LEGENDA PENAKLUK HARIMAU
Cerpen ini pernah dimuat Pikiran Rakyat, lupa tanggalnya
Permukaan telaga yang tenang itu pelan-pelan berkabut, semakin
menebal, keemasan disinari cahaya rembulan. Dan dari kedalaman ketebalan kabut
terdengar suara yang semakin jelas. Pelan-pelan kabut tebal itu tersingkap.
Dari kejauhan muncullah seseorang sedang menunggang kuda. Oh, bukan kuda
binatang tunggangan itu. Tapi seekor harimau. Seekor harimau lodaya yang hampir
sebesar kuda. Suara langkahnya menggema dipantulkan pepohonan.
Waja menarik napas panjang. Matanya tidak berkedip
seolah takut kehilangan pemandangan menakjubkan itu. Anehnya, tidak terlintas
sedikit pun rasa takut di hatinya. Rasa takut seperti menghadapi binatang buas
hari-hari biasanya.
Semakin dekat harimau itu melangkah semakin perlahan.
Badannya yang tegap, matanya yang tajam, bulunya yang loreng, begitu gagah.
Permukaan air dipijaknya seolah di jalan tanah. Di belakangnya, puluhan srigala
berbaris rapi. Sekira satu meter lagi dari rumpun teratai, harimau itu
berhenti. Penunggang yang memakai baju putih berkibar-kibar itu turun dari
tunggangannya.
Penunggang harimau itu berjalan seperti melayang. Baju
panjangnya menyapu permukaan air, tapi sepertinya tidak basah. Oh, Waja baru
memperhatikan, wajah orang itu begitu bercahaya, seperti rembulan. Senyumnya
selalu tersungging seperti teratai yang mekar dalam sunyi. Langkahnya begitu
anggun.
Dan di hadapan bunga teratai, penunggang harimau
berjubah itu berjongkok. Diciumnya bunga teratai begitu mendalam, perlahan, sambil
memejamkan mata. Setelah berdiri, lelaki itu menghampiri Waja.
“Jangan takut dengan binatang buas, karena sebuas
apapun binatang, akan tunduk bila bisa mengendalikannya. Jangan takut dengan
kedalaman telaga dan dingin airnya, karena sedalam apapun rintangan akan bisa
dilalui oleh seorang penakluk. Lihat, berapa puluh srigala berbaris rapi,
menunggu perintahku.”
“Engkau memang seorang pendekar, pendekar berilmu
tinggi.”
Penunggang harimau berjubah itu tersenyum. Ah,
keindahan seperti apa lagi yang mekar di bibir sebersih itu?
“Aku hanya seorang penakluk. Tapi ingat, hanya seorang
penakluklah yang bisa menguasai dunia.”
“Engkau begitu indah, begitu menakjubkan, begitu
mempesona.”
“Keindahan apapun di dunia akan dimiliki oleh seorang
penakluk.”
“Kalau Engkau berkenan, saya ingin berguru kepadamu.”
Penunggang harimau berjubah itu tersenyum.
“Setiap orang punya Jalan Pribadinya masing-masing.
Ikutilah jalanmu, niscaya Engkau pun bisa menjadi penakluk. Asal, kau kalahkan
setiap kedalaman jurang rintangan, dan keganasan binatang buasmu.”
“Saya ingin belajar menundukkan binatang dan melalui
kedalaman jurang rintangan itu.”
“Belajar saja menikmati keindahan bunga teratai. Dalam
dingin malam, dalam sunyi telaga, dalam godaan ngantuk, ada keindahan tiada
terkira. Nikmatilah keindahan itu, niscaya apapun di sekitarmu akan membantu
menunjukkan Jalan Pribadimu, dan Engkau akan dituntun untuk menundukkan
rintangan dan binatang buasmu.”
“Dari tadi Engkau bilang: binatang buasmu! Apa aku
punya binatang buas?”
“Ya, setiap pribadi punya binatang buas
sendiri-sendiri.”
