BUBUR REMPAH

Cerpen Yus R. Ismail
Cerpen Bubur Rempah, Femina edisi 44 edar tanggal 4-11 November 2016

Setiap mengaduk bubur, Asri melihat wajah orang tuanya dalam letupan-letupan nasi encer itu. Apa membayang dalam letupan panas itu. Apa seperti sebuah amarah yang tidak pernah berhenti, seperti letupan bubur yang hanya berhenti bila api dimatikan. Emak memang tidak membayang dengan jelas. Tapi Asri merasakan kehadirannya dalam letupan itu meski Emak selalu diam.
Seingat Asri semuanya dimulai tujuh tahun yang lalu ketika dia lulus dari SMK. Suatu sore lelaki tua bandar pisang itu datang dan berbincang dengan Apa. Malamnya Apa memanggil Asri, membicarakan rencana pernikahan anak tertuanya itu dengan Pak Sutardi, bandar pisang berusia lima puluh tahun itu. Tentu saja Asri terkejut. Dia menolak. Dia masih ingin punya pengalaman bekerja, kalau bisa dia mau melanjutkan sekolah. Tapi Apa marah, marah besar.
“Kalau kamu ingin bekerja dan sekolah, sebenarnya bisa dibicarakan, tidak langsung menolak,” kata Emak besoknya.
“Tapi bukan hanya itu, Mak. Pak Sutardi itu kan sudah punya tiga orang istri. Bagaimana bila....”
“Bapakmu itu meminta bantuanmu. Bapakmu mempunyai utang yang....”
Tentu saja Asri kecewa kepada Apa. Mengapa Apa yang mempunyai utang dia yang dikorbankan? Kepada Emak pun Asri sama kecewanya. Emak tidak melindunginya. Bila Asri tidak pergi mengikuti Ceu Wawang, kakak sepupunya yang bekerja di Bandung, tentu Emak akan selalu memintanya agar mau dinikahi lelaki tua itu.
**

