Cerpen Kedaulatan Rakyat: KISAH CINTA BIASA
Kedaulatan Rakyat, 8 Mei 2016
Pagi. Kopi panas. Roti
bakar. Koran pagi. Betapa enaknya. Saat orang-orang pergi bekerja. Terburu-buru
mengejar
waktu. Saya bisa berleha-leha sambil membaca koran.
“Kebakaran terjadi di rumah sakit, kemarin waktu awan hitam
menghias langit. Semua pasien selamat, kecuali nasib seorang mayat, melarikan diri dengan melompat, tepat pukul empat.”
Saya tertawa.
Wartawan ada-ada saja. Masa mayat bisa melompat? Saya
melipat koran, melemparkannya ke atas meja.
Di depan rumah ada yang mengendap setengah badan. Siapa? Mau apa? Saya perhatikan pakaian dan
badannya, cocok dengan tanda yang di koran. “Si mayat yang kabur memakai celana mode
lama, kaos polos, kepala diikat, serba putih,” tulis koran di halaman depan.
“Hai...! Kamu mayat yang melompat
dari kamar mayat tepat pukul empat, ya?” teriak
saya sambil berdiri.
Sosok yang
mengendap-endap itu terkejut. Dia melarikan diri. Saya mengejarnya. Di sebuah
lapangan saya menubruk mayat yang melarikan diri itu. Kami berguling-guling.
Waktu saya berdiri, melihat kepadanya yang juga mau berdiri, saya terkejut.
Ternyata dia... badan saya yang kabur waktu saya tidur.
“Eh, ternyata...
kamu?!” kata saya tidak jelas antara bertanya dan berseru.
Dia memandang saya
tajam. Lalu meludah. Saya terkejut.
“Kenapa sih kamu?
Kamu marah sama saya?”
Dia memandang sinis. Katanya dengan
kata-kata kasar: “Ya, aku marah, goblok! Pantas kalau aku marah! Mau ngamuk!
Atau membunuhmu sekalian aku pantas!”
Saya tentu tidak
terima dicaci-maki seperti itu.
“Kamu yang
sebenarnya brengsek! Kamu kabur waktu saya tidur! Itu kelakuan tidak terpuji,
goblok! Tidak ada peraturannya, ketentuannya, yang mendukung perilaku seperti
itu! Biasanya harus sakit dulu, atau kecelakaan, atau sekalian gagal jantung,
biar cepat mati! Baru kamu merdeka! Boleh pergi ke mana pun! Tidak waktu saya
tidur, sedang mimpi yang indah-indah, kamu kabur! Menantang takdir itu namanya!
Dosa kelakuanmu itu!” teriak saya.
“Tidak masalah,
dosa juga sudah biasa! Dosa oleh kelakuanmu! Lihat nih sekujur tubuh ini!” Dia
membuka bajunya yang serba putih. Saya terkejut. Seluruh badannya hitam legam, seperti aspal.
Hanya rambut dan giginya yang putih. “Lihat nih kening ini, hitam begini,
karena dipakai mikir yang tidak-tidak! Kaki ini hitam begini karena melangkah
ke tempat sesat! Tangan ini hitam begini karena dipakai memegang yang tidak
semestinya dipegang! Mata ini hitam begini karena dipakai melihat yang tidak
semestinya dilihat!”
Nafas saya mulai
tersengal mendengar kata-katanya yang terus memojokkan.
Otak saya sudah terlalu mumet untuk
berpikir. Saya tubruk saja dia. Kami bergulingan. Selanjutnya saling memukul
saling menendang saling membanting saling menyiku saling memiting. Keringat
membanjir. Bercampur darah. Luka-luka terasa perih. Di mana-mana. Tapi yang
paling perih adanya di dalam. Di dalam hati.
**
Sejak itu saya tidak
pernah saling menyapa dengannya. Bertemu di jalan pura-pura tidak melihat. Dia
lalu pergi, saya pun pergi. Ingin cepat-cepat jauh darinya. Selanjutnya saya
pergi ke mana saja, ke tempat-tempat jauh. Hati ini, hati ini semakin terasa
sunyi. Semakin terasa sakit. Sakit entah oleh apa. Inginnya menangis. Menangis
entah oleh apa.
Mengobati hati yang
sakit inginnya menyepi di tempat-tempat sunyi. Hutan-hutan lebat, puncak-puncak
tinggi, gua-gua dalam. Aku semedi di pinggir kali, merenung di gunung-gunung.
Selagi menyepi, merasakan air embun merembes di puncak kepala, terbayang lagi
dia. Sesal itu muncul, semakin membesar, semakin membesar. Kenapa mesti
bersilat lidah, saling menyalahkan, berkelahi saling menyakiti. Kenapa mesti
sampai separah itu? Apa yang diucapkannya, sebenarnya betul semua. Hanya bahasa
kasarnya mungkin yang tidak saya setujui. Tapi bagaimana menyampaikan
ketidaksetujuan yang sudah melumut diperam kelembaban hati bertahun-tahun?
Setelah pengakuan
seperti itu semakin kuat, saya berjalan perlahan. Berjalan dengan perasaan yang
kosong adanya. Sampai di tempat kami berkelahi perasaan ini semakin tidak
menentu. Lama saya termenung. Semakin ingat bagaimana tinju ini menghantam
rahangnya, tinjunya menghunjam hidung saya; hati ini semakin sakit. Kenapa
mesti sampai terjadi?
Lamunan itu buyar
karena di seberang sana, di bawah pohon kersen, ada yang sedang berdiri, juga
menatap pelataran tempat perkelahian itu. Berkali-kali kami saling memandang.
Hati ini tidak kuat ingin memeluknya. Tapi hujan mendahului langkah kaki ini.
Hujan yang besar dengan suara yang riuh. Tidak berpikir lagi, saya berlari
menuju tempat berdirinya. Dia pun berlari menuju tempat berdiri saya. Saya dan
dia saling merangkul. Erat sekali.
“Sudah waktunya
kita ini saling menyelamatkan,” katanya di antara gemuruh hujan. Saya
mengangguk. “Bagaimanapun kita ini saling mencintai.” Saya mengangguk lagi.
Hujan semakin besar. Bergemuruh.
“Sudah...!
Sudah...! Jangan manja!” kata sosok yang lewat di samping kami. “Sebentar lagi
waktunya berpisah bagi kalian!”
Saya dan dia saling
memandang.
“Siapa?” tanya saya.
“Mungkin Izroil,”
jawab dia. “Sang pencabut nyawa itu.”
Saya menangis. Hujan
masih deras. Suaranya bergemuruh. ***
0 Response to "Cerpen Kedaulatan Rakyat: KISAH CINTA BIASA"
Posting Komentar