ARUM
Tabloid Nova, 2-8 Maret 2015
Derum
bis Damri mengeras ketika Arum melambaikan tangan. Bis yang baru keluar
setengah badan dari pangkalan itu berhenti. Pintunya terbuka dan kepala
kondekturnya nongol. “Ayo, lari...!”
teriak kondektur.
Arum
berlari sambil menjinjing dua plastik besar. Ujang mengikutinya dari belakang,
juga di tangannya ada dua plastik besar. Plastik besar itu diterima kondektur
ketika Arum sampai ke ambang pintu bis.
“Awas
Pak, barang pecah-belah,” kata Arum.
Kondektur
itu lebih hati-hati mengangkat plastik besar. Begitu dilihatnya isi plastik itu
bungkusan keripik singkong, kondektur tersenyum.
Arum
dan Ujang duduk di bangku bis yang kosong. Nafasnya masih cepat. Bis menderum
meninggalkan pangkalannya.
**
Arum
tersenyum melihat ke luar jendela. Pepohonan dan bangunan-bangunan seperti yang
berjalan cepat. Orang-orang yang akan berangkat kerja berjajar sepanjang jalan.
Bis Damri beberapa kali berhenti, menaikkan dan menurunkan penumpang. Pukul
tujuh pagi jalanan seperti ular yang baru menggeliat.
Ini
adalah hari pertama Arum berjualan keripik singkong. Langkah pertama dari
ribuan, atau mungkin jutaan, langkah yang diimpikannya. Langkah yang
menentukan. Tapi Arum tidak gugup. Karena langkah ini sudah bertahun-tahun
mengisi kepalanya.
Meski
begitu, persoalan yang sudah bertahun-tahun menghantuinya, masih membekas di
ingatannya. Emak dan Abah selalu mengingatkan, setengah memarahi, perkara
jodoh.
“Kamu
itu sudah dua puluh enam tahun, Arum!” kata Emak. “Sudah termasuk perawan tua.
Emak tidak mengerti, kenapa kamu selalu menolak laki-laki! Sudah dua orang yang
datang ke sini dan kamu tolak. Malu sebenarnya Emak bila ada yang menanyakan,
kapan kamu akan ke bale nyungcung!”
Untuk
persoalan itu, Arum sudah kebal. Sudah enam tahun, sejak usianya menginjak dua
puluh tahun, persoalan jodoh itu mulai menekannya. Setiap ada kerabat atau
teman sekampungnya yang menikah, siapapun yang mengenalnya selalu menanyakan
itu. Di kampung Cisampeu memang gadis lima belas tahun sudah berdandan mencari
pasangan. Usia delapan belas tahun bila masih belum ada yang melamar, orang
tuanya sibuk menjodohkan. Dan usia dua puluh tahun sudah semestinya menimang
anak.
Arum
sendiri sebenarnya tidak terlalu memilih untuk calon suaminya. Dia bergaul
seperti gadis pada umumnya. Malah termasuk yang wanteran, berani bicara di depan umum. Tapi keberaniannya bicara di
depan umum itu malah menjadi bumerang. Ketika itu Kang Karma datang kepada
pamannya, bermaksud melamarnya. Tapi Arum menolaknya. Uwaknya, kakak Emak, yang
kemudian memarahinya.
“Si
Arum itu gadis yang kabalinger! Jadi
gadis itu tidak usah terlalu pintar. Cukup bisa memasak, ngajeujeuhkeun rejeki suami!” kata uwaknya. “Karena bisa ngomong,
dia dengan gampang menolak lamaran lelaki!”
Pertimbangan
Arum menolak Kang Karma waktu itu adalah karena bandar tembakau itu sudah
mempunyai dua orang istri. Arum tidak mau dijadikan istri ketiga. Lelaki kedua
yang datang kepada Emak dan Abah adalah Sutardi. Sutardi sebenarnya anak orang
kaya. Tapi bujangan tua itu sudah dikenal masyarakat sebagai pemabuk. Hampir
setiap malam dia mabuk.
“Mestinya
kamu mencoba dulu, jangan asal tolak begitu. Siapa tahu setelah menikah
denganmu dia berhenti mabuk-mabukan,” kata Emak.
