LUKISAN
Tribun Jabar, 8 Februari 2015
Sepasang kekasih itu berpisah saat senja begitu indah. Mereka sedang menyusuri pemandangan alam pedesaan dengan berboncengan motor. Melihat warna jingga matahari menjadi warna latar pesawahan dan kelak-kelok sungai. Di sebuah pasir mereka berhenti. Gadis berambut panjang bergaya di ujung tanah, siap untuk difoto. Di bawah jurang menganga sangat dalam. Tapi di seberang tanah itu pemandangan mahaindah.
“Ayo ambil gambarnya, buat kenang-kenangan,” kata sang
gadis.
Lelaki itu membetulkan lensa dan diapragma kameranya.
Belum juga kamera diarahkan, sang gadis terkejut karena di dekat kakinya
ternyata ada ular kecil. Dia menjerit dan meloncat ke belakang. Saat itulah dia
terantuk batu dan melayang ke dalam jurang.
Peristiwa itu yang bertahun-tahun tidak bisa diterima
lelaki itu. Dia mengutuk dirinya sendiri, mengapa membiarkan peristiwa itu
terjadi. Dia tidak sadar, sebagai manusia tidak ada yang bisa diketahui apa
yang akan terjadi semenit, bahkan sedetik, kemudian. Karena masa depan adalah
rahasia.
Setiap hari lelaki itu menatap langit. Gumpalan awan
selalu bergerak terbawa angin. Di gumpalan awan itu dia selalu melihat
kekasihnya. Kekasihnya yang sedang tersenyum. Kadang seperti yang ingin
memeluknya karena kangen. Kadang melambai-lambaikan tangan dengan wajah sedih
dan airmata mengalir.
Lelaki itu tidak pernah kuat memandang gumpalan awan itu
lama-lama. Karena perasaan dia sendiri akan berantakan. Kadang ikut bersedih,
menangis yang ditahan, kadang ikut tersenyum. Bagaimana rasa rindu ini bisa dituntaskan bila tanpa ada
tubuh untuk melampiaskannya? Karenanya kalau sudah diharu-biru seperti itu dia
tidak pernah kuat lama memandang gumpalan awan.
Orangtuanya, saudara-saudaranya, sahabat-sahabatnya, dan kenalan lainnya,
sudah sering mengajaknya pergi atau melakukan kegiatan apa saja agar lelaki itu
melupakan peristiwa sedih itu. Tapi lelaki itu tidak juga bisa melupakan
kekasihnya. Setiap hari dia kangen untuk menatap gumpalan awan, sendirian.
**
Suatu hari lelaki itu membeli kanvas besar dengan ukuran
pigura 3 X 2 meter. Sejak kecil dia sudah diajari melukis oleh bapaknya yang
memang seorang pelukis. Kanvas itu disimpannya di tengah rumah. Rumah kecil
tipe 22 miliknya sendiri di perumahan pinggir kota. Dia tinggal sendiri di
rumah itu sejak bertahun-tahun yang lalu.
Mulailah dia melukis. Sejak bangun tidur sampai tidur
kembali, yang dia kerjakan hanya melukis. Kadang ditatapnya lukisannya lama
sekali. Kemudian kuasnya bekerja lagi. Setiap sapuan kuasnya selalu dibarengi
dengan perasaan. Seolah yang menyapukan kuas itu bukan tangannya, tapi hatinya.
Sehari dua hari, seminggu dua minggu, sebulan dua bulan,
sampai entah berapa lama, begitu terus yang dia kerjakan. Selama itu dia tidak
pernah melihat langit, gumpalan awan, matahari, rembulan, bintang-bintang, dan
pemandangan yang biasa dilihatnya. Tapi hati lelaki itu senang. Dia mengerjakan
sesuatu yang disukainya, dicintainya.
Suatu hari lukisan itu selesai. Lelaki itu sangat
senang. Dia menatapnya dari berbagai sudut. Akhirnya dia memandang lukisan itu
tepat di depan wajah kekasihnya. Sejak bangun sampai tidur kembali yang
dikerjakannya hanya memandang lukisan itu. Makan-minum, mandi, pergi, hanyalah
selingan. Kadang senyumnya mengembang, kadang merintih, suara tangis dan
tertawanya kadang terdengar ke rumah tetangga. Tapi siapapun sudah
memakluminya.
Entah kapan mulainya, lelaki itu merasakan nikmat yang
luar biasa ketika dia bersila di hadapan lukisan kekasihnya, memejamkan mata,
dan menghirup perlahan selama paru-parunya bisa menampung. Dengan begitu, dia
seperti bisa menghirup apa yang ada di dalam lukisan itu, ruh dari lukisan itu.
