KAKEK DAN BUNGA DAHLIA
Majalah ESQUIRE, Desember 2016
Kakek itu hampir setiap pagi duduk
di bangku taman kota. Matanya menatap hamparan rumpun bunga dahlia yang tertata
rapi di depannya. Tatapan yang termasuk khusuk saya kira. Karenanya kakek itu
tidak perduli dengan yang terjadi di sekitarnya. Orang-orang berjalan di paving
blok yang membelah taman, seekor kucing liar kencing di kaki bangku taman, pedagang
bubur ayam memukul-mukul mangkok, seekor lebah hinggap di kerah bajunya; luput
dari perhatian kakek itu.
Tentu saja saya tahu pasti kejadian
itu. Saya hampir setiap pagi melalui taman itu. Taman kota yang sepi dari
pengunjung. Mungkin karena sepi itu si kakek leluasa mengumbar lamunannya
sambil menatap bunga dahlia. Kenangan apa yang tersimpan di benaknya?
Saya sendiri hampir setiap pagi
melewati taman kota itu karena selalu terburu-buru menuju tempat kerja. Dari
rumah naik bis kota, berhenti di stopan sebelah kanan taman kota itu, dan memotong
jalan dengan menyeberangi taman kota. Meski taman kota itu selalu sepi setiap pagi,
tapi belum pernah saya mendengar ada kejahatan di sana. Mungkin karena sejak
walikota baru terpilih, taman kota itu termasuk diperhatikan dengan menata
tanamannya, kolam di tengahnya, para pedagang yang hanya boleh berjualan di
luar pagar, dan satpol pp yang sering hilir mudik di sekitar taman. Bila sore
tiba, taman itu ramai didatangi orang yang berjalan-jalan. Tapi pagi sampai
siang, taman itu selalu sepi. Karena itu mungkin si kakek selalu datang pagi ke
taman kota itu, memandang bunga dahlia sepuasnya, dan pulang siang menjelang
sore.
Awalnya saya tidak begitu perduli
dengan kakek itu. Tapi memandang bunga dahlia tanpa mengindahkan sekelilingnya,
dari pagi sampai siang menjelang sore, hampir setiap hari; akhirnya langkah
saya yang terburu-buru berhenti begitu saja. Saya lihat hp, waktu masuk kerja
tinggal lima menit lagi. Mestinya saya berlari, menggesekkan kartu barcode
pegawai, dan selamat tidak akan ditegur bagian kepegawaian. Tapi saya malah
menghampiri kakek itu.
“Boleh saya duduk di sini?” tanya
saya setelah berdiri di dekatnya.
Kakek itu melirik, lalu mengangguk,
tapi kemudian meneruskan memandang bunga dahlia. Saya ikut memandangi
bunga-bunga yang selalu mekar itu. Ya, baru saya sadari, bunga dahlia seperti
tidak mengenal musim. Selalu ada yang mekar. Juga baru saya perhatikan, bunga
dahlia ternyata berwarna-warni. Merah, ungu, putih, dan campuran warna-warna
itu.
“Kek, ada apa sebenarnya?” tanya
saya lagi.
Kakek itu tidak bereaksi, seperti
yang tidak mendengar.
“Kenapa Kakek selalu memandang
bunga dahlia seperti itu?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Apa yang Kakek pikirkan?”
“Tidak ada apa-apa.”
Sampai saya permisi, berdiri, kakek
itu tidak bereaksi apapun seolah tidak ingin terganggu kekhusuan memandang
bunga dahlianya.
**
Sampai di tempat kerja tentu saja
saya kesiangan. Meski saya mengarang cerita yang bagus, tetap saja saya
diperingati. Tidak apa-apa, karena ternyata pikiran saya juga sedang tidak
perduli dengan masalah pekerjaan dan karir. Pikiran saya sudah tercuri oleh
seorang kakek yang selalu memandang bunga dahlia. Apa yang sedang
dipikirkannya? Bagaimana perasaannya?
Dari pedagang minuman yang mangkal
di luar pagar taman, saya tahu rumah kakek yang bernama Simama itu. Suatu hari
saat saya libur mingguan, saya mendatangi rumah Kakek Simama. Oh iya, saya
kerja di sebuah klinik yang libur mingguannya tidak menentu. Kadang saya libur
hari senin, kadang selasa, tergantung shifnya.
Kakek Simama tinggal sendirian.