Tapi
Arum tetap menggeleng. Dia ingat ketika bicara berdua, anak mantan kepala desa
itu tidak jelas ngomongnya. Diajak bicara ke selatan, dia menjawab ke timur.
Ngomongnya seperti orang cadel karena
pengaruh minuman dan narkoba bertahun-tahun. Apa yang bisa diharapkan dari
lelaki seperti itu?
**
Persoalan
lainnya yang beberapa bulan terakhir menekan Arum adalah keinginannya untuk
berjualan keripik singkong. Emak, Abah, dan saudara-saudara lainnya tidak ada
yang mendukung.
“Arum,
kamu itu betul-betul kabalinger! Dari
dulu, dari nenek moyang kita, tidak ada orang Cisampeu yang berjualan. Kita itu
keturunan petani dan pekerja!” kata Emak. “Uwak dan paman kamu sudah bilang ke
Emak, ini pasti gara-gara kamu suka main ke rumah Guru Ujo! Sekarang yang
paling penting bagi kamu adalah mencari suami! Jangan malah meminta yang
bukan-bukan!”
Tentu
saja Arum terkejut. Dia tidak menyangka Emak bicara seperti itu. Awalnya dia meminta
uang sekitar dua juta rupiah untuk modal usahanya. Tapi jawabannya seperti itu.
Malah membawa-bawa Guru Ujo.
Guru
Ujo adalah guru di SDN Ciboled, satu-satunya SD di perkampungan kaki gunung
Ciceuri itu, letaknya sekitar dua kilo meter dari Cisampeu. Di rumahnya Guru
Ujo mempunyai banyak buku dan majalah. Banyak anak-anak yang diajaknya untuk
membaca buku-buku itu. Arum adalah satu-satunya orang dewasa yang suka meminjam
bukunya. Hampir setiap hari Arum ke taman bacaan itu. Guru Ujo dan Ceu Uun,
istrinya, adalah dua orang yang bisa mengerti jalan pikirannya.
“Saya
ingin membuka usaha sendiri, Ceu,” kata Arum suatu hari. “Saya sudah sejak beberapa
bulan lalu membaca-baca buku motivasi itu.”
“Tapi
orang tuamu ingin kamu bekerja,” kata Ceu
Uun.
“Tidak
hanya Emak dan Abah, Ceu. Semua saudara yang saya pinjami uang untuk modal,
malah menyarankan untuk bekerja lagi. Uwak, paman, bibi, malah bilang saya
memalukan keluarga. Semua orang Cisampeu ini yang tahu saya ingin berdagang
keripik singkong, tersenyum sinis.”
“Memang
mitos menyesatkan itu sudah mendarah-daging di penduduk kampung kita. Siapa
yang berdagang akan rugi, siapa yang membuka usaha akan bangkrut.”
“Saya
ingin melawan mitos itu, Ceu.”
**
Sejak
lulus SMP, sepuluh tahun yang lalu, Arum bekerja di kota Bandung. Di pabrik
bakso dua tahun, di kios bakso tiga tahun, di warung nasi empat tahun, dan
menjaga warnet setahun. Arum merasa sudah cukup episode bekerjanya. Uang hasil
bekerjanya ternyata tidak bisa ditabung. Sepupu-sepupunya, seorang adiknya, saudara-saudara
lainnya, yang waktu itu masih sekolah di SD dan SMP, pernah merasakan uang
gajinya.
“Saya
sangat mendukung keinginan Kang Guru, agar anak-anak di Cisampeu tidak hanya
sekolah sampai SMP,” kata Arum. “Caranya harus ada yang memotivasi seperti
taman bacaan ini. Sementara saya harus menjadi kaya, agar bisa membantu
membiayainya.”
Guru
Ujo dan Ceu Uun mengangguk. “Pasti kesampaian, Rum. Setiap kita punya
keinginan, sekali waktu jalan menuju ke
sana akan terbentang,” kata Guru Ujo.
Satu-satunya
keluarga yang mendukung Arum adalah Ujang, adik sepupunya. Ujang baru dua tahun
lulus SMP. Dia bekerja di Bandung, di sebuah warung kelontongan. Bekerja
serabutan, mulai dari mengantar galon air mineral sampai mengantongi minyak,
terigu, gula, dan lainnya. Ketika Ujang pulang, Arum menceritakan keinginannya.