Dan akhirnya lelaki itu mengeluarkan napasnya perlahan
dengan mata terpejam, seolah apa yang ada di dalam dirinya ingin masuk ke dalam
lukisan kekasihnya. Setiap hari begitu saja kerja lelaki itu. Menghirupnya
semakin sebentar. Dan melepaskan napasnya semakin lama dan semakin bertenaga.
Hingga wajahnya sering menjadi kemerahan karena dialiri banyak darah.
Suatu hari, wajah yang sudah merah itu berubah menjadi pias,
semakin pias, semakin pias, kemudian memutih, semakin memutih, kemudian bening,
semakin bening, semakin bening. Dan akhirnya lelaki itu menghilang. Tubuhnya
seperti menjadi angin yang tertiup ke dalam lukisan kekasihnya. Peninggalannya
hanya setumpuk pakaian yang teronggok di depan lukisan.
**
Sebulan kemudian tetangganya mendobrak rumahnya. Karena
katanya mereka menjadi curiga, kenapa di rumah lelaki itu tidak terdengar lagi
orang tertawa atau menangis atau sedang mengerjakan sesuatu. Nyatanya, di rumah
itu hanya ada sebuah lukisan besar dan seonggok pakaian di depannya.
Lukisan itu kemudian dibawa ke rumah tetangga itu. Dia
sangat menyukai lukisan itu. Karenanya ketika keluarga lelaki itu datang, dia
memohon untuk memiliki lukisan itu.
“Apapun yang ada di rumah saya boleh diambil, Pak, Bu,
asal saya memiliki lukisan ini. Saya sangat menyukainya. Perasaan saya menjadi
terharu setiap memandangnya,” kata si tetangga itu.
“Kalau memang menyukainya, ambil saja, tidak usah
dibayar oleh apapun,” kata ayah lelaki itu. Setelah membereskan apa yang ada di
dalam rumah, keluarga pelukis itu pun pergi.
Di dalam lukisan itu ada gambar seorang gadis. Seorang
gadis yang sedang ditatap kekasihnya. Anehnya, setiap waktu lelaki yang
memandang kekasihnya itu berpindah-pindah tempat. Kadang gambar lelaki yang
menatap kekasihnya itu ada di sebelah kanan lukisan. Lain waktu sudah ada di
sebelah kiri. Lain waktu ada di sebelah atas lukisan. Kadang juga ada di bawah
lukisan. Seandainya orang-orang tahu, gambar lelaki yang menatap kekasihnya
yang suka berpindah-pindah tempat itu, adalah lelaki yang kehilangan kekasihnya
yang melukis lukisan itu yang kemudian menghilang karena ruh dirinya sudah
ditiupkan ke dalam lukisan itu....
Bila diperhatikan secara seksama, minimal setahun
sekali, gambar lelaki yang menatap kekasihnya yang suka berpindah-pindah tempat
itu, semakin menua. Entah tahun ke berapa, warna rambutnya pun berubah dari
hitam menjadi ada goresan putihnya yang semakin banyak. Dan entah tahun ke
berapa gambar lelaki yang memandang kekasihnya itu menghilang dari lukisan.
Menghilang untuk selamanya. Mungkin meninggal.
Sementara yang memiliki lukisan itu entah sudah berpindah
berapa puluh orang. Sekali waktu seorang kenalan datang ke rumah tetangga
lelaki itu yang memiliki lukisan. Dia menyukai lukisan itu. Dia tidak mau
pulang. Dia rela mengambil semua tabungannya di atm asal bisa membawa pulang
lukisan itu. Tabungannya akhirnya diserahkan kepada panti asuhan dan dia
membawa lukisan itu. Kenapa demikian, karena tetangga pemilik lukisan itu juga
tidak mau menjual lukisannya.
Begitulah terus terjadi, bertahun-tahun. Siapa yang
menyukai lukisan itu tidak akan mau pulang sebelum diijinkan membawa
lukisannya.
Dan saya… saya adalah seorang kolektor dan penikmat
lukisan. Modal saya lumayan banyak karena saya seorang pengusaha nasional. Tapi
sudah bertahun-tahun saya mengejarnya, lukisan itu belum juga saya dapatkan.
Barangkali persoalannya sepele, karena di hati saya ada setitik keinginan untuk
melelang lukisan itu di balai lelang Christie. ***
Pamulihan, 2 Mei 2014
Dongeng buat Rudi St Darma.
BAGUS CERPENYA
BalasHapusTerima kasih....
Hapus