KABAR BUAT SAHABAT



Banjarmasin Pos, 17 November 2013

Sore sekitar pukul lima saya melihat kamu menyambar handuk lalu masuk ke kamar mandi. Suara air menyiram tubuh begitu jelas, tidak kalah dengan senandungmu yang sumbang dan entah lagu apa. Lima menit kemudian kamu sudah ada di kamar, berganti baju, pakai parfum, menyambar kunci motor. Tapi begitu sampai di teras kamu tertegun. Langkahmu terhenti. Pasti menyesali hujan yang mulai turun. Hujan yang kemudian membesar dan semakin membesar.
Saya merasakan apa yang kamu sesali. Karena hampir seminggu kita tidak bertemu. Tidak ngobrol kesana-kemari di rumah kontrakan saya yang bisa dikatakan tidak berkamar. Karena yang disebut kamar hanya ruangan 2 X 1 meter yang ditutup kain. Tapi kamu senang bertamu. Saya pun senang menyambutmu. Kita ngobrol di teras, ditemani kopi dan perkedel jagung bikinan istri saya.
Setiap istri saya membawa kopi, kamu pasti berbisik, “Masihkah alhamdulillah kamu zikirkan setiap saat?” Saya tersenyum. Menurutmu, istri saya cantik bukan saja fisiknya yang sempurna, tapi juga hatinya. Karenanya saya disarankan untuk terus menzikirkan alhamdulillah.
“Setiap saat saya selalu berzikir, sehingga diri ini sudah menjadi zikir itu sendiri,” kata saya. Kamu tertawa mendengarnya. Mungkin kamu merasa puas dan sangat setuju saya menjawab dengan meniru sebuah puisi dari Maulana Jalaluddin Rumi.
Ya, mungkin persahabatan saya dan kamu begitu dekat karena kita punya minat yang sama terhadap sastra. Kamu suka dengan puisi, cerpen, novel. Kita sering saling meminjam buku, membaca bergantian, lalu membicarakannya berjam-jam, bahkah sampai berhari-hari. Kadang kita juga belajar menulisnya. Meski belum satu pun tulisan kita yang dimuat koran.
Tapi mungkin itu bukanlah masalah. Karena setiap kita ngobrol tentang cerpen saya, puisi kamu, koran yang kita kirimi naskah, selalu ada perasaan siap untuk ditolak koran atau majalah. Mungkin kalau dipersentasekan 99% dan 1%. Hanya 1% kita memberikan nilai pada harapan tulisan bisa dimuat. Saya rasa kamu pun punya perasaan yang sama. Karenanya kita tidak begitu kecewa ketika dari belasan tulisan yang dikirim tidak satu pun yang dimuat koran.
Sesekali kita pun menghadiri pembacaan puisi atau cerpen di gedung kesenian. Atau semacam talk-show pada peluncuran buku. Kita duduk di pojok, mengagumi para pengarang ternama berkisah tentang proses kreatifnya atau visinya dalam berkarya. Mereka bisa menulis ini menulis itu, kita menulis apa?
Pertanyaan seperti itu yang membuat kita selalu bergairah untuk menulis. Sebulan belakangan kita sama-sama tertarik memperhatikan orang menyetir mobil sambil mabuk. Menurutmu, kota kita ini sudah semakin tidak aman. Orang bisa celaka, bahkan sampai meninggal, hanya karena berjalan di trotoar atau menunggu di halte. Celakanya, para penabrak itu bisa mahasiswa anak wakil rakyat yang bergelimang harta. Atau anak artis terkenal yang juga kaya raya. Jadi para penabrak mabuk itu kemudian bebas dari hukum dengan banyak dalih.  
Menurut saya, penabrak bernarkoba itu harus dikasihani. Mereka pasti kecewa dengan lingkungannya. Mereka terbuang. Tapi nasib membawa mereka ke dalam bimbingan narkoba dan minuman keras. Mereka sebenarnya tidak sadar melakukan itu semua. Tapi kamu tetap marah. Katamu, pemakai narkoba itu penjahat terselubung. Mereka bisa tiba-tiba menewaskan belasan orang.
Lalu kita sepakat akan menulis itu. Membuat cerita fiksi dari fakta penabrak liar bernarkoba. “Siapapun di antara kita yang mengetahui ada peristiwa penabrak narkoba di kota kita ini, harus cepat saling memberitahu. Kita harus melakukan investigasi. Kita harus mengabadikan fakta melalui fiksi,” katamu. Saya tersenyum mengiyakan.
Itulah pertemuan terakhir kita. Hampir seminggu kita tidak bertemu. Saya semakin bersemangat berjualan sayuran di pasar. Pukul tiga subuh saya sudah mengangkut sayuran dari bandar, menata lapak, dan siap menyambut pembeli. Padahal biasanya sedikit santai. Biasanya setelah sayuran diangkut saya minum dulu kopi sambil ngobrol. Sekarang tidak bisa lagi. Istri saya sudah berisi, sudah dua bulan lebih kata bidan. Tentu saja saya sangat bahagia dan bekerja begitu semangat.
Dan sore ini kamu menunggu hujan di teras rumahmu. Kamu pasti ingin segera mengabari kabar yang kita cari itu. Tentu kamu mengira saya belum mengetahuinya. Karena hampir seminggu ini sms kamu tidak masuk ke hp saya yang rusak. Karena kita tidak punya fasilitas internet. Kita hanya memakai internet kalau ada naskah yang akan dikirim. Itu pun memakai jasa penjaga warnet yang mengirimkannya.
Tentu kamu mengira saya belum mengetahuinya. Padahal saya tahu betul apa yang akan kamu sampaikan.
Tadi subuh ada dua orang yang sedang berjalan di trotoar tertabrak mobil mewah. Tentu mobil mewah karena mobil itu milik orang kaya raya, anak seorang petinggi negeri ini yang kekayaannya tidak akan bisa kita bayangkan. Dua orang itu tewas seketika. Tewas mengenaskan karena kecepatan mobil yang kemudian menabrak tiang listrik itu 150 km per jam. Sopir mobil hanya luka ringan, tapi pingsan. Dia pulang pesta narkoba.
Tadi pagi seorang tukang kopi di pasar yang ikut membantu mengangkat dua mayat korban tabrak maut sopir bernarkoba itu menceritakannya kepada tukang sayur yang sedang belanja. Tadi siang tukang sayur yang pulang keliling kampung menceritakan tabrak maut bernarkoba itu kepadamu. Tentu kamu sangat antusias mendengarkannya. Dan sore ini. Sore ini kamu ingin menceritakan peristiwa saya dan istri saya tertabrak sopir maut bernarkoba itu.
Kepada saya. ***     

Bandung, 2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KABAR BUAT SAHABAT"

Posting Komentar