Cerpen Jawa Pos: SUNYI JUGA DAN BAHKAN SUNYI
Jawa Pos, 7 Agustus 2016
Saya sedang di kantor ketika kabar itu
datang. Ayah sakit. Teh Aisyah, kakak tertua saya, yang menelepon.
“Kamu harus datang!” kata Teh Aisyah
seperti yang penting harus mengatakan kalimat perintah seperti itu. “Kalau mau
bareng, sekarang ditunggu di sini.”
“Saya nyusul aja, Teh. Masih ada
pekerjaan yang harus diselesaikan.”
“Tapi harus datang, ya?”
“Iya Teh, pasti datang.”
Teh Aisyah dan saya memang tinggal dan
bekerja di Bandung. Sementara tiga kakak saya yang lainnya: Aa Akbar dan Teh Zenab
tinggal dan bekerja di Jakarta, Aa Lukman tinggal dan bekerja di Kalimantan.
Hari sabtu sore, tiga hari setelah Teh
Aisyah mengabari Ayah sakit, saya pulang. Semua kakak sudah ada di rumah. Hanya
Teh Aisyah yang datang bersama suaminya, Kang Soleh. Kakak lainnya datang
sendiri-sendiri. Rumah besar Ayah di kampung Cinenggang, sebuah kampung
terpencil di kabupaten Sumedang, masih terasa lengang. Ya, karena kehadiran
mereka berbeda dengan saat Hari Raya Idul Fitri. Mereka datang bersama suami,
istri, anak-anak, dan cucu-cucunya.
Semua kakak saya tentu saja marah. “Kamu
ini tinggal paling dekat dengan Ayah, tapi datang paling telat! Dasar, anak
durhaka!” kata Aa Lukman. Saya menganggap biasa mendengar kalimat-kalimat
seperti itu. Makanya saya tidak membantahnya.
Ayah sedang duduk di tempat tidur ketika
saya masuk ke kamarnya. Matanya begitu berbinar ketika melihat saya. Saya
bersujud di kaki Ayah, memeluknya, dan mengucapkan kata-kata maaf dan
penyesalan datang terlambat. Tapi Ayah seperti yang tidak mendengarnya. Ayah
mengusap-usap rambut saya, punggung saya, lalu mencium kening saya. Sesuatu
yang sangat menakjubkan. Sesuatu yang sanggup menghentikan kata-kata penyesalan
saya yang keluar tidak dari hati, menghentikan pelukan saya sebagai seremonial
yang menunjukkan rasa kangen padahal tidak sama sekali. Ya, karena Ayah
mengusap-usap rambut saya, punggung saya, apalagi mencium kening saya, baru
kali itu dilakukannya.
“Maafkan Ayah, Su. Ayah yang salah, kamu
yang benar,” kata Ayah seperti berbisik.
“Tentang apa, Ayah?” tanya saya tidak
mengerti.
Tapi Ayah tidak mengatakan apapun lagi.
Ayah hanya memandang tembok kamar.
**
Ayah baru setahun pensiun sebagai
pegawai negeri. Meski pensiun, kegiatan Ayah sebenarnya tidak berkurang. Ayah
mempunyai beberapa bisnis bersama teman-temannya. Meski Ibu sudah meninggal dua
tahun yang lalu, tapi semangat Ayah untuk bekerja tidak pernah melemah.
Awalnya Ayah mendapatkan daging kecil menggantung
di gusi atasnya. Ayah menganggapnya sepele. Daging itu ditariknya dengan
harapan hanya meninggalkan perih. Nyatanya daging itu adalah salah satu akar
kanker mulutnya. Darah mengucur deras ketika daging kecil itu ditarik. Ayah
terkejut, lalu berteriak.
Teh Aisyah yang pertama datang sudah
mendapatkan Ayah dirawat di rumah sakit. Teh Aisyah menjadi wakil keluarga yang
menyetujui operasi kecil pemotongan gusi. Meski prediksi dokter menyatakan
kanker itu sudah menyebar, tapi operasi kecil itu membuat Ayah lebih baik.
Jadwal Ayah selanjutnya adalah kemoterapi berjadwal. Tapi Ayah menolaknya. Ayah
lebih memilih pengobatan herbal secara tradisional. Karena itu dokter
mengatakan kepada Teh Aisyah, “Bila tanpa kemoterapi, usia Bapak diperkirakan
hanya bisa bertahan sekitar dua bulan.”
