WARUNG TENGAH MALAM
Bandung Pos, 26 Oktober 1994
Pemuda berjaket kumal itu tertawa di antara irama dangdut yang sedang dinikmatinya. Sesekali ditenggaknya bir yang tak lepas dari genggamannya. Lalu tawanya menggema kembali setelah dia berhasil mencolek pantat perempuan yang lewat di depannya. Teman-temannya yang juga sedang berjoget, memeriahkan suasana dengan tawa khasnya masing-masing.
Aku memandang pemuda-pemuda itu sambil
menikmati kopi yang disuguhkan Nori. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya dua
atau tiga bulan yang lalu, yang berjoget sambil mabuk seperti pemuda-pemuda itu
adalah aku. Setelah letih berjoget dan bir di botol habis, aku akan
menghampiri Mirna dan menyewa kamar di belakang. Kalau tidak si Mirna, Sita,
Dewi, Rini atau yang lainnya suka juga menemaniku. Setelah itu aku tidur dan
puas.
Kalau kemudian aku lebih suka nangkring di warung Nori, ini karena dia punya
sesuatu yang menarik hatiku. Nori membuka warung paling ujung di antara deretan
warung-warung yang dibuka setiap malam dan tutup menjelang pagi di belakang
pasar kota kecilku. Hampir setiap malam, warung Nori bisa dikatakan yang paling
sepi.
Suatu malam aku mencoba minum kopi di
warungnya. Aku menikmati kesendirian sambil memandang teman-temanku yang lagi joget. Aku ngobrol dengan Nori
dan mendapatkan suatu kenikmatan yang membuatku kecanduan untuk menghabiskan
malam-malamku di warungnya.
Kenikmatan itu kudapatkan ketika aku
mengajaknya untuk tidur dan dia menolak. Di tempat seperti ini, dimana
orang-orang tak lagi sempat memikirkan moral, susila dan kebersihan hati, karena
terlalu sibuk memikirkan nasi sebagai penunjang hidup ragawi, Nori adalah
sebuah lelucon. Dan aku senang lelucon itu. Meski bagi pengunjung lain, lelucon
itu mungkin sama artinya dengan penolakan untuk mengunjungi warung Nori.
Sekali waktu, setelah sekian lama kami
hanya ngobrol, aku memeluk pinggang Nori. Dia mendiamkanku. Sebagai wanita usia
menjelang tiga puluhan, Nori masih menggairahkan dengan daging-dagingnya yang
kenyal.
“Kenapa selalu menolak setiap kuajak ke
belakang?”
Nori tidak menjawab. Tangannya
mengusap-usap tanganku.
“Takut dosa?”
Nori tertawa. Baru kudengar suara renyah
itu sejak aku jadi pelanggan tetap warungnya.
Dan sejak malam itu, Nori mau kuajak ke
belakang untuk menyewa kamar. Nori memang memuaskan. Dia tidak seperti Mirna,
Sita, Rini dan yang lainnya, yang main cepat-cepat dan pergi begitu saja. Nori
banyak bercerita, tentang perjalanan hidupnya, dengan suara parau. Dan dari
sudut matanya aku melihat sebutir air jatuh.
Sering aku tertawa mendengar perjalanan
hidupnya. Tapi Nori mungkin tak tahu, ada nada kecewa dalam setiap tawaku.
Bagiku, Nori lebih memberikan kenikmatan saat menolak untuk tidur. Dia mungkin
tidak tahu perasaanku dan aku tak mau menceritakannya. Yang masih memberi
kepuasan buatku karena Nori hanya mau diajak ke belakang olehku. Pengunjung
lain yang mencoba mengulurkan tangan, selalu ditolaknya. Tapi meski begitu, aku
lebih mengharapkan Nori menolak siapa saja, termasuk aku, seperti pertama aku
mengenalnya.
“Sekarang tak takut dosa?” tanyaku suatu
malam.
Nori tertawa. Tangannya memegang tanganku
yang sedang memeluknya. Kemudian wajah anggunnya menghadapku dan berkata, “
Sekarang ke belakang?”
Aku tertawa. Tapi kemudian aku yang merasa
kesepian dan kesal, mungkin juga marah, seperti pertama kali aku datang ke
tempat ini. Aku tidur di pangkuan Nori dan berkata, “Malam belum begitu dingin.
