LELAKI YANG KUANTAR KAWiN



Pikiran Rakyat, 29 Maret 2015

Mobil land cruiser itu saya tatap sampai menghilang di belokan. Tetangga saya pada keluar rumah. Pasti mereka ingin tahu, siapa yang bertamu ke rumah saya memakai mobil sebagus itu. Tapi meski mereka tahu mobilnya bagus, pasti tidak ada yang menyangka harganya hampir dua milyar rupiah.
Sebelum mereka bertanya saya cepat masuk ke rumah. Istri saya sudah menunggu di balik pintu. “Ada apa?” tanyanya. “Kenapa dia menangis?”
Pak Sutardi, tamu yang barusan pulang, memang menangis. Menangis di hadapan saya. Tangannya menutup wajah, badannya berguncang, ngagukguk seperti yang sangat sakit, sakit hati.
“Ditanya kok malah melamun?”
Saya tersenyum. Ingatan saya pun belum sepenuhnya kumpul. “Dia menangis... ingin miskin,” kata saya. Istri saya molohok.
**
Dulu, belasan tahun yang lalu, saya pernah dekat dengan Pak Sutardi. Dia adalah tetangga waktu saya mengontrak sebuah kamar di Rancaekek. Waktu itu saya belum punya anak, baru menikah beberapa bulan. Pak Sutardi sudah mempunyai dua orang anak. Anak pertamanya sudah kelas lima SD. Kami sama-sama bekerja di pabrik tekstil.
Ketika tejadi PHK, saya dan Pak Sutardi termasuk yang dikasih surat pemutusan hubungan kerja. Uang pesangon yang tidak seberapa saya belikan motor bekas, tua, dan saya jadi seles keripik singkong. Pak Sutardi lama tidak bekerja. Sering saya mendapatkan dia dan keluarganya makan nasi raskin dan kerupuk. Kadang hanya makan singkong rebus.
Layaknya tetangga di kontrakan murah, hampir setengah makanan yang saya dapatkan saya bagikan buat tetangga yang kesusahan. Tapi itu semua tidak menolong keluarga Pak Sutardi. Istri dan anaknya pulang ke orang tuanya. Mertuanya mendesak Pak Sutardi untuk segera menceraikan anaknya. Setiap bertemu, Pak Sutardi sendiri terasa cepat tua, lusuh, kusut.
Suatu malam dia memanggil saya ke kamar kontrakannya. “Bapak mau kawin lagi. Tolong antar Bapak,” katanya. “Dan juga, Bapak tidak punya untuk ongkos. Tolong pinjamkan seratus atau dua ratus ribu rupiah.”
Saya tersenyum. Tentu saya gembira. Karena keinginan menikah sama dengan semangat, harapan, yang mulai tumbuh. Tapi saya tidak melihat sinar hidup itu di wajah Pak Sutardi.
**
Sampai ke sebuah kampung yang entah kampung apa namanya matahari sudah di atas kepala. Lalu naik ojek sampai ke tepi hutan. Saya tidak bertanya apapun. Saya pikir Pak Sutardi menikah dengan orang kampung. Tapi begitu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak, saya tidak bisa lagi menyembunyikan keheranan.
“Kita ke mana, Pak?” tanya saya.
Pak Sutardi tiba-tiba menggenggam tangan saya. “Mohon, Bapak mohon jangan protes apapun,” katanya dengan suara bergetar. “Antar saja. Bapak janji akan melakukannya dengan sesegera mungkin.”
Saya mulai berpikir yang tidak-tidak. “Istigfar, Pak, istigfar!” seru saya. “Kita pulang sekarang!”
“Mohon, Bapak mohon jangan halangi. Antar saja.” Pak Sutardi mau menangis. “Dan jangan berdoa apapun. Jangan istigfar.”
Jalan setapak itu semakin melebar. Dan tidak jauh dari sana sampai ke sebuah gerbang kota. Jalan berhotmik begitu bersih. Bangunan-bangunan megah, arsitektur cantik, dan orang-orang yang memandang. Dua orang penjaga gerbang menyambut kami, mengantar ke sebuah gedung yang lebih megah dibanding bangunan megah lainnya.
Seorang gadis yang cantiknya susah saya ceritakan menyambut kami. Senyumnya seindah bunga mawar merah yang sedang mekar. Sampai hari ini saya masih ragu mempercayai bahwa pengalaman itu nyata saya alami. Saya tidak begitu ingat apa yang terjadi selanjutnya. Ijab kabul perkawinan itu terjadi begitu cepat. Sesuatu yang selalu menempel di ingatan saya adalah ucapan ayah gadis cantik itu.
“Sekarang kalian adalah suami istri. Istri wajib membantu apa keinginan suami. Suami sudah bukan lagi manusia murni, karena itu jangan lagi kamu memakai perasaan manusia,” kata ayah gadis itu.
Berjalan pulang kesadaran saya mulai berkumpul. Saya beristigfar. Tiba-tiba jalan yang lebar dan bangunan-bangunan megah itu berubah menjadi sebuah gua yang gelap dan tingginya hanya setengah badan. Tanah yang dipijak terasa basah. Saya berjalan sambil membungkuk. Ketika mendekatai mulut gua, begitu banyak ular yang membuat saya memegangi tangan Pak Sutardi begitu keras.