Kata tetangganya, kakek berusia tujuh puluh tahun itu selalu pergi pagi dan
pulang sore sejak istrinya meninggal, beberapa bulan yang lalu. Waktu saya
tanya kenapa Kakek Simama selalu memandangi bunga dahlia, tetangga itu bahkan
tidak tahu kemana Kakek Simama pergi setiap harinya. Dia hanya memberi alamat
adik Kakek Simama. “Bu Rosma, adik Kakek Simama, mungkin tahu kenapa kakek itu
selalu memandang bunga dahlia,” katanya.
“Jadi tidak ada kenangan tentang
bunga dahlia?”
“Ibu rasa tidak. Tapi tidak tahu
setelah nikah. Siapa tahu Denria, anak tunggal Kak Simama, mengetahuinya. Ini
nomor teleponnya.”
Denria tinggal di luar kota.
Katanya dia hanya bisa mengunjungi bapaknya sebulan sekali. Waktu saya
ceritakan tentang bapaknya yang selalu memandang bunga dahlia dari pagi sampai
siang menjelang sore, Denria tidak bisa menduga apa yang dipikirkan bapaknya.
“Kalau kenangan tentang bunga
dahlia, saya rasa tidak ada,” kata Denria di telepon. “Tapi bila berkenaan
dengan cita-cita tidak tahu juga. Bapak dulu bercita-cita ingin mempunyai
peternakan kelinci. Tapi karena sibuk bekerja, cita-citanya itu tidak
kesampaian. Setelah pensiun, entah kenapa Bapak juga tidak beternak kelinci. Di
belakang rumah Bapak malah memelihara ayam. Ayam serama dan ayam ketawa,
jumlahnya sampai berpuluh-puluh ekor.”
“Sekarang masih ada ayam-ayam itu?”
tanya saya.
“Semuanya sudah dijual sejak Mami
saya meninggal. Mungkin Bapak sebenarnya melamunkan ingin mempunyai peternakan
ayam yang lebih besar, yang di depan peternakan itu dihiasi dengan bunga-bunga
dahlia. Mungkin.”
“Terima kasih Mas Denria. Maaf
sudah mengganggu.”
“Ya, sama-sama.”
**
Setiap pagi, setiap terburu-buru
menyeberangi taman kota, saya selalu menengok Kakek Simama yang duduk di bangku
yang sama, posisi yang sama, dan memandang bunga dahlia dengan cara yang sama. Sambil
berjalan tergesa saya masih sempat bertanya di dalam hati. Apa yang sedang
dipikirkan Kakek Simama?
Suatu hari saya sengaja berangkat
kerja lebih awal setengah jam dari biasa. Begitu saya lihat Kakek Simama sudah
duduk di bangku taman sambil memandang bunga dahlia, saya menghampirinya.
“Boleh saya duduk di sini?” tanya
saya setelah beridiri di dekatnya.
Kakek Simama melirik saya,
mengangguk, lalu meneruskan lagi memandang bunga dahlia.
“Apa yang sedang Kakek pikirkan?”
tanya saya pelan di dekat telinganya.
“Tidak ada,” jawabnya, juga pelan,
tanpa melirik.
“Apa ada kenangan khusus dengan
bunga dahlia?”
“Tidak ada.”
“Kenapa Kakek memandang bunga
dahlia seperti itu?”
“Hanya senang saja.”
Sampai saya berdiri dan pergi,
Kakek Simama tidak lagi melirik saya. Saya rasa saya harus segera melupakannya.
Tidak baik terlalu ingin tahu pikiran orang lain, meski orang itu melakukan hal
yang tidak biasa. Mulai besok saya harus melalui jalan lain menuju ke tempat
kerja.
**
Seminggu setelah saya selalu
memakai angkutan kota agar bisa berhenti tepat di depan kantor, saat istirahat
makan siang, ada tamu yang ingin bertemu saya. Ada lima orang tamu.
“Pak, maaf saya mengganggu,” kata
tamu yang seorang. “Kami berlima ini sebenarnya tidak saling mengenal
sebelumnya, tapi punya tujuan yang sama ingin bertemu Bapak. Kami mendengar
kabar, Bapak tahu banyak tentang kakek yang selalu memandang bunga dahlia di
taman kota. Kami ingin tahu, kenapa kakek itu selalu memandang bunga dahlia
seperti itu? Apa yang sedang dipikirkan atau dilamunkannya?”
**
Cilembu, 21 Maret 2016
0 Response to "KAKEK DAN BUNGA DAHLIA"
Posting Komentar