Penunggang harimau itu berbalik, melangkah menuju
tunggangannya. Kibasan baju panjangnya menyebarkan harum yang baru kali itu
Waja menghirupnya. Harimau itu pun melangkah perlahan setelah tuannya duduk di
punggungnya. Puluhan srigala para pengikutnya berbaris rapi. Pelan-pelan
rombongan itu menghilang ditelan kabut.
Sunyi kembali menyelimuti. Bunga teratai, sunyi telaga,
keemasan cahaya rembulan, semakin indah di hati Waja. Selembar daun kering
lepas dari tangkainya, meliuk-liuk di kegelapan udara, mendarat di permukaan
air tanpa meninggalkan bunyi, riaknya bergoyang diabadikan cahaya rembulan.
**
“Jadi, sudah berkali-kali bermimpi seperti itu?”
“Ya.”
Kepala kampung itu memandang Waja lekat-lekat. Matanya
menelusuri tiap lekuk wajah Waja, turun ke leher, badan, kakinya yang sedang
bersila. Entah tatapan menyelidik yang keberapa.
“Yakin bermimpi seperti itu?”
“Ya.”
Kepala kampung menyalami Waja berguncang-guncang.
Tangannya yang dua kali lebih besar dari tangan Waja memegang erat-erat.
Katanya, “Berarti Engkaulah orang pilihan itu, Nak. Engkaulah yang telah
ditunggu ratusan tahun oleh penduduk sini. Engkaulah yang berhak menyingkap
keluhuran legenda itu.” Orang-orang yang memenuhi rumah kepala kampung bertepuk
tangan. Mereka bergembira, tertawa, dan menyalami Waja satu per satu.
Senja itu matahari begitu indah di langit barat.
Sebelum perlahan tenggelam di balik gunung, cahaya kemerahan menyebar melukis
apapun yang ada di perkampungan itu. Rerumputan, pepohonan, aliran sungai yang
jernih, hamparan sawah seluas memandang, semua menyerap cahaya kemerahan.
Orang-orang pun berwajah kemerahan, berseri, selalu tersenyum mendalam setiap
berpapasan dengan Waja.
Di hadapan keluasan sawah sejauh mata memandang, Waja
menarik napas panjang seolah ingin menghirup seluruh keindahan yang ada di
hadapannya. Baru kali ini… baru kali ini dia melihat senja begitu mempesona.
Pesona yang rasanya tidak akan bisa diceritakan dengan kata-kata. Pesona yang
hanya bisa disimpan dalam kenangan.
“Sudah siap, Nak, kita berangkat?”
Waja berbalik dan melihat kepala kampung tersenyum.
“Saya sudah siap dari tadi. Tapi pemandangan di sini
begitu indahnya, saya ingin menikmatinya barang sejenak.”
“Di sini, pemandangan pagi dan senja selalu begitu
indah, Nak. Awal yang baik selalu diakhiri dengan yang baik pula.”
“Apakah itu cermin kehidupan orang-orang di sini?”
“Bukan. Itu cermin cita-cita kami. Makanya Engkau
begitu ditunggu, Nak, karena Engkaulah yang akan bisa menuntun ke akhir hidup
yang begitu indahnya.”
“Aku?”
“Ya, Engkaulah yang telah dipilih. Engkaulah yang telah
bermimpi untuk menyingkap rahasia itu.”
Senja itu Waja bersama kepala kampung dan dua orang
pilihan berangkat menuju ke dalam Gunung Ganggong. Orang-orang melepas
kepergian mereka tanpa berkata-kata. Mereka berdiri sepanjang bisa melihat ke
jalan setapak yang dilalui Waja.
Bulatan matahari sebesar parabola sudah tenggelam di
balik gunung. Cahaya kemerahannya menyebar di batas puncak, seolah di balik
kerapatan gunung itulah sumber cahaya berasal. Dan Waja melangkah menuju ke sana,
ke sumber cahaya itu.
