PLOT dan JALAN CERITA


Saya sebenarnya tidak begitu menyukai belajar menulis dari teori. Saya membaca banyak teori menulis, tapi sepertinya hanya untuk pengetahuan saja. Saat kemudian menulis, saya lebih senang memperhatikan tulisan orang lain yang sudah ada. Untuk cerpen, misalnya memperhatikan bagaimana cerpen-cerpen Seno Gumira Adjidarma, Putu Wijaya, Budi Darma, AA Napis, Danarto, sampai angkatan ke sininya seperti Agus Noor, Afrizal Malna, Indra Tranggono, Beni Setia, Jujur Prananto, Raudhal Tanjung Banua,  Joni Ariadinata, Abidah El Khalieqy, Hermawan Aksan, dan banyak lagi.



Selama tahun 2000-an saya mengalami “istirahat” menulis. Hanya satu-dua cerpen di dokumentasi saya yang ditulis selama masa itu. Baru tahun 2012 saya menulis lagi. Tentu saja tidak gampang untuk memulai lagi setelah istirahat sekian lama. Yang membedakan saya dengan penulis baru hanyalah pengalaman. Saat itu saya menulis satu cerpen sampai seminggu lamanya. Tapi saya terus berlatih. Memperlancar lagi jari menari di tuts komputer, memperlancar lagi bercerita. Dan yang utama, saya banyak belajar lagi dari cerpenis terdahulu, dan para pengarang yang dulu, sepuluh tahun lalu, tidak pernah saya baca karyanya tapi tahun 2012 itu sudah hilir-mudik di media massa. Saya membaca cerpen Eka Kurniawan, Yetti Aka, Mashdar Zaenal, Benni Arnas, Guntur Alam, A Mutaqin, Toni Lesmana, Absurditas Malka, Adi Zamzam, Arafat Nur, Teguh Apandi, Avianti Armand, Ben Sohib, Candra Malik, Dadang Ari Murtono, Gunawan Tri Atmojo, Ilham Q Muhiddin, dan banyak lagi.
Tapi kemudian karena sering berinteraksi dengan orang-orang yang mengaku lagi belajar menulis, saya tersadar bahwa gaya saya belajar menulis itu tidak bisa diterapkan kepada semua orang. Ada orang yang lebih suka membedah cerpen sampai detail, membuat outlane sebelum menulis. Maka kemudian dibahaslah karakter, setting, plot dan jalan cerita, dan sebangsanya. Tadinya hal seperti itu tidak terlalu saya bahas, karena memang bisa dibaca di buku-buku panduan menulis.
Bila dipukul-rata, plot biasanya diterjemahkan sebagai “jalan cerita”. Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar. Misalnya seperti ini: Sinta menangis. Kalimat itu masih berupa berita. Bila ditambah: Sinta menangis karena sakit hati. Itulah plot. Dari plot itu bisa dibikin banyak jalan cerita. Misalnya: (jalan cerita 1) Sinta tanpa sengaja melihat pacarnya berjalan-jalan dengan gadis lain, (jalan cerita 2) Sinta sebenarnya kuat bila diejek miskin atau tidak punya ini-itu oleh teman-temannya tapi waktu ibunya yang bekerja sebagai pembantu diejek Sinta menangis juga, (jalan cerita 3) Sudah lama sebenarnya Sinta protes kepada bapaknya yang kaya-raya karena korupsi tapi ketika bapaknya ditangkap KPK dan Sinta ditertawakan teman-temannya Sinta menangis dan sakit hati juga. Dan banyak lagi.
Tentu jalan cerita itu perlu lebih diperhalus lagi, diperjelas lagi, dsb. Saya pernah membahas membuat “jalan cerita” dengan cara menggabung-gabungkan peristiwa yang ada. Baca deh: ....
Jalan cerita tentu saja harus bertahap. Tahapannya bisa seperti ini:
a.       Pengenalan
b.      Timbulnya konflik
c.       Konflik memuncak
d.      Klimaks
e.       Pemecahan soal
Tentu saja urutan ini masih perlu didiskusikan. Karena perkembangan cerpen juga memungkinkan konflik disimpan di urutan pertama, dsb. Tapi yang lebih penting dari itu: MEMULAI MENULIS!
sumber foto: psikologikita.com



Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "PLOT dan JALAN CERITA"

  1. "...yang lebih penting dari itu: MEMULAI MENULIS!" Suka dengan ini. Saya seorang pemula berharap bisa belajar dari setiap karya yang saya baca^^

    BalasHapus
  2. Semoga berhasil, Farah. Bagaimanapun, "memulai menulis" dan "bekerja keras" itu menentukan....

    BalasHapus