Saya dan kakak-kakak pulang pada hari
minggu sore. Selama kami di Cinenggang, Ayah tidak mengatakan apapun kepada
anak-anaknya. Setiap ditanya hanya memandang sebagai jawabannya. Setiap diajak
bicara tidak pernah merespon apapun.
Meski begitu, hampir setiap hari Ayah keluar
rumah. Dia duduk berlama-lama di hadapan taman kecil. Ayah hanya merubah posisi
duduknya bila Mang Asip datang membawa makanan dan obat herbalnya. Ya,
untungnya ada Mang Asip dan Bik Konah, suami istri yang sejak saya kecil sudah
tinggal di rumah Cinenggang itu, mengurus rumah, taman kecil, kebun dan kolam.
Teh Aisyah pernah bertanya kepada Mang
Asip, apakah Ayah suka menceritakan sesuatu? Tapi Mang Asip menggeleng.
**
Teh Aisyah dan Kang Soleh sengaja datang
ke rumah kontrakan saya sore hari jum’at. Mereka meminta saya menemani
hari-hari Ayah. “Karena Ayah hanya menyebut namamu, Su. Hanya menyebut namamu,”
kata Teh Aisyah.
“Teteh ini bagaimana. Kan semuanya juga
tahu, Ayah itu sudah lama tidak suka dengan saya.” Saya mengelak.
Kemudian Aa Lukman menelepon. “Kamu yang
harus menemani hari-hari Ayah. Kamu banyak dosa kepada Ayah!” katanya kasar. “Jangan
pikirkan pekerjaanmu. Gajimu akan Aa ganti!”
Saya tidak suka dengan kalimat Aa
Lukman. Dia memang yang paling kaya diantara anak-anak Ayah. Selain kerja di Perhutani,
kabarnya dia juga punya bisnis lainnya. Tapi tidak semestinya dia mengatakan
itu kepada saya. Pekerjaan saya mungkin dianggapnya yang paling tidak mapan. Saya
ini marketing di sebuah perusahaan percetakan. Sementara kakak-kakak saya
semuanya pegawai negeri sipil. Kebijakan pemerintah sejak lima belas tahun lalu
ketika SBY berkuasa berpihak kepada pegawai negeri. Gaji mereka terus dinaikkan
dengan harapan budaya korupsi menjadi minimal. Sementara kemapanan swasta terus
menurun digerus inflasi.
Saya akan balik marah bila Teh Aisyah
tidak memeluk saya. “Jangan dengarkan dia,” kata Teh Aisyah dengan mata
berkaca-kaca. “Kamu dipilih bukan karena pekerjaanmu dan hanya kamu yang belum
menikah,” katanya. “Tapi karena Ayah hanya menyebut namamu, Su. Hanya menyebut
namamu.”
**
Saya anak bungsu Ayah yang berbeda usia
cukup jauh dengan kakak-kakak lainnya. Saya baru empat tahun lulus kuliah dari
salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Usia saya dua puluh tujuh tahun. Sementara
Teh Zenab, kakak terdekat saya, sudah tiga puluh tujuh tahun.
Perselisihan saya dengan Ayah, kalau itu
harus dibilang perselisihan, bermula ketika saya akan kuliah. Saya memilih
jurusan bahasa, sementara Ayah memaksa saya masuk jurusan ekonomi atau kehutanan.
“Selesai kuliah ekonomi atau kehutanan itu lebih menjamin masa depanmu!” kata
Ayah. “Mumpung Ayah belum pensiun, Ayah bisa membantumu jadi pegawai negeri. Lulus
kehutanan, kakakmu bisa membantumu!” Tapi saya memilih jurusan bahasa sesuai
minat saya.
Perselisihan kedua terjadi ketika saya
lulus kuliah. Ayah meminta saya jadi ahli matematika. “Jalur belakang memang
harganya seratus juta rupiah. Tapi uang sejumlah itu jadi kecil bila melihat gaji
dan jaminan jadi pegawai negeri saat ini,” kata Ayah. “Ayah bisa mengeluarkan
uang sejumlah itu dan mencari jalur belakangnya. Tapi ini tidak gratis!”
Saya tidak menanggapi apa yang dikatakan
Ayah. Saat itu saya bersiap ikut tes CPNS. Tapi saya lebih memilih bekerja di
sebuah percetakan kecil. Ayah marah dan menganggap saya bodoh, tidak tahu perubahan
jaman.