**
Di pinggir telaga di tengah gunung dengan kerapatan
pepohonan tidak terbayangkan sebelumnya, Waja duduk bersila. Baru saja kepala
kampung dan dua orang pengantar itu pergi. Tanpa mengatakan apapun. Tanpa
memberi petunjuk apapun. Mereka hanya menyalami, lalu pergi.
Baru sedetik sejak langkah ketiga pengantarnya tidak
terdengar lagi, ketakutan menyergap hati Waja. Siapa yang tidak takut dengan
sunyi seperti ini? Pepohonan sebesar perut gajah, akar gantung menjuntai tidak
beraturan, sudah berapa ratus tahun usianya? Air telaga yang diam membisu,
sudah berapa ratus tahun menyimpan rahasia? Napas terasa berat. Makhluk seperti
apa yang bisa tinggal di tempat seperti ini? Apa yang akan dikerjakannya
setelah ratusan tahun terbiasa dengan sunyi dan gelap tiba-tiba melihat seorang
manusia? Hati Waja semakin bergetar. Matanya dipejamkan karena tidak kuat
melihat sekelilingnya. Bajunya dirapatkan karena takut kulitnya merasakan
sesuatu yang aneh.
Kenapa mesti takut dengan sesuatu yang aneh? Bukankah
perjalanan ini pun begitu anehnya? Waja ingat mimpi itu datang berkali-kali.
Awalnya dia menganggap mimpi biasa saja meski datangnya berkali-kali. Tapi
setelah itu pikiran dan perasaannya terpusat ke sana. Apa artinya mimpi
itu?
Belum lagi ada keterangan apapun tentang mimpi aneh
itu, suatu hari Waja bersiap melakukan perjalanan. Kakinya melangkah dan terus
melangkah. Entah berapa bukit berkabut didakinya. Entah berapa lembah berlumut
dituruninya. Dan akhirnya sampailah dia di perkampungan yang namanya saja dia
tidak tahu. Orang-orang mengelilinginya, memandangnya heran. Setelah puluhan
tahun Waja adalah orang asing pertama yang datang ke kampung itu.
Di kampung inilah sedikit tersibak rahasia mimpi aneh
itu. Karena di kampung inilah hidup legenda sang penakluk harimau. Mereka
percaya, penakluk harimau itu adalah leluhurnya. Konon, dia adalah kepala
kampung pertama. Konon, sejak dibukanya perkampungan itu selalu diganggu oleh
harimau dan rombongan srigala. Pertarungan abadi pun tidak terelakkan. Sekali waktu
ketika kepala kampung sedang bermeditasi di dalam hutan, harimau bersama
rombongan srigalanya itu menyerang perkampungan hingga seluruh penduduknya
tewas. Tentu saja kepala kampung menuntut balas. Dia mengejar harimau dan
rombongan srigala itu ke seluruh hutan. Seluruh kemampuan ilmu kedigjayaannya
dikerahkan. Tapi harimau dan rombongan srigala itu meski berkali-kali terbunuh,
mereka hidup kembali setelah jasad atau setetes darahnya menyentuh tanah.
Bertahun-tahun pertarungan itu terjadi. Karena musuhnya tidak juga bisa mati,
kepala kampung itu sampai pada kesimpulan, harimau dan rombongan srigala itu
bukan untuk dibunuh, tapi untuk ditaklukkan.
Itulah legenda sang penunggang harimau yang hadir dalam
mimpi Waja. Konon, setelah menaklukkan harimau dan rombongan srigala, kepala
kampung itu yang mengundang matahari semakin mendekat ke perkampungan itu
setiap terbit dan terbenam. Sekedar mengingatkan penduduk kampung bahwa
leluhurnya dulu hidup begitu gagah beraninya. Karena itulah pagi dan senja di
perkampungan itu terasa begitu menggetarkan dengan taburan cahaya kemerahannya.
Dan sekarang, dalam sunyi pedalaman Gunung Ganggong,
Waja diam membatu. Rahasia apa yang bisa ditangkap dalam sunyi sekental ini?
