BEBEGIG

bebegig
Suara Ntb, 29-7-2017

Tidak banyak orang yang tahu lelaki berusia dua puluh tahun itu. Dia tinggal bersama neneknya di sebuah gubuk di ujung kampung Gulamping. Setiap hari dia pergi ke sawah seorang diri. Berangkat pukul tujuh pagi dan pulang setelah senja. Berjalannya tidak sempurna karena kakinya yang pengkor. Tangannya yang kanan selalu di depan dada karena kengkong. Punggungnya menggendong tas kumal berisi perbekalan; nasi bungkus kecil dan botol air.



Lelaki bernama Sawen itu setiap hari menunggui padi-padi yang sudah menguning. Dia duduk di gubuk, menarik tali sekencang-kencangnya bila melihat rombongan burung hinggap di rumpun-rumpun bambu. Tali itu dihubungkan dengan kaleng-kaleng yang dipasang di setiap penjuru sawah. Klontang-klontang-klontang, begitu bunyinya. Tentu saja burung-burung itu akan terbang ketakutan.
Ya, tidak banyak orang yang tahu siapa Sawen. Jangankan warga lain kampung, warga sekampungnya saja hanya sedikit orang yang tahu. Karena begitulah keseharian Sawen, kakinya hanya melangkah dari gubuknya ke sawah.
Tapi kehidupan punya aturannya sendiri. Tiba-tiba Sawen terkenal kemana-mana. Tidak hanya warga sekampung, warga kampung tetangga, warga di kota kabupaten pun tahu siapa sawen.  Ya, itu semua karena keinginan Sawen. Sawen ingin menikah dengan bebegig.
**
Nenek Jumsih sudah lima kali keluar masuk gubuknya. Tapi selama itu dia tidak yakin apa yang akan dikerjakannya. Sekali dia keluar gubuk tanpa membawa apa-apa, setelah lama berdiri di luar gubuk baru ingat dia mau mengambil air dari pancuran. Kedua dia membawa panci, setelah lama berdiri di luar gubuk dia tidak ingat buat apa panci itu. Ketiga dia keluar gubuk tanpa membawa apa-apa, setelah di luar gubuk baru ingat dia tidak membawa ember untuk wadah air. Keempat dia membawa ember ke luar gubuk, tapi setelah di luar dia tidak ingat buat apa ember itu.
Ya, Nenek Jumsih sedang kalut pikirannya. Itu semua karena semalam Sawen mengatakan hal yang aneh.
“Awen ingin menikah, Nek,” kata Sawen pelan.
Nenek Jumsih tersenyum. Baju yang sedang ditambalnya disimpan di palupuh. “Menikah dengan siapa?” tanyanya.
“Bebegig.”
Nenek Jumsih berkerut kening. “Mengapa?”
“Dia baik, Nek. Dia suka sama Awen.”
Itu yang membuat Nenek Jumsih kalut. Sudah tujuh kali Sawen mengatakan hal yang sama. Semalam malah sambil menangis.
“Nek, nikahkan Awen, Nek. Nikahkah Awen dengan bebegig,” kata Sawen.
Nenek Jumsih tidak mengatakan apapun lagi. Dia menatap cucunya lekat sekali, lalu memeluknya. Dari ujung matanya mengalir butiran bening menyusuri pipinya yang keriput.
 “Mengapa Nenek tidak mau, mengapa Nenek tiak mau,” kata Sawen, juga sambil menangis. Butiran-butiran air mata bercampur dengan air yang selalu mengalir dari ujung bibirnya membasahi pipi sampai lehernya.
Itu yang membuat Nenek Jumsih kalut. Pagi-pagi sudah lima kali dia keluar masuk gubuknya tanpa ingat akan mengerjakan apa. Setelah melepas Sawen pergi ke sawah, biasanya Nenek Jumsih pergi ke rumah Haji Abdulah. Ya, selama ini Nenek Jumsih mengandalkan hidup dari kebaikan Haji Abdulah. Setiap hari Nenek Jumsih membantu mengerjakan pekerjaan dapur, Sawen menjaga sawah sebelum panen. Itu semua ada upahnya, upah yang cukup untuk hidup berdua. Gubuk Nenek Jumsih sendiri dibuatkan Haji Abdullah di kebunnya.
Pagi itu Nenek Jumsih tidak pergi ke rumah Haji Abdulah. Nenek Jumsih hanya duduk di depan tungku, memandang bara yang sudah padam. Dia ingat dua puluh tahun lalu saat kampung geger. Ada seorang wanita ditemukan pingsan di tepi hutan. Wanita itu adalah Surining, orang kota yang tersesat di tepi hutan. Surining ternyata sedang hamil. Dia sudah berkeliling mencari dukun beranak untuk menggugurkan kandungannya. Tapi setelah diurut oleh dua orang dukun beranak, kandungan Surining tidak juga gugur. Surining malah yang kemudian pingsan. Saat melahirkan bayi prematur, Surining meninggal karena terlalu banyak pendarahan.
Anak Surining itu adalah Sawen, yang kemudian diaku cucu oleh Nenek Jumsih. Sejak kecil Sawen sudah kenyang diejek orang. Dikatakan ideot, gila, anak jadah, dan entah apa lagi. Tapi Sawen selalu membalasnya dengan tersenyum. Nenek Jumsih tetap yakin bahwa Sawen adalah anak yang normal.
Menjelang siang Nenek Jumsih pergi ke sawah. Dia duduk di sebelah Sawen. Hamparan sawah mulai menguning. Burung-burung pipit semakin sering berdatangan. Mereka hanya terbang sebentar ketika Sawen menarik tali. Klontang-klontang-klontang bunyi kaleng hanya mengagetkan burung-burung itu sebentar.
