CARA MENGUTAK-ATIK JALAN CERITA CERPEN
“Saya tahu, semakin banyak menulis cerpen, cerpen semakin
menjadi sosok yang misterius”
Begitu kira-kira pembelaan saya bila ada yang bertanya
mengenai “jalan cerita, plot, karakter, konflik” dalam cerpen. “Dalam menulis
cerpen, apakah kita harus memperkuat jalan cerita atau karakter tokoh atau
konflik?” kata yang bertanya. Saat menulis cerpen, tentu saja saya tidak
mengindahkan pertanyaan seperti itu. Saya hanya perduli dengan “apa yang ingin
disampaikan” melalui cerpen itu. Kadang saya hanya ingin berkisah karena
kisahnya menarik, atau ingin berkisah karena kisahnya simbolik dan bisa dicapai
dengan banyak kemungkinan tafsir, kadang hanya ingin menggambarkan suasana yang
saya rasa mencekam dan penting (bagi saya) saat itu, kadang hanya ingin bermain
atau merespon bacaan atau situasi atau apapun yang sangat kuat mendorong untuk
menulis, dan banyak kemungkinan lainnya.
Tentu saja sejak awal menulis saya membaca buku-buku teori
bercerpen. Meski harus diakui saya tidak begitu serius membacanya. Kadang malah
hanya semacam ingin tahu saja menurut pengarang yang ini atau akademisi yang
itu. Saya punya istilah sendiri untuk yang dipersoalkan oleh yang lain.
Misalnya tentang “jalan cerita, karakter, konflik” saya lebih suka mempersoalkannya
sebagai “logika cerita”. Karena jalan cerita, karakter, konflik, dan mungkin
unsur lainnya, adalah suatu perpaduan.
Cerita itu harus logis. Tentu saja, meski cerpen mempunyai
logika tersendiri. Misalnya, dalam sebuah cerpen, dikisahkan sebuah keluarga
miskin yang karena miskinnya hp-nya pun butut, motornya pun butut, mobilnya pun
butut. Jangan dulu tertawa, karena ada cerita seperti itu. Bagi saya,
pernyataan miskin di cerpen ini sudah bermasalah. Mungkin pengarangnya harus
surpai dulu, orang miskin kebanyakan tidak punya mobil, tidak punya motor,
hp-butut bisa jadi masih memaksakan membeli atau dikasih orang. Contoh lain,
“Orang gendut itu berlari sangat kencang”. Kalimat itu juga bermasalah. Orang
gendut itu biasanya karena sedikit bergerak, gerakannya tidak cepat, larinya
tidak kencang. Kalau kalimat itu ingin menjadi logis, harus ditambah. Misalnya:
“Orang gendut itu berlari sangat kencang. Baru saja dua ratus meter, dia sudah
terjatuh saking lelahnya.” Jadi orang gendut itu berlari kencang karena
memaksakan diri.
Begini saja, salah satu yang menarik dalam menulis cerpen
adalah mengutak-atik jalan ceritanya. Dulu saya sering mendapat contoh seperti
ini: Ada seorang nenek penjual kue serabi yang sangat ingin naik haji. Dia
menabung setiap hari. Tentunya untuk ongkos naik haji dia harus menabung selama
bertahun-tahun. Artinya harus sangat sabar. Tentunya selama menunggu itu si
nenek rajin beribadah dan berdoa. Saat uangnya sudah memungkinkan untuk naik
haji, ada masalah lain. Di kampungnya ada bencana, banyak saudara dan
kenalannya yang menderita. Akhirnya uang yang ditabung untuk naik haji itu
disumbangkannya.
Kisah itu bisa menjadi tidak logis. Bila sejak awal
dikisahkan bahwa si nenek itu adalah orang yang kikir, keinginan naik hajinya
hanya karena ingin meninggikan derajat sosialnya, keputusan menyumbangkan
tabungan hajinya itu menjadi tidak logis. Tapi bisa menjadi sangat logis bila
sejak awal digambarkan bagaimana ikhlasnya nenek itu, inginnya naik haji karena
ghirah yang begitu besar di dalam hatinya. Tentu keputusan menyumbangkan
tabungan haji itu adalah sesuatu yang berat. Tapi dengan ghirah beribadah
keputusan menyumbangkan tabungan haji itu bisa menjadi konflik yang sangat bagus.
Tentu sudah jutaan cerpen yang ditulis orang. Karenanya kalau
kita tidak mengikuti cerpen yang ditulis orang hari ini, bulan lalu, tahun
lalu, abad lalu, kita akan ketinggalan. Kalau kita tidak mengikuti cerpen yang
ditulis oleh bangsa lain, bahasa lain, tentu juga akan ketinggalan. Jadi cari
tahu untuk tema seperti ini, orang lain membuat jalan cerita seperti apa. Dan
kita, sebaiknya membuat jalan ceritanya bagaimana?
Saya masih ingat, setelah contoh “nenek yang ingin naik haji
dan menyumbangkan tabungan hajinya” itu, teman saya Arief Gustaman (almarhur)
menulis cerpen dengan ending (kira-kira) seperti ini: Ada orang yang berangkat
naik haji dan di sana dia melihat si nenek begitu khusuk dan menikmati ibadah
hajinya.
Apakah itu logis atau tidak? Tidak dong kan si nenek itu
tidak jadi berangkat. Logis dong kan ghirah si nenek begitu hebatnya. Bagi saya
ending cerpen itu sangat bagus. Logika di dalam cerpen bukan logika “orang
tidak mungkin terbang seperti burung” atau “hewan tidak mungkin bicara bahasa
manusia”. Ending di atas menjadi sangat menyentuh karena sejak awal sudah
dibangun penggambaran (karakter) si nenek yang ghirah beribadahnya sangat
hebat.
Ending lain bisa jadi seperti ini: akhirnya si nenek pergi
berhaji karena ada orang kaya yang bernazar ingin membiayai orang lain berhaji
dan dia memilih si nenek penjual kue serabi itu. Begitu kira-kira cerpen Asma
Nadia yang kemudian difilmkan dengan judul Emak Ingin Naik Haji.
Ok, sudah terlalu panjang tapi bahasannya masih ngambang ya.
Nanti kita ketemu lagi deh. Selamat mengutak-atik jalan cerita saja….
(14-1-2017)
dongengyusrismail.blogspot.com ada karena inisiatif pribadi yang menyukai bahasan literasi dan inspirasi. Tentu saja blog ini butuh dukungan untuk terus menambah wawasan dan tulisan. Bila Anda mendukung kami, tolong KLIK sponsor yang ada di blog ini. Atau belilah produk yang kami jual. Terima kasih atas perhatiannya.
0 Response to "CARA MENGUTAK-ATIK JALAN CERITA CERPEN"
Posting Komentar