Surat Seorang Anak Untuk Bapaknya di Alam Baqa


surat buat ayah di surga

Mas Joko adalah seorang pengusaha kuliner yang sukses. Punya pemotongan sapi sendiri dan pabrik pembuatan bakso sendiri. Banyak tukang bakso yang membeli bakso darinya. Aset dari belasan jongko baksonya sendiri sampai miliaran rupiah. Selain dikenal sebagai seorang pengusaha, Mas Joko juga adalah seorang dermawan. Menyekolahkan ratusan anak yatim, menyantuni janda-janda tua setiap bulan.
Dan awalnya adalah saat dia berziarah ke makam ayahnya. Waktu itu dia belum sesukses sekarang. Mas Joko masih bekerja membantu seorang tukang bakso keliling. Dia membantu belanja ke pasar, menggiling adonan, membuat baksonya dan menjajakannya dari perumahan ke perumahan.
Di sela-sela batu bata makam yang sudah copot, Mas Joko menemukan sebuah surat terlipat rapi. Surat dengan kertas yang sudah kuning itu terlindung dari hujan karena tertindih batu bata yang copot itu.
“Ayah... saya tahu Ayah tidak akan membaca surat ini, tapi saya ingin menyampaikan perasaan ini kepada Ayah,” tulis surat yang sudah menguning dan kusam itu.
“Sejak Ayah pergi, Ibu bekerja apa saja sambil menggendong Dek Ihsan yang baru satu tahun setengah. Kadang Ibu pulang membawa nasi, kadang juga tidak. Saya gembira bila sore hari Ibu pulang membawa nasi dan lauknya, karena bisa langsung makan. Tapi Ibu sering tidak membawa makanan. Saya yang sejak pulang sekolah belum makan harus menunggu Ibu masak dulu. Saya lapar, tapi saya tidak bilang. Saya takut Ibu jadi sedih....”
Mas Joko tercekat tenggorokannya membaca surat itu. Dia duduk di bawah pohon kemboja, meneruskan lagi membaca surat seorang anak itu...
“Kadang Ibu mendapat beras sebanyak 5 kg dari Pak RT. Ibu tersenyum saat menjinjingnya. Saya juga tersenyum. Beras sebanyak itu bisa untuk makan belasan hari. Tapi saat beras Raskin yang sudah berkutu itu dimasak, bau apeknya sangat terasa. Sangat tidak enak. Tapi saya terus makan, seperti juga Ibu. Hanya Dek Ihsan yang memuntahkan lagi nasinya. Kalau Ayah masih ada, pasti Ayah bisa membeli beras yang enak....”
Mas Joko memandang ke tempat yang jauh, menerawang, seperti yang mengingat-ingat sesuatu.
“Bila tidak mempunyai apapun untuk dimakan, Ibu suka meminta kepada Mang Diman, adik Ayah itu. Mang Diman selalu punya makanan. Kalau tidak memberi beras, dia akan segera mencabut singkong di halaman rumahnya bila Ibu datang. Tapi kata Ibu, jangan terlalu sering ke rumah Mang Diman. Dia pun sebenarnya sering kesusahan...
Ayah... apa Ayah selalu punya makanan di sana?”
Mas Joko tersenyum sendiri. Tapi dia meneruskan lagi membaca suratnya.
“Kadang memang beruntung punya Mang Diman. Suatu sore Mang Diman datang ke rumah, menyuruh Ibu dan saya besok ke rumahnya. Saya akan dibelikan baju seragam sekolah katanya. Wah, saya sangat senang Ayah, karena baju seragam sekarang sudah sobek di dekat kerahnya. Malam nanti Mang Diman mau kumpul di baledesa, mendapat gaji setelah lima belas hari bekerja memperbaiki jalan desa. Katanya gajinya pasti besar, karena Pak Kades yang dulu nyuruh, perbaikan jalan itu dari Pak Presiden yang disebut Dana Desa. Bila Ayah masih ada, Ayah pasti ikut bekerja memperbaiki jalan.
Tapi besoknya saat ke rumah Mang Diman, dia hanya memandang saya. Baju seragam itu katanya tidak akan terbeli. Gaji dari Pak Kades itu hanya Rp 30 ribu sehari. Uangnya hanya cukup untuk membayar utang dan membeli sedikit beras...”
Mas Joko mengusap air yang tiba-tiba jatuh dari ujung matanya.
“Ayah... bila Mang Diman tidak punya makanan, Ibu sering bingung. Katanya, kita tidak bisa lagi meminta bantuan kepada Pak Yayat, Mang Asip, Mang Lili, Nek Irah, atau tetangga lainnya. Karena mereka pun sama miskin seperti Ibu. Ayah... seandainya Ayah masih di sini...”
Setelah membaca surat itu Mas Joko jadi sangat, sangat, sangat bersemangat bekerja. Setiap hari dia bekerja keras, menabung mengumpulkan modal, dan kemudian membesarkan usahanya sendiri. Jarang orang yang tahu, surat dari seorang anak buat bapaknya yang sudah meninggal itu, surat yang sering diceritakan Mas Joko bila dia menceritakan kisah suksesnya; adalah surat yang ditulisnya sendiri tiga puluh tahun lalu saat dia berusia sembilan tahun.
foto: ichasyahfa.wordpress.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Surat Seorang Anak Untuk Bapaknya di Alam Baqa"

Posting Komentar