Hadiah Terindah
Tabloid Nova, 3 November 2002
Begitu sampai ke rumah, yang pertama diperhatikan Aminudin adalah leher
istrinya. Karena di bagian tubuh yang selalu tertutup kerudung itu tidak
dilihatnya kalung bergantungan batuan putih. Amin tidak tahu apa nama batuan
itu. Itu tidak penting baginya. Karena yang utama, saat pertama melihatnya di
toko mas, dia merasa kalung itu akan bagus dipakai istrinya. Dan uang
tabungannya yang dikumpulkan diam-diam, mencukupi untuk membelinya.
Memang tidak begitu istimewa bila diukur timbangannya yang cuma tujuh
gram. Tapi bila orang tahu bagaimana susahnya menabung sebanyak itu bagi
pegawai kecil seperti Amin, kalung mas seberat itu sangat istimewa. Sudah lima
tahun sejak melamar gadis yang pintar mengaji itu, Amin ingin memberinya hadiah
seistimewa kalung itu. Selama itu juga dia menabung dengan mengirit makannya,
berhenti merokok sama sekali, mengumpulkan tips majikannya yang sering
menyuruh-nyuruh di luar jam kantor, dan mencari tambahan dengan membantu
mencuci piring di warung tegal setiap malam.
Dan Nia menerimanya begitu suka cita. Berkali-kali dia mencubit
tangannya sendiri, seolah ingin meyakini bahwa itu bukan mimpi. Wajahnya begitu
berseri. Tubuhnya berputar saat bercermin di kaca lemari. Amin bahagia
melihatnya.
“Tapi, darimana Akang punya rijki sebanyak ini?”
“Menabung, sejak lima tahun lalu, sejak kita menikah dulu.”
“Hah?”
Mulut Nia melongo. Tidak terbayangkan olehnya, bagaimana suaminya
menabung. Karena semua gaji yang tertera di struknya diterimanya setiap bulan.
Kalaupun dia memberikannya kembali, sekedar buat ongkos dan beberapa batang
rokok setiap harinya.
**
Kalung mas yang hanya dipakai Nia bila pergi ke surau itu, memang
istimewa. Tidak saja bagi suami istri itu, tapi juga bagi seluruh kampung
Ninggul. Rumah-rumah di sini terdiri dari petak-petak panggung, berdinding
bambu, beratap rumbia, berlantai tanah. Satu dua rumah yang termasuk bagus,
seperti rumah Ketua Kampung, beratap genting. Tapi genting itu pun dibeli tidak
baru, karena sudah menghitam dan ditumbuhi lumut di sana sini.
Keistimewaan di Ninggul sebenarnya sederhana bila dilihat dari kampung
lain. Buat saja rumah dengan setengahnya ditembok, itu sudah istimewa. Rumah
seperti itu tentu saja tidak seberapa berharga di kampung lain, apalagi di kota
kecamatan. Tapi di Ninggul, tidak saja istimewa, rumah setengah tembok adalah
keajaiban. Siapa yang sanggup membeli semen, membayar buruh angkut,
mendatangkan tukang tembok, dengan pertanian seperti ini?
Pertanian di Ninggul memang istimewa bila sanggup memberi sarapan pagi
dan dua kali makan sehari sampai kenyang. Karena hasil dari sawah yang hanya
bisa digarap setahun sekali, palawija yang selalu kurang pupuk, tidak pernah
memberi keistimewaan seperti itu. Dulu pernah ada penyuluh datang dari
Kecamatan, memberi petunjuk cara bertani yang baik, memilih bibit, memupuk,
tapi tidak lama diturut masyarakat. Itu semua terlalu rumit diterapkan di
pesawahan kering, digarap oleh masyarakat Ninggul yang mayoritas buta hurup,
sudah terbiasa dengan pengiritan biaya bertani. Dan mungkin bagi penyuluh itu,
datang ke kampung yang memerlukan berjalan kaki seharian untuk mencapainya,
terlalu berlebihan.
Ninggul memang jauh dari mana-mana. Untuk belanja ke kota kecamatan,
memerlukan seharian berjalan kaki. Tidak bisa memakai kendaraan, karena mesti
melewati pinggir hutan bercadas, tebing-tebing jurang, dan hamparan ilalang
yang kering. Karenanya jarang ada penduduk yang pergi ke kota. Mereka
mencukupkan diri dengan apa yang bisa dihasilkan tanahnya.