“Singkong
di kita itu kan murah, Teh,” kata Ujang kepada Arum. “Tinggal membeli minyak,
bumbu, modalnya tentu tidak seberapa.”
“Modal
besar bukan untuk itu, Jang. Tapi untuk membeli plastik, cetakan, dan alat
perekat plastik. Kemasan harus menarik,” jawab Arum menerangkan. “Teteh sudah
mempelajari. Keripik singkong dari pabrik yang ada di daerah kita, harganya
bisa lima kali lebih murah dibanding keripik singkong yang bermerk. Teteh ingin
kita menjaga kualitas, dan mengemasnya dengan menarik. Harga tentu kita masih
bisa nego.”
Ujang
menurut saja apa yang direncanakan Arum. Uang tabungannya selama dua tahun
bekerja direlakan untuk modal keripik singkong merk Dusauda (Dua Saudara) ini. Orang
tua Ujang, paman Arum, sebenarnya melarang anaknya membantu Arum. Tapi Ujang
lebih memilih mendukung Arum. Sejak kelas tiga SD, Ujang memang anggota taman
bacaan di rumah Guru Ujo. Tentu saja Ujang lebih mengerti jalan pikiran Arum
dibanding mitos yang dipercaya orang tua, saudara-saudara, dan orang kampung
Cisampeu lainnya.
**
Tengah
hari matahari menyengat tanpa ampun. Arum dan Ujang menyusuri jalanan berdebu
sebuah kompleks perumahan. Keringat membasahi wajah dan baju mereka. Ujang
menjinjing sebuah plastik besar. Sebuah sedan melaju kencang, meninggalkan debu
beterbangan. Arum dan Ujang terbatuk-batuk, lalu berjalan cepat menghindari
debu yang mengepung.
“Kita
nyari tempat istirahat dulu, Teh. Kita makan dulu,” kata Ujang.
“Ya,
kita nyari tempat istirahat. Tapi kita jangan dulu pulang, Jang. Sisa yang
seplastik ini harus habis.”
Ujang
mengangguk.
Di
bawah pohon nangka di taman sebuah perumahan Arum dan Ujang istirahat. Mereka
membuka nasi timbel dan bacem tempe bekalnya. Ujang minum air teh hampir
setengah botol sekali teguk.
“Kamu
tahu, Jang, apa artinya setiap warung yang kita datangi tidak mau membeli
keripik singkong?” tanya Arum. “Mereka hanya mau dititipi, uangnya nanti waktu
kita mengirim ulang.”
Ujang
menggeleng.
“Artinya,
jalan kita bakal terjal, mungkin lebih terik dari siang ini, mungkin lebih
berdebu dari jalanan ini. Kita harus sanggup melewatinya. Pasti ada warung yang
tidak mau bayar penuh, warung yang tidak memajang keripik singkong kita.”
Ujang
mengangguk.
“Tapi
Teteh sudah membayangkan, suatu hari nanti kita berkeliling mengantar keripik
singkong memakai mobil seperti itu,” kata Arum sambil menunjuk sebuah mobil
box. Ujang tersenyum. “Nanti di rumah Guru Ujo, kamu harus belajar promosi merk
kita di internet.”
“Teteh
bisa internet?”
“Kan
pernah jaga warnet setahun lebih, Jang.”
**
Menjelang
maghrib Arum dan Ujang menyusuri jalan berbatu ke kampungnya. Mereka berjalan
lunglai. Wajah dan baju mereka kotor. Orang-orang yang melihatnya ada yang
merasa kasihan. Ada juga yang tersenyum sinis. Tapi Arum dan Ujang tersenyum
senang. Karena mereka baru saja pulang mengunjungi mimpi-mimpi mereka di masa
depan. ***
Pamulihan,
11 Februari 2015
Catatan:
Bale
nyungcung = menikah
Kabalinger
= pintar tapi tidak bijak
Ngajeujeuhkeun
= membelanjakan dengan cermat dan cerdas
Teh (teteh) = panggilan
kepada kakak perempuan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya suka sekali cerpen ini Kang, Arum, saya banget Kang..
BalasHapusTerima kasih, semoga selalu semangat seperti Arum....
BalasHapus