JAMBU AIR PAK BASIR
Solo Pos, 16 Oktober 2016
Rakey dan Doni melangkah lesu.
Mereka sedang menyusuri jalan raya yang panas. Matahari sedang di puncak.
Mereka pulang dari lapangan sepak bola. Sejak pagi mereka bermain di sana,
karena hari ini adalah hari Minggu.
“Bagaimanapun, sepanjang jalan di kompleks kita lebih nyaman, banyak pepohonannya,”
kata Rakey. Doni mengangguk.
Baru beberapa meter memasuki
gerbang kompleks perumahan, Rakey dan Doni mendengar orang memanggil mereka. Di
rumah ujung sebelah kanan, seorang bapak melambaikan tangan. Rakey dan Doni
saling memandang, kemudian mereka menghampiri bapak itu.
“Kalian pasti ingin jambu air.
Bapak punya pohonnya yang sedang berbuah lebat. Ayo, masuk karena pohonnya di
halaman samping,” kata bapak itu.
Rakey dan Doni memasuki halaman
rumah. Rumahnya sama saja bentuk dan
besarnya dengan rumah-rumah lainnya. Tapi karena letaknya di ujung jadi ada
tanah lebih. Dan tentu yang membedakan dengan rumah-rumah lainnya, halaman
rumah ini penuh dengan pepohonan. Ada pohon mangga, sirsak, nangka, jambu
monyet, srikaya, dan yang sedang berbuah lebat adalah pohon jambu air.
Bapak itu mengambil baskom berisi
penuh jambu air. Galah bambu
untuk memetik jambu air
masih tersandar di pohon. Sebagian buah jambu air berserakan di tanah.
“Bapak sudah petik sebagian.
Silakan cicipi, kalian pasti kehausan,” kata bapak itu sambil menyimpan baskom
di teras. Rakey dan Doni menelan ludah kering melihatnya. Mereka kemudian duduk
di teras sambil makan jambu air. Wah, manis dan segarnya. Wajah Rakey dan Doni
langung berseri.
“Kalian pasti bukan anak dari blok
depan kompleks, soalnya Bapak jarang melihat kalian. Eh, siapa nama kalian?”
tanya bapak itu lagi.
Rakey dan Doni hampir tersedak.
Kemudian mereka menyebutkan
nama masing-masing. Rakey bercerita, rumah mereka di kompleks blok paling
belakang. Kalau mau ke sekolah kadang melewati gerbang depan kadang melewati
jalan alternatif yang lebih dekat tapi mesti melewati persawahan.
Bapak itu namanya Basir Surya
Sumantri. Tapi cukup dipanggil Pak Basir saja. Katanya, usia 9 tahun
ketika keluarganya menempati rumah itu. Sekarang usia
Pak Basir 46 tahun. Hobinya menanam pepohonan. Makanya sekeliling rumahnya
penuh dengan pepohonan. Saat matahari
menyengat seperti sekarang, di rumah Pak Basir tidak terasa panas.
“Kalian harus tahu, pohon jambu air
ini Bapak tanam ketika usia sepuluh tahun,” kata Pak Basir.
Rakey dan Doni berdecak kagum. “Ya, seusia kalian sekaranglah.”
“Pohon jambu air ini hadiah ulang
tahun dari ayah Bapak. Setiap tahun bapak mendapatkan hadiah ulang tahun berupa
pohon. Pohon mangga yang di depan itu, yang tinggi sekali, itu hadiah ulang
tahun yang ke-11.
Kalian pasti tahu pohon rambutan yang di dekat taman kompleks, itu Bapak yang
menanam,” cerita Pak Basir.
“Iya tahu Pak, kan kalau sedang
musim, Doni suka memetiknya juga,” kata Rakey sambil tertawa. Doni cemberut.
“Pohon
rambutan itu hadiah ulang tahun yang ke-12,”
kenang Pak Basir. “Sejak
sebelum sekolah Bapak suka diajak ayah menanam pohon di tempat-tempat yang
gersang. Dulu di sekitar kompleks ini banyak tanah gersang. Bapak
menanamnya dengan berbagai pohon. Warga membantunya dengan menyediakan berbagai
benih. Sekarang kalau berjalan bisa berteduh. Kalau musim berbuah, semua warga
kebagian.”
Sepanjang jalan di kompleks itu
memang banyak pepohonan. Ada sirsak, mangga, sawo, rambutan, lengkeng, dan
entah pohon apa lagi. Kompleks mereka
itu malah pernah mendapat penghargaan dari walikota sebagai kompleks terhijau. Rakey
dan Doni baru tahu kalau pepohonan itu
yang menanamnya adalah Pak Basir.
“Menanam pohon itu begitu indah.
Ada perasaan yang sulit diceritakan saat melihat pohon itu semakin tinggi,
semakin besar, semakin kokoh. Apalagi saat ada orang berteduh atau anak-anak
memetik buahnya,” kata Pak Basir dengan tatapan menerawang. “Ah, kalau sudah
kenyang, kalian boleh bawa pulang sisanya. Kalian bolah ajak teman-teman
memetik buah jambu air, tuh di pohon masih banyak.”
Rakey dan Doni pulang dengan wajah
berseri. Dan tentu dengan perasaan baru. Perasaan menyesal mengingat mereka
pernah mematah-matahkan ranting pohon yang masih kecil. ***
Novel yang penuh haru: Tragedi Apel & Buku Ajai Jiko
0 Response to "JAMBU AIR PAK BASIR"
Posting Komentar