Saat Ibu meninggal dua tahun yang lalu,
saya merasa hanya akan pulang ke Cinenggang setahun sekali saat Hari Raya Idul
Fitri tiba.
**
Saya mengikuti keinginan Teh Aisyah dan
kakak-kakak lainnya untuk menemani Ayah bukan karena merasa bekerja paling
tidak mapan. Tapi karena ada semacam penasaran, katanya Ayah hanya menyebut
nama saya. Hanya menyebut nama saya.
Hampir setiap pagi menjelang pukul tujuh
Ayah keluar rumah. Ayah duduk di kursi yang menghadap taman. Seharian dia
memandangi taman. Siapapun tamu yang datang menengoknya, tidak pernah ada yang
sanggup membuatnya bicara walau sepatah kata.
Ketika saya datang Ayah hanya melirik
dan sedikit tersenyum. Saat siang Mang Asip datang membawa makanan dan obat
herbal, Ayah belum mengatakan apapun. Senja sebelum masuk ke dalam rumah, Ayah
baru melirik kepada saya. “Kamu yang benar, Su. Ayah yang salah,” katanya
seperti berbisik, mengulang apa yang dulu pernah dikatakannya.
“Mengenai apa, Ayah?” tanya saya cepat.
“Semakin mendekati akhir usia, harta itu
semakin tidak berguna. Kamu pasti bangga, Su. Sementara Ayah semakin menyesal.
Tapi Ayah bangga kepadamu.”
“Maksud Ayah?”
Tapi Ayah tidak lagi mengatakan apapun.
Sampai seminggu saya menanti Ayah bicara. Tapi hanya tatapan dan sedikit senyum
yang membuat saya yakin, Ayah memerlukan kehadiran saya di sampingnya.
Menjelang senja di hari kedelapan, Ayah
melirik saya. “Ulat itu begitu rakus makan hanya untuk mati,” katanya seperti
berbisik. Saya tidak siap memahami apa yang dikatakan Ayah. Tapi begitu saya
ikuti apa yang dilihat Ayah, di sebuah pohon talas hias ada kepompong
menggantung. Hari-hari lalu mungkin kepompong itu adalah seekor ulat.
“Besok ulat itu mungkin akan menjalani
hidup baru sebagai kupu-kupu,” bisik Ayah. “Ayah ingin bermetamorfosis seperti
ulat itu. Hanya kupu-kupu yang bisa melihat indahnya taman.”
Saya ini sarjana bahasa, belajar sastra
dari masa lampau sampai yang terkini, tapi saya tidak punya kata-kata
menanggapi pernyataan Ayah.
**
Suatu pagi Ayah mengajak saya pergi
untuk membeli bibit pohon mangga. Bibit pohon mangga itu saya tanam di halaman
rumah. Ayah memandangi saya yang mencangkul dan menimbun pohon dengan tatapan
yang baru kali itu saya lihat.
“Ayah ingin bermetamorfosis menjadi
sebatang pohon, Su,” katanya seperti berbisik. “Pohon itu seperti tidak hidup,
tapi ternyata dia tumbuh menjadi sangat kuat, berkali-kali lipat lebih kuat
dari kita, dari makhluk terkuat sekalipun. Peliharalah pohon mangga itu. Ayah
ingin bermetamorfosis menjadi sebatang pohon.”
Imajinasi saya belum sanggup menangkap
apa yang ada di pikiran Ayah. Saya hanya merasa, Ayah sedang belajar lagi
melihat, belajar lagi mendengar, dan belajar lagi merasa. Tapi saat perkiraan
saya itu ingin dikatakan, Ayah sudah tidak kuat. Ayah pingsan. Dan saat di
jalan menuju rumah sakit, di pangkuan saya, Ayah meninggal.
Kakak-kakak kemudian berdatangan. Hari
kedua setelah penguburan Ayah, kakak-kakak saya berniat pulang. “Sebaiknya kamu
sekarang ikut Aa ke Kalimantan,” kata Aa Lukman. “Aa mau buka usaha percetakan
di sana. Kamu yang harus menjalankannya. Berapapun modal yang kamu minta, Aa
akan mengusahakannya.”
Tapi saya lebih memilih memelihara pohon
mangga yang tingginya baru selutut. **
Cilembu, 16 Maret 2016
0 Response to "Cerpen Jawa Pos: SUNYI JUGA DAN BAHKAN SUNYI"
Posting Komentar