KIRIM-KIRIMAN MAKANAN
Solo Pos, 11 Juni 2017
Di kampung saya,
setiap memasuki bulan puasa masih ada kebiasaan kirim-kiriman makanan. Tidak
saja antarsaudara atau tetangga sebelah rumah. Kirim-kiriman makanan itu bisa
kepada kenalan di kampung lain.
Kebiasaan itu
biasanya dilakukan di awal bulan puasa atau di akhir saat menjelang Idul Fitri.
Emak pernah mengalami kejadian lucu yang berhubungan dengan kirim-kiriman
makanan itu. Suatu pagi emak mengirim kue bolu bikinannya kepada Bik Irah. Besoknya kue bolu itu datang lagi ke rumah,
kiriman dari Wak
Mumun. Ceritanya, emak mengirim kue bolu kepada Bik Irah, oleh Bik Irah dikirimkan lagi kepada Wak Esih. Wak Esih mengirimkan kue bolu itu kepada Bu Ening. Bu
Ening mengirimkannya kepada Wak Mumun. Wak Mumun tidak tahu kue bolu itu buatan emak, jadi
mengirimkannya kepada emak.
“Tidak apa
peristiwa lucu seperti itu terjadi, asal kita ikhlas dalam melakukannya, ikhlas
saat mengirimkan makanan,” kata emak.
**
Suatu pagi Nenek
Amih sedang mengupas ubi. Di kampung saya, ubi harganya murah. Hampir setiap
kebun ditanami ubi. Kalau kita ingin makan ubi, tinggal minta saja, pasti
banyak yang memberi. Setiap panen ubi, yang punya kebun suka memisahkan untuk
diberikan kepada yang mau.
Saya membantu
mengupas ubi ketika tahu ubi yang akan dikupas Nenek Amih begitu banyak.
“Buat apa, Nek,
ubi sebanyak ini?” tanya saya.
“Mau bikin
kolak. Kasih tahu anak-anak, bantu Nenek untuk memberikan kolak ini nanti, ya?”
Nenek Amih malah balik bertanya.
“Memberikan
kepada siapa?”
“Kalau cukup
buat orang sekampung. Kalau tidak cukup, buat tetangga yang dekat saja dulu.”
Nenek Amih bicara sambil memotong-motong ubi yang sudah dikupas. “Nanti
anak-anak buka bersama di sini. Boleh bawa nasi dari rumah masing-masing. Habis
makan kolak, kita makan nasi bersama-sama di bale-bale.”
“Asyik…,” kata
saya sambil beranjak pergi.
“Mau kemana?”
“Memberi tahu
teman-teman, Nek.”
**
Mulang
yang paling menarik adalah dari Bu Isti, yaitu opor ayam serantang besar. Bu
Isti orang kaya di kampung saya. Nenek Amih menyimpan opor ayam itu. “Buat
berbuka bersama nanti,” katanya.
Bik Iroh, tetangga lainnya, memanggil saya. Dia bertanya, “Dipulang apa oleh Bu Isti?”
“Opor ayam.”
“Opor ayam?
Sebanyak itu?”
“Iya.”
Sore itu Bik Iroh menangkap ayam. Saya membantu memegang ayam saat
menyembelihnya.
“Wah, makan
besar, Bik,”
kata saya, siapa tahu kebagian ati ampelanya.
“Hus, ini buat ngirim ke Bu Isti. Nanti tolong kirimkan
goreng ayamnya sepulang tarawih, ya?” kata Bik Iroh sambil mencabuti bulu-bulu ayam. “Kalau Nenek
Amih saja ngirim kolak ubi dipulang opor ayam. Bik Iroh kan ngirim
ayam goreng, tentu dipulang makanan
enak dari kota.”
“Siap, Bik!”
Sepulang tarawih
saya mengantarkan kiriman Bik Iroh ke Bu Isti. Wadahnya rantang besar. Pulangnya
saya disuruh menunggu. Rantang besar itu diisi lagi, entah oleh apa. Sampai di
rumah Bik Iroh, saya
langsung pulang. Bik
Iroh tersenyum ketika tahu rantangnya berat.
Tapi besoknya Bik Iroh cemberut.
“Dikirim kolak
ubi saja mulangnya opor ayam. Masa
dikirim ayam goreng mulangnya dengan
kolak ubi,” kata Bik
Iroh. Saya tertawa. ***
kisah humor klasik SI KABAYAN, tidak hanya mengundang tawa, tapi juga ada sesuatu yang menyentuh "perenungan". KLIK untuk mendapatkannya.
0 Response to "KIRIM-KIRIMAN MAKANAN"
Posting Komentar