**
Waktu berjalan lambat. Sunyi merambat. Pepohonan diam.
Permukaan air membeku. Waja membatu. Berhari-hari dia duduk di tepi telaga,
menunggu penunggang harimau datang menjemputnya. Tapi yang terjadi
persahabatannya dengan sunyi. Dia mulai merasakan bagaimana mengesankannya air
telaga menyimpan rahasia, bagaimana mencekamnya pepohonan dan akar gantung
menyimpan usia.
Dan di batas sunyi, di puncak keheningan, ketika semua
suara tidak terdengar lagi suaranya, Waja mendengar ada banyak suara. Suara
yang semakin jelas terdengar itu berkali-kali melintas ke pendengarannya.
“Masuklah… masuklah ke telingamu,” katanya.[1]
Waja tersentak. Gila! Untuk apa masuk ke dalam telinga
sendiri? Tapi ketika sunyi membawa kembali ke batasnya, ke puncak keheningan,
suara itu semakin jelas. “Masuklah… masuklah ke telingamu!”
Di batas hening itulah Waja melihat kabut tebal lambat
laun tersingkap. Cahaya yang semakin terang muncul, membentuk sesosok
penunggang dengan binatang tunggangannya, semakin jelas. Itulah sang penakluk
harimau itu. Waja menggosok matanya berkali-kali. Mimpikah ini? Belum juga
merasa sadar, penunggang harimau yang bercahaya itu sudah ada di depannya. Dia
mengulurkan tangan. “Mari, ikut denganku,” katanya.
“Ke mana?”
“Ke dalam telingamu.”
“Ke telingaku? Untuk apa?”
“Mendengarkan dirimu sendiri. Nanti Engkau akan tahu,
di dalam dirimu ada harimaumu, ada rombongan srigalamu. Taklukkanlah! Setelah
itu Engkau akan mendapatkan pemandangan yang begitu indahnya, segala suara yang
begitu merdunya.”
Waja tertegun.
“Mari, kita masuk ke telingamu….”
Di batas sunyi, di puncak hening, di dalam diri,
keindahan itu memang ada. Keindahan itu nyata. Waja mengembara ingin mereguk
keindahan yang lebih lagi. Sampai lupa waktu. Sampai lupa jalan pulang. Karena
dia tidak ingin diatur waktu. Tidak ingin pulang. Waja mengikuti sang
penunggang harimau, berabad-abad lamanya, sampai tiba waktunya untuk bertarung
dengan srigalanya sendiri.
**
Seminggu dalam waktu normal, ketua kampung bersama dua
orang penduduk datang lagi ke tepi telaga di tengah Gunung Ganggong. Ketika
didapatinya tubuh Waja terlentang di pinggir telaga, mereka segera
membungkusnya dengan kain yang sudah dipersiapkan, lalu membawanya pulang.
“Berapa tahun lagi kita menunggu orang yang mendapat
isyarat dan mampu membawa penakluk harimau itu ke dunia kita? Selama ini selalu
saja orang yang mendapat isyarat itu terbawa ke dunia legenda,” kata kepala
kampung, entah kepada siapa, karena sejak itu tidak ada lagi yang bicara.
***
Bandung, 10 September 2007
Pikiran Rakyat, lupa lagi tanggalnya.
[1] Kalimat “Masuklah ke telingaku,” diingatkan oleh puisi Telinga dari
Sapardi Djoko Damono (buku Perahu Kertas). Sekali waktu saya pernah bilang ke
Pak Sapardi, saya ingin membuat cerpen tentang puisi itu. Tapi baru kali ini
kesampaian, itu pun hanya sedikit saja menyentuhnya.
asik..
BalasHapusHarimou dan serigala itu adalah .kesombongan .keangkuhan .keserakahan..iyah cerita itu memang lah nyata..
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya. Mari, kita belajar menundukkan harimau dan serigala masing-masing, karena mereka tidak bisa dienyahkan dan hanya bisa ditundukkan.
BalasHapus