Dan di sudut kanan persawahan, sebuah bebegig tampak jelas. Bebegig itu dibuat oleh Nenek Jumsih sendiri. Sawen membantu mengambil jeraminya dari belakang gubuk. Orang-orangan itu setelah jadi diberi pakaian perempuan, kepalanya dipasang topi warna fink.
“Bebegig itu yang baik kepada Sawen?” tanya Nenek Jumsih.
“Iya, Nek. Dia sering mendongeng, sering mengajak bermain. Dan tentu menyayangi Sawen. Seperti Nenek.”
“Boleh kalau Nenek bicara dengannya?”
“Tidak bisa, Nek. Bebegig hanya ingin bicara dengan Sawen. Hanya bisa bermain dengan Sawen. Kapan, Nek, Sawen dan bebegig dinikahkan? Nikah di Pak RT saja, Nek.”
Nenek Jumsih tersenyum.
**
Dari Pak RT itulah kabar Sawen ingin menikah dengan bebegig menyebar. Seluruh warga kampung segera tahu. Ada yang tertawa, ada yang menggeleng-gelengkan kepala, ada yang berdecak, dan banyak komentar.
Juragan Sutar yang kemudian membuat Sawen lebih terkenal. Tengkulak hasil pertanian dan rentenir itu sejak beberapa bulan yang lalu sudah menyusun rencana ikut pencalonan kepala desa. Ketika mendengar kabar Sawen ingin menikah dengan bebegig, dia tertawa terbahak-bahak. “Dasar, anak ideot,” gumamnya. Tapi tawa itu kemudian terhenti. Dia segera mengumpulkan pendukungnya, mengadakan rapat. Dan siang itu dia bicara di hadapan warga kampung.
“Sawen ingin menikahi bebegig itu jangan hanya dilihat sebagai sesuatu yang lucu. Ini masalah moral. Bagaimana bisa orang menikah dengan bebegig?” kata Juragan Sutar berapi-api. “Kita percaya Sawen dan Nenek Jumsih bukanlah dukun, bukan penganut ilmu santet, bukan tukang sihir. Tapi moral yang bobrok saja sehingga ada niat menikah dengan bebegig. Kampung kita harus bersih dari moral bobrok seperti itu! Jadi kita harus membersihkannya! Bila saya jadi kepala desa....!”
Juragan Sutar dengan puluhan warga kampung pendukungnya merencanakan untuk menangkap Sawen. Sawen harus diadili. Sawen akan dibawa-bawa oleh Juragan Sutar dalam kampanye sebagai contoh bobroknya moral. Malam itu mereka berkumpul. Lalu dengan membawa obor dan lampu-lampu besar mereka mendatangi rumah Nenek Jumsih.
Tapi Sawen sudah tidak ada. Sawen sudah meloloskan diri. Dia kabur ke hutan sejak sore tadi. Ada orang kampung yang kasihan kepada Sawen dan Nenek Jumsih. Dia melaporkan apa yang terjadi di kampung. Maka Sawen pun lari ke hutan.
“Bersembunyilah di dalam hutan. Jangan keluar sebelum Nenek memanggilmu,” kata Nenek Jumsih.
Juragan Sutar marah ketika tahu Sawen sudah tidak ada di gubuknya.
“Ini tidak bisa dibiarkan! Bagaimanapun kebobrokan moral harus dituntaskan. Kampung kita harus memegang teguh Imtaksoljug, Iman Takwa Soleh Juga. Jadi... Ayo, kita kejar Sawen ke dalam hutan!”
Orang-orang bergemuruh. Lalu mereka berangkat menuju tepi hutan. Nenek Jumsih menangis sambil duduk di tanah. Juragan Sutar segera memanggil anak buahnya.
“Kamu pimpin rombongan ke dalam hutan. Kalau sudah tertangkap, segera sms saya. Bawa saja ke halaman bale desa, biar seluruh warga tahu kita yang melakukannya. Dan jangan lupa, sediakan kopi dan rokok yang cukup untuk yang ikut ke hutan,” kata Juragan Sutar.
“Bapak tidak akan ikut?”
“Ini... sakit pinggang kumat lagi.”
**
Malam terasa dingin dan sunyi saat Juragan Sutar pulang seorang diri. Sorak-sorai rombongan yang ke hutan sudah tidak terdengar lagi. Sampai di rumah gedung dua tingkat yang halamannya asri, jam tangan Juragan Sutar sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ketika pintu dibuka Juragan Sutar, istrinya sedang duduk di sofa, tersenyum begitu manis.
Juragan Sutar lalu ke kamar mandi. Mandi air hangat. Lalu minum air hangat dan sebutir pil. Istrinya yang selalu tersenyum itu dipangkunya, lalu dibawa ke kamar. Sekian menit kemudian Juragan Sutar sudah mandi keringat. Bersamaan dengan puncak syahwatnya, bunyi sms masuk.
“Boss, Sawen sudah tertangkap,” kata pesan sms itu.
Juragan Sutar tersenyum. Dipeluknya istrinya. Disusurinya punggung istrinya. Klik! Tombol yang ada di punggung istrinya dipijit. Semenit kemudian Juragan Sutar tertidur di samping istrinya yang selalu tersenyum itu. **
   
 Catatan:
Bebegig = orang-orangan sawah
Pengkor = cacat kaki, bengkok, biasanya bawaan sejak lahir
Kengkong = cacat tangan, bengkok ke dalam
Palupuh = lantai dari bambu


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BEBEGIG"

Posting Komentar