“Ada apa? Kenapa?” tanya Pak Sutardi heran.
**
Itulah terakhir kali saya bertemu dengan Pak Sutardi. Karena kemudian dia pindah kontrakan. Kabarnya dia membuka warung. Lalu menjadi agen banyak barang dagangan. Ada kabar juga menjadi pemborong bangunan. Ada yang cerita juga Pak Sutardi membuka kolam pemancingan, pabrik roti, travel, dan villa-villa yang disewakan. Istri dan anaknya kembali. Ada kabar juga Pak Sutardi menikahi beberapa wanita muda.
Dalam belasan tahun tidak bertemu, Pak Sutardi sudah menjadi pengusaha yang kekayaannya sulit saya bayangkan. Saya sendiri bisa melepaskan diri dari kontrakan pengap. Saya membeli rumah di perumahan pinggiran kota yang tidak laku. Perumah yang tidak selesai dibangun, berdinding batako, beratap asbes,  yang saya beli seharga 20 juta rupiah.
Suatu sore sehabis hujan tamu bermobil land cruiser itu datang. Tentu saya takjub karena orang sekaya Pak Sutardi masih mengingat saya. Tapi saya tidak menyangka kalau kemudian dia menangis. “Berbulan-bulan Bapak sudah tidak bisa tidur tenang lagi, tidak bisa makan enak lagi,” katanya mengeluh. Saya perhatikan pakaiannya yang bagus, rambutnya yang kelimis, wajahnya yang bersih, tapi semuanya tidak bisa menyembunyikan gelisah hatinya. “Bapak ingin miskin lagi,” lanjutnya.
Lalu Pak Sutardi menangis. Kedua tangannya menutup wajahnya, badannya berguncang-guncang. “Uang yang Bapak buang selalu kembali,” katanya pelan. “Waktu pemilihan kepala desa, Bapak keluarkan miliaran rupiah untuk memilih calon yang sangat tidak diunggulkan. Eh, dia malah menang. Uang Bapak malah semakin banyak. Itu semua karena si Centringmanik itu, istri yang dulu Bapak kawini itu. Bapak ingin menceraikannya.”
Sampai Pak Sutardi pulang saya masih belum mengerti seratus persen apa yang terjadi. Lalu terlupakan lagi karena kesibukan saya berjualan keripik singkong. Suatu hari saya melihat di televisi Pak Sutardi ditangkap polisi karena menyuap untuk mendapatkan proyek pemerintah. Suatu malam empat orang polisi mengetuk pintu rumah saya.
“Bapak kami tangkap, ini surat perintahnya,” kata polisi itu.
Tentu saja saya terkejut. Saya takut. Tidak mengerti. Tapi yang membuat saya tenang, saya merasa tidak pernah mengerjakan kesalahan apapun. Istri dan anak saya menangis. Ternyata saya dibawa ke sel tempat Pak Sutardi dipenjara.
“Maaf, Bapak yang melakukan semuanya,” kata Pak Sutardi saat memeluk saya. Wajahnya sangat lusuh, jauh dari bayangan saya tentang orang kaya yang dipenjara. “Kekayaan Bapak akan habis. Uang yang dipakai kemewahan di penjara ini uang yang masih Bapak pegang. Tapi Bapak tidak perduli lagi. Bapak ingin bertobat. Tolong Bapak. Bagaimana caranya Bapak bertobat?”
Kemewahan di penjara yang dimaksudnya, selain membawa saya dengan cara tadi, juga sel yang nyaman, jauh dari segala sesuatu yang bisa dipakai bersembunyi ular. “Wanita ular siluman itu pasti tidak mau terima Bapak ceraikan,” katanya. “Tolong Bapak, bimbing Bapak untuk bertobat.” Pak Sutardi menangis lagi.
“Kalau begitu, besok saya datang lagi dengan ustad Wahyu,” kata saya.
Ustad Wahyu adalah guru ngaji, imam di masjid kecil di perumahan saya. Waktu saya ceritakan kisah Pak Sutardi, dia langsung mengajak saya ke penjara. Pagi itu saya dan ustad Wahyu datang ke penjara. Tapi betapa terkejut saya ketika sipir memberi tahu, “Pak Sutardi meninggal subuh tadi. Semalam kakinya menginjak peniti bros. Darah keluar tidak berhenti dari luka kecil itu sampai dia kehabisan darah.”
Saya terpana waktu melihat bros berpeniti kecil yang terinjak Pak Sutardi. Bros sederhana yang di atas penitinya ada ukiran ular dari perak. ***

Pamulihan, 27-28 Januari 2015






Catatan:
Ngagukguk = menangis tersedu-sedu
Molohok = bengong
Raskin = kependekan dari beras miskin, beras dari pemerintah yang biasanya dibeli di RT dua ribu sampai tiga ribu rupiah per kg. Raskin seringkali berbau apek bila ditanak, bahkan sekali waktu bisa sangat bau apek.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "LELAKI YANG KUANTAR KAWiN"

Posting Komentar