Kekurangan makanan adalah hal biasa. Tidak saja saat paceklik tiba, saat
matahari terus bersinar, tanaman mulai mengering, persawahan belah-belah, tapi
juga setelah panen dimana penghematan mesti dimulai. Anak-anak akan bermain
sampai ke pinggir-pinggir hutan, mencari singkong liar yang umbinya tidak lebih
dari ibu jari kaki. Atau masuk ke dalam hutan, mencari buah kupa yang rasanya asam.
Bagaimana
tidak istimewa kalung mas seberat tujuh gram di kampung terisolir seperti itu?
Tapi Amin sendiri memang warga Ninggul yang istimewa. Berbeda dengan penduduk
lainnya yang buta hurup, Amin sempat belajar baca-tulis di sekolah. Sejak usia
tujuh tahun dia dibawa oleh seorang pejabat kecamatan yang pernah berkunjung ke
Ninggul saat wabah muntaber terjadi. Bapak dan dua orang saudara Amin termasuk
korban yang meninggal. Dia sendiri dibawa ke kota kecamatan, membantu-bantu di
rumah Pak Sekretaris Camat. Dia disekolahkan sampai tamat SD.
Di rumah Pak Sekmat, Amin belajar banyak. Dia bisa mengurus taman,
mencuci mobil, sampai membuat kopi, teh tubruk, dan menanak nasi. Kemudian dia
menjadi pesuruh di kantor anak Pak Sekmat di kota kabupaten, mendapat gaji tiap
bulan, dan mendapat satu kamar buat tidur. Bagaimana tidak istimewa pekerjaan
seperti itu bagi kampung semiskin Ninggul?
Amin sebenarnya bisa meninggalkan kemiskinan Ninggul dalam hidupnya.
Banyak wanita pinggiran kota yang akan mau dilamar oleh orang sebaik dan
bekerja seperti Amin. Tapi Ninggul seperti yang punya magnit bagi anak-anaknya.
Amin pulang ke Ninggul setelah punya tabungan cukup, menengok emaknya yang
hidup sendiri, dan melamar Nia.
Nia sendiri adalah bunga yang mekar di tanah kering Ninggul. Dia anak
satu-satunya Ketua Kampung. Tidak pernah sekolah, tapi sempat belajar ngaji di
pesantren kecamatan, dan kemudian mengajar anak-anak di surau satu-satunya di
Ninggul. Bagaimana Nia akan mendapat pasangan bila Amin tidak datang? Karena
Nia memang berbeda dengan anak-anak yang berkulit hurik, berambut merah terkena
sinar matahari, dan bergigi jarang digosok.
Setelah menikah, sebenarnya Amin dan Nia bisa pindah ke kota kabupaten,
memulai hidup baru, menjauhi kemiskinan Ninggul. Tapi mereka tidak
melakukannya. Bukan karena takut durhaka seperti pandangan penduduk Ninggul.
Siapapun anak Ninggul yang merantau tanpa kembali, adalah anak durhaka yang
tidak akan mendapat berkah hidupnya. Amin dan Nia tidak percaya itu. Tapi
mereka tidak melakukannya, karena Ninggul memang seperti magnet yang menarik
anak-anaknya dimanapun berada. Karenanya tidak satu pun anak Ninggul yang
merantau tanpa pulang.
Karenanya siapapun orang Ninggul akan setuju kalau Amin dan Nia adalah
pasangan istimewa. Bahkan berkah bagi Ninggul, meski suami-istri ini belum
dikaruniai anak. Penduduk Ninggul selalu punya harapan besar ketika melihat
anak-anaknya pergi mengaji, belajar baca tulis di surau kecil. Bila mereka
keluar kampung, setidaknya bisa membicarakan Amin dan Nia sebagai kebanggaan.
Karenanya wajar dan membanggakan bila hadiah seistimewa kalung mas
seberat tujuh gram itu diberikan Amin kepada Nia. Tidak saja jadi kebanggaan
Amin yang memberi, Nia yang menerima, tapi juga kebanggaan seluruh
kampung. Mereka seperti mempunyai suatu harapan yang bisa membawanya keluar
dari kemiskinan. Meski hanya mimpi, meski hanya sekedar berharap.
Tapi hadiah istimewa itu tidak dilihat Amin pada kepulangannya kali ini.
Biasanya Nia akan terus memakainya pada hari-hari dimana Amin diperkirakan
pulang. Tidakkah Nia lupa? Belum sempat Amin bertanya, ada suruhan Ketua
Kampung menjemput istrinya.
