buahnya secara diam-diam untuk menghubungi Dayan. Waktu itu Dayan ikut tes CPNS. Bagaimanapun Ratmi ingin membantunya. Tapi Dayan malah marah-marah.
“Dasar, mental tikus! Masa dia datang kepada Dayan, Pah. Katanya, ‘Hasil tes Bapak itu sebenarnya masuk sepuluh besar. Tapi masih tidak aman karena banyak yang lewat jalur belakang. Nah, saya bisa bantu untuk mengamankannya. Tarif jalur belakang PNS sekarang ini seratus jutaan. Bapak hanya perlu menyediakan tiga puluh juta rupiah saja. Tidak besar, hanya untuk uang jajan yang ngurusnya saja. Itu juga dibayarkannya nanti saja setelah benar-benar keterima.’ Dia bilang begitu, Pah.”
“Ya, kalau memang Dayan mau masuk, Papah bisa menyediakan uang sebanyak itu,” kata Kang Dira yang memang sudah dikoling oleh Ratmi.
“Papah ini bagaimana? Kok, sama-sama ingin jadi tikus sih? Dayan yakin, diminta seratus juta pun, hari ini, Papah pasti bisa menyediakannya. Tapi cara seperti ini kan yang ditolak Dayan sejak dulu, Pah. Sampai kapan pun Dayan tidak akan kompromi. Dayan tidak menyesal sikap ini menyusahkan pekerjaan Dayan. Dayan hanya menyesal, dulu, menyampaikan sikap ini mungkin salah, kepada Mamih, sehingga Mamih marah, sampai sekarang.”
Ratmi mendengarkan percakapan itu diam-diam. Dia semakin yakin, Dayan memang keras kepala. Dayan lebih memilih bekerja di perusahaan komputer kecil yang gajinya hanya dua juta rupiah per bulan. Dua tahun kemudian Dayan pindah ke kampung istrinya.
“Dayan itu anak kita yang paling hebat, Mih. Dia lebih mandiri, lebih bekerja keras,” cerita Kang Dira. “Sekarang dia bertani singkong, membuat keripik singkong. Langganannya sudah menyebar di kota-kota besar Indonesia.”
Ya, Dayan memang keras kepala. Keras kepala yang dulu menjatuhkan harga diri, ego, kehormatan, dan kebanggaan Ratmi sebagai pegawai sukses. Tapi setelah pensiun, setelah semakin sering merasa kesepian entah oleh apa, Ratmi diam-diam menganggap sikap Dayan adalah sesuatu yang luar biasa. Sikap yang indah dalam mengisi hidup.
Karenanya suatu subuh Ratmi membangunkan suaminya. “Pah, perkebunan kita sekarang ditanami apa?” tanyanya lembut.
“Hah, apa Mih?” Dira terbangun. ”Mamih mau ke kebun? Mau lihat panen kacang tanah?”
“Bukan Pih. Mamih ingin ke kebun singkong. Mamih ingin bakar singkong, seperti dulu, waktu kita masih berdua.”
“Kita tidak menanam singkong. Yang selalu menanam singkong ya Dayan....” ***

Cerpen ini dipublikasikan di majalah Femina edisi Juli 2018

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KEMBANG SINGKONG"

Posting Komentar