Selama dua tahun bekerja di Bandung, setiap Asri pulang, Apa dan Emak selalu menyambutnya dengan suka-cita. Pertengkarannya saat Asri menolak lamaran Pak Sutardi seperti yang hilang sama sekali. Tapi beberapa hari kemudian Asri merasa bibit pengaturan orang tuanya masih tumbuh.
“Asri, Geulis, kamu itu sekarang sudah dua puluh tahun,” kata Emak. “Sudah waktunya kamu berkeluarga. Teman-temanmu semuanya sudah menimang anak. Emak dan Apa juga sudah ingin bermain dengan cucu.”
“Jangan terlalu sibuk bekerja.” Apa menambahkan. “Mencari uang itu adalah tugas suamimu.”
Asri marah. Dia mengira Apa dan Emak masih ingin menjodohkannya dengan lelaki tua beristri tiga itu. Dia tidak bicara sama sekali. Nasihat berikutnya yang panjang tentang pernikahan dan berkeluarga tidak didengarkannya. Dan besoknya, Asri pamit untuk kembali ke Bandung.
“Cuti kamu kan masih seminggu lagi, kenapa pulang sekarang?” tanya Emak heran.
“Asri tidak betah di sini!”
Jawaban Asri yang ketus seperti itu yang membuat Emak terhenyak. Emak tidak mengerti. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa.
“Apa sedang di sawah, temui dulu sebelum kamu pergi,” nasihat Emak.
“Sampaikan saja sama Emak. Asri sudah ingin sampai di Bandung.”
Tentu saja Emak bersedih. Setelah Asri pergi, Emak menemui Apa di sawah. Meski Emak tidak menangis, tapi Apa tahu Emak sakit hati dengan kepergian Asri yang tiba-tiba.
“Mungkin Asri memang ada keperluan yang mendesak, Mak,” kata Apa menenangkan. “Seperti dulu kita punya kepentingan mendesak untuk menerima lamaran Pak Sutardi bandar pisang itu. Asri pasti terkejut dan tidak mengerti waktu itu. Waktu yang kemudian memberitahu Apa, apa yang kita lakukan dulu itu keterlaluan.”
“Asri masih marah dengan apa yang kita lakukan dulu? Itu kan sudah dua tahun yang lalu,” gumam Emak.
Asri sendiri berjalan menyusuri jalan kampung dengan pikiran dan perasaan tidak menentu. Dia ingin marah, tapi juga tidak jelas apa yang membuatnya marah. Di bagian perasaan dan pikirannya ada keragu-raguan. Juga ada pengakuan, apa yang dikatakan Emak tidaklah berlebihan. Di kampungnya, kampung Rancaoray, perempuan berusia dua puluh tahun rata-rata sudah mempunyai dua atau tiga orang anak.
Rancaoray adalah kampung terpencil di kaki gunung Kareumbi. Memerlukan waktu tiga jam lebih berjalan kaki untuk sampai ke pinggir jalan raya di bawah tebing Cadas Pangeran. Walaupun sekarang sudah banyak ojek, dari pagi sampai siang ada juga mobil angkutan pedesaan, tetapi orang Rancaoray yang mau ke kota seringkali berjalan kaki. Di jalan raya Cadas Pangeran itulah kendaraan umum menuju Bandung, Jakarta, Bogor, atau kota lainnya di pulau Jawa, biasa lewat.
Bagi kampung Rancaoray, Asri adalah anak perempuan yang berbeda. Lulus SD kebanyakan anak Rancaoray tidak meneruskan sekolah. Mereka lebih baik membantu orang tuanya bertani di kebun atau sawah, memelihara sapi perah atau bekerja di kandang ayam. Setahun dua tahun setelah lulus SD mulai ada anak perempuan yang menikah. Bila ada yang meneruskan sekolah, lulus SMP hampir semua anak perempuan di Rancaoray sudah mencari pasangan. Orang tua akan khawatir kalau sampai usia dua puluh tahun anaknya belum menikah. Salah satu kegagalan penyuluhan belajar sembilan tahun di Rancaoray karena ketakutan orang tua, anak-anaknya tidak segera mendapatkan jodoh.
Asri tentu saja anak perempuan yang berbeda karena ingin sekolah sampai SMK. Lulus SMP orang tuanya sebenarnya menawarinya untuk bekerja di kandang ayam. Tentu saja tujuannya agar Asri cepat mendapatkan jodoh. Tapi Asri ingin meneruskan sekolah ke SMK.
“SMK itu adanya di Kota Kecamatan. Kamu harus sewa kamar di sana, makan dan  ongkos lainnya, Apa tidak mempunyai biayanya,” kata Emak waktu itu.
“Ibu Bidan pernah menawari kepada Asri, kalau Asri ingin sekolah ke SMK, Asri bisa mondok di Panti Anak di Kota Kecamatan,” kata Asri dengan mata berbinar. “Emak dan Apa tidak mesti mengeluarkan biaya lagi. Emak dan Apa hanya harus datang ke Ibu Bidan, ceritakan keinginan Asri untuk meneruskan sekolah ke SMK. Nanti Ibu Bidan yang akan mengantar kita ke Panti Anak.”
Dengan begitu saja Asri sudah berbeda dengan anak-anak Rancaoray lainnya. Belum pernah ada anak Rancaoray yang sangat ingin sekolah ke SMK, menuntun orang tuanya yang rata-rata tidak tahu apa-apa, mencari informasi sendiri agar dirinya bisa sekolah dengan gratis.
**