Berceritalah, aku ingin mendengarkan ceritamu.”
**
Warung tempat aku menghabiskan
malam-malamku ini dikenal dengan sebutan Warung Buka Malam. Tapi aku lebih
senang menyebutnya Warung Tengah Malam. Aku memang dating ke warung di belakang
pasar dan singgah di tempat Nori setiap hampir tengah malam dan pulang
menjelang pagi.
Meski aku tak pernah menyaksikan
waktu-waktu lain selain waktu kunjunganku, aku tahu keadaan Warung Tengah Malam
ini. Siang hari, bila kita ke belakang pasar, warung-warung ini tak akan pernah
ada. Di sana hanya akan kita dapatkan tukang sayuran, pindang, buah-buahan dan
semacamnya menggelar dagangannya. Baru menjelang malam, warung-warung ini akan
dibangun. Tiangnya adalah bambu-bambu kecil dan atapnya lembaran plastik.
Dengan mengambil aliran listrik dari gardu keamanan pasar, warung-warung ini
sedikit meriah dengan lagu-lagu dangdut dan bohlam sepuluh watt.
Berbagai macam makanan ada. Mulai dari
sate, gule, soto, sampai mie rebus, roti bakar dan minuman macam bir, ada di
situ. Dan sebagai daya tarik tambahan, atau mungkin juga daya tarik utama, di
sana ada perempuan-perempuan yang siap diajak bercanda dan seterusnya.
Sarana seperti itu memang memberi sedikit
kesenangan bagi pengunjung yang rata-rata lelaki sibuk dalam mencari penunjang
hidup. Asal sedikit punya uang, siapa saja boleh bersenang-senang di sana. Maka
sopir bis, kondektur, pegawai negeri golongan bawah yang frustrasi karena
gajinya tak memenuhi kebutuhan hidup, pedagang-pedagang kecil yang pulangnya
tiga bulan sekali ke kampung, atau pengangguran-pengangguran yang frustrasi dan
kebetulan sedang punya uang, hampir setiap malam ada di sana.
Menjelang pukul sembilan malam, pengunjung
mulai meramai. Perempuan yang biasa mangkal di sana, mulai hilir mudik ke
belakang (Di sana ada rumah yang menyewakan kamar-kamar kecil per jam), atau
pergi ke suatu tempat kalau ada perjanjian khusus dengan penyewanya. Satu dua
pengunjung laki-laki, datang dan pergi bergantian. Mereka makan-makan sambil
tertawa. Sebagian menenggak bir dan joget di depat warung. Yang lain menyoraki
dan memberi komentar-komentar. Lalu mereka tertawa bersama-sama. Atau, kalau
keadaan lagi jelek, ada juga yang berkelahi.
Aku hapal betul keadan Warung Tengah Malam
seperti ini. Aku memang salah seorang penikmatnya. Hampir seluruh tempat
seperti ini, di kotaku, pernah aku kunjungi. Sampai aku kecanduan untuk datang
ke Warung Tengah Malam yang di belakang pasar ini, karena di sini ada Nori.
Aku tak pernah menyesal untuk menghabiskan
uang di warung Nori. Sampai uang hasil menarik becak siang tadi, atau uang
pemberian istriku, habis di sini, aku tak kapok. Nori bagiku bagaikan air yang
kutemukan di saat aku kehausan. Dia memberikan kesejukan dalam hatiku atau mungkin
dalam kefrustrasianku. Aku, yang pernah menamatkan SMA dan sempat masuk kuliah,
akhirnya hanya jadi tukang becak. Dan istriku, yang dulu aku cintai setengah
mati, aku biarkan utnuk mencari nafkah, karena aku tak berdaya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Maka Nori adalah pelarianku. Dia begitu
mempesona saat menolak ajakan untuk ke belakang menyewa kamar. Meski kemudian
aku kecewa karena Nori mau kuajak ke belakang, pesonanya di mataku tak luntur
semua. Aku yakin, Nori sendiri tak pernah menginginkan hal itu terjadi.
Suatu malam, selesai tidur, Nori
mengusap-usap rambutku, lalu katanya, “Manusia, tak pernah puas akan
keadaannya. Mereka selalu terpesona oleh sesuatu yang gemebyar dan
mengejarnya.”
Aku membenarkan dalam hati. Tapi kemudian
aku berpikir, apakah dia menyindir atau sedang membicarakan dirinya. Aku tidak
tahu. Mungkin kedua-duanya benar.
