ANGIN, MERANTAU, BULAN DAN BUMI
ANGIN
“sudah
puaskah engkau mengembara?”
tanyamu
saat aku singgah
senja
itu matahari begitu indah
“sudah
kucumbui rindu batu kepada waktu
sudah
kuresapi tangis langit dalam gerimis
sudah
kudaki puncak hening di hutan malam
tapi
selalu ada yang membuatku ngilu,”
kataku
kepada saudara kembarku
“apakah
itu?”
“tersesat
di rimba hatimu.”
BULAN
DAN BUMI
bulan
di langit berseri
bumi
di kaki menyepi
aku
di tengah menggigil
“bukan
dingin yang membuat hatimu ngilu,”
bisik
angin yang tahu ada sembilu
menorehkan
rindu di kedalaman kalbu
aku
lalu semedi
dan
berucap lirih:
“aku
hanya belum mengerti
mengapa
selalu merasa sendiri
di
tengah keramaian bulan dan bumi.”
MERANTAU
karena
merantau adalah perjalanan batin
aku
sujud di kaki ibu serupa si malin
“Bunda,
bila aku tak kunjung pulang
jangan
kutuk aku menjadi batu
karena
aku menemukan jalan baru
ke
pusat kalbumu.”
rembulan
tersenyum
saat gerimis menangistiga judul puisi ini terbit di Pikiran Rakyat, 14 April 2019
0 Response to "ANGIN, MERANTAU, BULAN DAN BUMI"
Posting Komentar