Selama enam tahun merantau di Bandung, Asri sudah bekerja di rumah makan, jongko bubur, dan menjaga warnet. Selama itu juga sebenarnya dia bisa membantu keuangan keluarga seperti yang dicita-citakannya. Gajinya dia sisihkan sebagian untuk biaya sekolah adik-adiknya. Seragam sekolah, buku, sepatu, tas, Asri selalu membelikannya setiap tahun.
Emak dan Apa bukannya tidak berterima kasih kepada Asri. Mereka selalu mengatakan bahwa Asri anak yang baik, kakak yang perhatian. Tapi itu semua tidak bisa mengurangi waktu-waktu tegang mereka. Sekali waktu Apa dan Emak pernah meminta Asri pulang.
“Ada apa, Mak, sepertinya penting sekali?” tanya Asri di telepon.
“Ya sangat penting, pulang saja walau cuma sehari,” jawab Emak.
Emak dan Apa berpikir bahwa kabar kali ini akan membuat Asri senang. Lurah Hormat akan datang melamar Asri untuk anaknya yang masih membujang. Rudi adalah anak Lurah Hormat yang belum menikah, usianya tiga puluh tahun, pernah kuliah di Bandung tapi tidak selesai. Tentu saja kabar ini adalah penghormatan bagi keluarga Asri. Lurah Hormat adalah orang paling terpandang di Rancaoray. Sawahnya luas, kolam ikannya tidak terhitung, mempunyai dua pabrik penggilingan padi.
Waktu Asri pulang, di rumahnya sudah ada nenek-kakeknya, paman-bibinya, dan keluarga lainnya. Asri terkejut ketika dikasih tahu rencana lamaran Lurah Hormat nanti malam. Asri marah. Dia menangis, menyesali Emak dan Apa tidak memberitahunya sejak awal. Siang itu Asri pulang lagi ke Bandung, meninggalkan keluarganya yang bingung dan mesti menanggung malu.
“Makanya anak perempuan itu jangan disekolahkan tinggi-tinggi!” kata neneknya Asri. “Si Asri itu keterlaluan! Tidak ada di kampung kita perempuan yang akan menolak lamaran keluarga Lurah Hormat! Hanya si Asri yang pinter kabalinger! Aduh, keluarga kita itu akan malu selamanya.”
Seminggu kemudian Emak, diantar salah seorang bibi Asri, datang ke Bandung. Emak menceritakan bagaimana kecewa dan marahnya Apa, malunya kakek-nenek Asri dan keluarga lainnya. Dan akhirnya Emak bertanya, “Kamu itu sudah dua puluh lima tahun, Geulis. Kenapa menolak lamaran anak Lurah Hormat yang masih membujang itu?”
“Semuanya juga kan tahu, anak Lurah Hormat itu kerjanya hanya menghambur-hamburkan kekayaan bapaknya dan mabuk-mabukan,” kata Asri setelah menangis di pangkuan Emak. “Bicaranya saja tidak jelas karena pengaruh narkoba. Apanya yang bisa diharapkan dari suami seperti itu, Mak?”
“Tapi setelah menikah semuanya bisa berubah, asal kita mau mencobanya.”
“Maaf Mak, Asri tidak ingin membuat percobaan dengan menikah,” kata Asri sambil memegang tangan Emak. “Emak percaya saja, Asri juga sudah ingin menikah, ingin membina keluarga, tapi dengan lelaki yang tepat, lelaki yang dipercaya bisa menjadi pemimpin.”
Tapi ketegangan karena penolakan lamaran Lurah Hormat itu tidak bisa mereda. Karena seluruh penduduk Rancaoray, juga kampung-kampung tetangganya, selalu membicarakannya. Keluarga Asri hanya bisa marah dan memaki-maki Asri yang tidak ada di kampungnya untuk menutupi rasa malu mereka. Apa dan Emak yang mencoba mengerti mengapa Asri menolak, seringkali terpengaruh lagi dengan cercaan dan olok-olok orang sekampung terhadap Asri.
Dan puncaknya ketika lima bulan yang lalu Asri bermaksud membuka usaha bubur rempah. Asri pulang untuk meminta restu Emak dan Apa.
“Asri ini sudah kenyang bekerja, Apa, Emak,” kata Asri ketika malamya mereka berkumpul di tengah rumah. “Asri sekarang ingin membuka usaha bubur rempah, bubur dengan banyak bumbu. Asri ingin berusaha dan belajar menjadi pengusaha. Doakan Asri.”
Emak tidak bicara sepatahpun. Apa yang kemudian marah. Marah besar. Marah yang seperti akumulasi kekesalannya selama ini.