**
Seperti biasa, bila datang petang, Amin akan istirahat sebentar dan
terbangun sorenya. Ketika bangun, istrinya baru selesai masak. Mereka pun
makan. Nasi putih yang masih panas, dadar telor, sambal kemangi, kerupuk. Tentu
saja itu makanan istimewa bagi Ninggul. Nia pun hanya memasaknya bila Amin
pulang saja. Selama dua hari. Karena biasanya hanya selama itu Amin pulang.
Hari-hari biasanya, seperti juga penduduk lainnya, Nia hanya menanak
nasi yang dibatasi jumlahnya, ulekan cabe garam dan lalapan yang ditemukan di
seputar rumah. Kalaupun membakar ikan asin atau mendadar telor, mesti bertahan
untuk beberapa hari.
Amin tahu makanan sehari-hari orang Ninggul. Tidak pernah dibiarkannya
perut keroncongan dikenyangkan semaunya. Tapi malamnya, ketika dia berkunjung
ke rumah-rumah tetangga dan saudara, makanan yang biasa itu pun tidak
ditemukan. Mereka menanak tiwul, gaplek, bahkan juga gadung. Anak-anak yang
berdaging tipis, berkulit kering, tersenyum memperlihatkan gigi mereka yang
kotor. Makanan seperti itu tidak menjadikan orang Ninggul keracunan, karena
Ninggul memang sudah berpengalaman memasaknya.
Hanya di rumah Ketua Kampung, mertuanya, Amin masih mendapatkan nasi
ditanak. Itu pun menjadi bubur, untuk makanan beberapa orang yang sakit. Wabah
muntaber itu seperti mau datang lagi bila Ketua Kampung dan Nia yang masih
hapal tanda-tandanya, tidak cepat bertindak. Mereka mengajak seluruh penduduk
Ninggul yang sehat untuk mengambil air bersih di sumbernya yang cukup jauh.
Jangan gunakan lagi air pancuran yang keruh untuk memasak apapun. Sebagian lagi
belanja ke kota, membeli beras dan obat-obatan, jaga-jaga bila bantuan dari
kecamatan terlambat datang seperti tahun-tahun lalu.
Sampai pulang kembali ke rumah, Amin tidak bicara apapun. Pertanyaan
yang sudah di mulutnya pun tidak dikeluarkannya. Tidak ada lagi keinginan untuk
mengetahui keberadaan kalung pemberiannya. Biarkan saja, itu sudah menjadi hak
Nia, pikirnya. Sebagai anak Ninggul dia terlalu hapal meski hanya melihat
isyarat sekelebat. Kekurangan makanan kali ini, rasanya berbeda dari
musim-musim kering yang lalu. Orang Ninggul sudah biasa makan tiwul, gaplek,
atau gadung, tapi kali ini makanan tanpa dicampur beras itu mengisyaratkan lain.
Ketika mau tidur Amin bertanya lirih: “Separah itukah kekeringan musim
ini?”
“Mungkin belum seberapa, karena ini baru awal musim kering. Semua orang
tahu, kita mesti cepat bertindak bila tidak ingin ikut mengering seperti
sawah-sawah itu. Kita tidak punya modal untuk mengalirkan air dari sumber yang
jauh. Saya akan memulai pekerjaan itu bila wabah ini benar-benar sudah
terhindari, bila penduduk sudah sehat benar. Dan itu semua, Kang, dibiayai dari
penjualan kalung pemberianmu, yang sebagian telah dibelikan obat-obatan dan
beras.”
Amin tidak bicara. Dia sudah memperkirakannya.
“Akang tidak marah?”
Amin menarik napas panjang.
“Bagi Nia, kalung itu adalah hadiah terindah yang pernah diterima,
perhiasan terindah yang pernah dipunyai. Mungkin bila membelinya sendiri, Nia
tidak mungkin mendapatkannya sampai kapanpun. Bapak pun tidak mungkin
membelikannya. Akang pasti kecewa, maafkan Nia, karena tidak bisa memberitahu
Akang terlebih dahulu.”
Amin masih diam.
“Akang marah?”
Amin memeluk istrinya, erat sekali. Dan katanya, “Akang tidak marah.
Kita orang Ninggul, yang tahu bagaimana kelaparan mesti dihadapi. Engkau hadiah
terindah tidak saja bagi Akang, tapi juga bagi Ninggul.”
Di luar, suara jengkrik begitu jelas. ***
Rancakalong, 25
September 2002
0 Response to "Hadiah Terindah"
Posting Komentar