Lalu Nori bercerita tentang kisah
hidupnya, seperti malam-malam yang lain. Dia datang dari desa, bersama
suaminya, untuk hidup di kota. Setelah melalui perjalanan yang mereka rasakan
begitu pahit, mereka terdampar di Warung Tengah Malam belakang pasar. Suaminya
menarik becak dan menjaga keamanan di sana. Mereka hidup lumayan dan tak mau
lagi hidup susah.
Aku belum pernah melihat suami Nori selama
ini. Sampai suatu malam, saat ada perkelahian, Nori memberi tahu. “Itulah
suamiku,” katanya sambil menunjuk orang yang mengamankan pemuda-pemuda yang
berkelahi. Aku ingat, lelaki itu yang pernah mengantar aku pulang dengan
becaknya. Hanya sekali itu aku mau diantarnya. Dia terlalu mencurigakan. Setiap
malam, saat aku lewat di tempat pangkalan becak, laki-laki itu selalu
memandangku.
Malam itu, waktu laki-laki itu mengantarku
pulang, dia berkata: “Tak pernah ada orang yang senang saat apa yang dipunyai
dan dicintainya dipermainkan orang lain. Semuanya akan marah, meski kata yang
lain barang itu begitu murahan dan tak berharga. Cinta adalah sesuatu yang
tidak pernah diperjualbelikan.”
Hampir saja aku turun dan mengajaknya
berkelahi waktu itu. Tapi aku terlalu capek dan mungkin apa yang
dikatakannya hanyalah sebuah kebetulan, tidak menyindirku. Waktu itu Nori
belum mau kuajak ke belakang untuk menyewa kamar. Aku hanya sering memegang
tangannya dan mengusap-usap rambutnya.
**
Malam ini kembali aku menghabiskan sebotol
bir. Kopi yang diseduh Nori tidak lagi memberi kepuasan. Pesona Nori berkurang
lagi dari hatiku. Tadi, saat aku memeluk pinggangnya, perlahan Nori
melepaskannya.
“Mau ke belakang sekarang?” tanyanya.
“Aku ingin mendengarkan dulu ceritamu.”
Tapi Nori menggeleng. Dan katanya,
“Duduklah dulu di depan, aku ada tugas malam ini.”
“Tugas apa?” tanyaku. Belum sempat
pertanyaanku terjawab, Nori berdiri dan menghampiri si Gendut, sopir bis yang
rutin setiap bisnya bermalam di kotaku mengunjungi Warung Tengah Malam belakang
pasar ini. Mereka bergandengan menuju ke belakang.
Lewat tengah malam aku mengambil lagi
sebotol bir. Nori yang tadi telah menemani si Gendut, menghampiri dan
membenamkan kepalaku ke pelukannya. Lalu katanya, “Mau ke belakang?”
Aku tidak menjawab.
“Atau ke rumahku saja. Suamiku tadi pergi
dengan si Mirna. Sejak dia mengijinkan aku menemanimu ngamar, dia sering pergi
dengan si Mirna. Mungkin di rumah si Mirna dia mabuk.”
Sejak malam itu, saat Nori menerima ajakan
si Gendut, warung Nori mulai ramai, seramai warung-warung lainnya. Sesekali,
aku pun melihat suami Nori mabuk dan ngamar. Dia tak lagi jadi penjaga keamanan
di Warung Tengah Malam ini. Aku mengerti perasaannya. Sekali aku berkelahi dan
mabuk bersamanya.
Meski Nori sibuk melayani pengunjung lain,
ia selalu menyempatkan diri menghampiriku dan membenamkan kepalaku di
pelukannya. Lalu ia akan mengusap-usap kepalaku dan berkata, “Mau ke belakang?”
Aku menggeleng. “Malam sudah larut,
sebentar lagi subuh, aku harus pulang,” kataku. Aku pun pergi, menuju Warung
Tengah Malam lain, kira-kira dua kilo meter jauhnya dari sini. Di sana, istriku
pasti sudah menunggu. Atau mungkin aku hanya mendapatkan surat seperti biasa
yang menyatakan bahwa istriku sedang pergi dengan penyewanya dan warung
dititipkan pada tetangga dan harus dibongkar.
0 Response to "WARUNG TENGAH MALAM"
Posting Komentar