“Kamu itu benar-benar anak yang kabalinger! Pinter kabalinger!” Apa membentak. “Tidak ada di keluarga kita, di kampung kita, yang memperjualbelikan Nyai Sri! Karena itu pantrangan! Pamali! Kamu ingin dikutuk para leluhur?”
Sewaktu kecil Asri memang pernah mendengar ada pamali di kampungnya. Pamali menyisakan nasi di piring dan pamali memperjualbelikan Nyai Sri. Tapi Asri rasa itu hanyalah dongeng belaka. Pamali menyisakan nasi di piring masih bisa dimengerti, agar nasi itu tidak mubajir, sebagai penghormatan kepada makanan pokok. Tapi pamali memperjualbelikan padi atau makanan dari bahan padi? Asri rasa itu hanya frustrasi dari leluhurnya yang usahanya bangkrut.
Asri diam ketika Apa berbicara panjang-lebar mengenai pamali berdagang Nyai Sri itu. Tapi dua hari kemudian dia kembali ke Bandung. Dengan ditemani oleh Ujang, adik sepupunya yang sudah dua tahun lulus SMP, Asri berjualan bubur rempah. Awalnya berkeliling ke perumahan-perumahan. Ujang yang mendorong roda, Asri yang melayani pembeli. Sejak sebulan yang lalu mereka mangkal di depan rumah ukuran tipe 22 yang dikontrak per bulan.
“Bubur kita mulai dicari orang, Teh. Tadi ada pembeli yang katanya berhari-hari menunggu kita lewat,” cerita Ujang. “Katanya, mestinya kalau kita mau mangkal itu membagikan selebaran atau menempel pengumuman di tembok atau membuat spanduk.”
Asri tersenyum. Ya, setelah jatuh-bangun yang rasanya jauh lebih melelahkan dibanding bekerja, usaha bubur rempahnya mulai kelihatan ada kemajuan. Mulai ada pelanggan tetap, mulai ada yang memesan, dan mulai ada yang membawanya sebagai oleh-oleh. Tapi hati Asri semakin mundur. Perasaan Asri semakin tidak menentu. Semakin dia konsentrasi berjualan bubur semakin ingat bahwa apa yang dilakukannya tidak mendapat restu dari Emak dan Apa. Dan ketika yang punya rumah menemui Asri, menanyakan apakah kontrakannya mau diteruskan atau tidak, Asri memilih berhenti. Ujang yang kemudian kecewa.
“Kita pulang saja dulu, Jang. Selama Emak dan Apa tidak merestui, Teteh sepertinya tidak bisa lagi berjualan. Hati Teteh semakin tidak tenang,” kata Asri kepada Ujang. “Roda dan peralatan lainnya jual saja kepada yang punya rumah, katanya mereka juga mau berdagang.”
Meski berat Ujang menurut apa yang diminta Asri. Setelah semuanya selesai, pagi-pagi mereka pulang naik bis jurusan Cirebon. “Telepon Emak, Jang. Katakan, Teteh pulang sekarang,” kata Asri.
Ujang menghubungi Emak. “Assalamualaiku, ini Ujang, Wa. Ujang dan Teh Asri sekarang pulang, sekarang sudah naik bis,” kata Ujang di antara gemuruh suara bis.
Emak tidak mengatakan apapun. Setelah telepon genggamnya ditutup, Emak memandang Apa. “Asri dan Ujang pulang, sudah naik bis,” kata Emak. Apa tidak mengomentari apapun. Tangannya masih memegang erat tali dua dus besar berisi segala bumbu-bumbuan untuk bubur rempah. Apa memang tidak kebagian duduk di bis yang penuh sesak itu.
“Apa, berarti kita pulang lagi?” ***

Pamulihan, 7 September 2015

 Catatan :
Apa = bapak, panggilan kepada bapak
Geulis = cantik
Lurah Hormat = mantan kepala desa
Pinter kabalinger = pintar tapi tidak bijak
Pamali = pantrangan
Teteh (Teh) = panggilan kepada wanita yang lebih tua
Wa (uwak) = kakak dari bapak/ibu
Nyai Sri = panggilan kepada padi/beras, sebagai tanda hormat kepada makanan pokok.



Subscribe to receive free email updates:

4 Responses to "BUBUR REMPAH"

  1. Selamat untuk pemuatan cerpennya. rasanya sudah sangat lama saya tidak membaca cerita dengan lokalitas sunda yang kental seperti ini.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mbak Adya. Cerpen saya katanya ketahuan "rasa sundanya". Makanya sering diledek, nulis cerpen sunda kerasa indonesianya, nulis cerpen indonesia kerasa sundanya hehe...

    BalasHapus
  3. Wah Kang Yus bener-bener hebat euy

    BalasHapus
  4. Abah Otang, bukan hebat, tapi ngeureuyeuh hehe....

    BalasHapus