SANGKURIANG


Tribun Jabar, 8 Juni 2014

Karena Ayah menjadi anjing, maka saya membunuhnya.
Saya tidak suka dengan anjing. Karena pengalaman saya yang berkenaan dengan anjing selalu buruk. Menjelang malam selalu ada anjing melolong. “Masuk ke rumah, anjing melolong tandanya ada setan,” kata Ibu. Tentu saja saya takut. Setan adalah makhluk yang sejak saya lahir sudah dikenalkan menjadi musuh, menakutkan dan selalu berpikir jahat. Menurut pikiran saya, anjing melolong karena kenal dengan setan. Maka anjing adalah temannya setan.
Usia lima tahun saya mulai memperhatikan bagaimana anjing berebut makanan dengan sesamanya. Gigi, taring, ancaman, selalu diumbar untuk menguasai makanan. Tidak masalah anjing lain tidak kebagian, atau luka karena gigitannya. Moncongnya yang selalu berlendir saya pikir adalah cara anjing menyebarkan penyakit.
Karena itulah ketika Ayah menjadi anjing saya membunuhnya. Bohong kalau gosip bilang bahwa keputusan yang saya ambil untuk membunuh Ayah muncul begitu saja ketika kami berburu. Dendam terhadap Ayah sudah lama tumbuh dan berkembang. Mungkin dendam itu tumbuh ketika semakin banyak korban Ayah yang saya ketahui. Dan keputusan saya mengarahkan anak panah tepat di tengah kening Ayah adalah keputusan yang sudah sangat matang saya hitung.
Ibu adalah sosok yang sangat saya pertimbangkan. Bagaimanapun Ibu akan marah. Nyatanya Ibu memang meraung menyesali perbuatan saya. Ibu memaki dengan kalimat yang sampai berhari-hari sambung menyambung. Dan akhirnya Ibu memukulkan centong keramat tepat di ubun-ubun kepala saya. Darah mengalir membasahi rambut, wajah dan badan saya. Saya pun berlari. Berlari. Entah ke mana.
Sebenarnya marahnya Ibu sudah saya perhitungkan. Tapi saya tidak mengira marah Ibu sampai memukulkan centong keramat yang kekuatannya seribu kali martil. Baru ketika saya beristirahat di sebuah gunung yang belum pernah berhasil dimasuki manusia, saya berpikir, keputusan Ibu memukulkan centong keramat adalah karena untuk menyelamatkan saya.
Ya, seandainya saya tidak berlari waktu itu, entah apa yang akan terjadi terhadap saya. Mungkin saya sudah menjadi tempat segala kesalahan ditimpakan. Ayah adalah orang terhormat di negari ini. Dia diamanahi mengurus banyak kepentingan negara. Rakyat percaya kepadanya. Ayah punya tim khusus yang mengatur agar Ayah selalu hilir-mudik di televisi, koran, majalah, radio, internet, dan media lainnya. Ke mana pun Ayah pergi, orang-orang menghormat dan menyanjungnya. Ayah adalah seorang pejabat negara.
Hanya Ibu dan saya yang tahu Ayah menjadi anjing. Gigi taringnya menyeringai saat bersiap merebut makanan. Padahal kekayaan Ayah tidak terhitung. Entah apa yang ingin Ayah cari dengan merebut makanan milik orang lain. Ayah sudah berkhianat terhadap negara, terhadap rakyat, terhadap kemanusiaan (makanya dia rela menjadi anjing). Setiap selesai Ayah merebut makanan, Ayah melolong, jutaan orang kemudian menjerit, mengaduh, mengerang, karena mendengar lolongan Ayah. Maka busur yang saya tarik itu mengarah tepat di tengah kening Ayah.
Seandainya Ibu tidak memukul ubun-ubun kepala saya dengan centong keramat, entah apa yang akan terjadi. Mungkin saya ditangkap, dipenjara dengan penjagaan sangat ketat, dan hampir setiap hari dibawa ke pengadilan sebagai terdakwa. Akhirnya saya dihukum mati. Dan Ayah, kemungkinan dikubur di taman makam pahlawan. Televisi, buku, koran, mengenangnya sebagai pahlawan negara.
Di sini kecerdasan Ibu sangat terasa. Dengan saya pergi jauh, kematian Ayah menjadi misteri. Orang masih menyisakan pertanyaan ketika mengenangnya sebagai tokoh teladan. Seandainya Ayah tokoh baik, kenapa ada yang tega membunuhnya? Ibu rupanya tidak tega bila Ayah menjadi tokoh teladan sementara di belakang keteladanannya Ayah menjadi anjing.
Dan saya mengembara dari gunung ke gunung, dari gua ke gua, dari sunyi ke sunyi. Saya belajar bagaimana alam bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, semakin akrab dengan cuaca dan nasib. Saya mengalir bersama air berhembus bersama angin menyala bersama api semedi bersama batu kali
Ketika suatu hari saya turun gunung, saya terpana melihat keindahan lain selain sunyi. Seorang puteri bermain dengan kupu-kupu di tamansari. Saya memandangnya lama, diam-diam mengeluarkan kembang wijayakusuma, kembang yang tidak pernah layu di hati saya. Dan ketika sang puteri terpana melihat saya, saya memberikan bunga yang bertahun-tahun tumbuh dan mekar di hati saya.
“Kupersembahkan bunga jiwa raga ini, hunya untukmu,” kata saya.
Sang puteri terpana, lalu tersenyum, senyum yang sanggup memekarkan bunga-bunga di mana-mana. Tapi sayangnya senyum itu seperti kilat, hanya sebentar menerangi, karena kemudian awan gelap yang sebenarnya muncul. Sang puteri itu melolong, dari bibirnya keluar taring, matanya memerah. Saya terlempar karena terkejut. Lalu di mana-mana terdengar orang menjerit, mengaduh, mengerang, mungkin jutaan jumlahnya. Oh, sang puteri cantik itu ternyata menjadi anjing juga.
Dengan menyerap kekuatan alam saya menenangkan sang puteri yang sedang melolong itu. Dia tersipu malu.
“Kenapa engkau memelihara anjing juga di hatimu?” kata saya.
“Sepertinya tidak bisa tidak menjadi anjing saat ini, di sini,” katanya, menunduk. “Semua orang memelihara naluri anjing di hatinya. Kita hanya akan tersiksa tanpa ikut dengan mereka.”
“Tapi jutaan orang tersakiti dengan naluri anjing di hatimu,” kata saya. Sang puteri memandang ke jauhnya, ke pamandangan yang tiada bertepi. “Saya ini... pernah membunuh anjing. Menikahlah dengan saya, saya siap membantumu mengusir naluri anjing di hatimu.”
Sang puteri mundur beberapa langkah. “Engkau membunuh anjing?” tanyanya. “Rasanya aku tahu siapa engkau. Engkau tidak akan sanggup mengusir semua anjing dari sini. Dengan cara bagaimana mengusirnya?”
“Dengan cinta. Dengan cinta tidak akan ada lagi yang disakiti.”
Sang puteri memandang saya lekat. “Baiklah, saya akan menikahimu, asal... engkau buatkan bendungan untuk kita berbulan madu. Dalam semalam.”
“Dalam semalam?”
“Ya. Ingat, dengan menerima lamaran engkau, artinya aku menerima ajakan engkau untuk berperang melawan manusia-anjing, itu tidak mudah. Mungkin kitanya sendiri yang akan terbunuh.”
Maka saya pun membangun bendungan sejak senja tenggelam. Semua kekuatan, semua sahabat, saya kerahkan. Bendungan itu memang hampir selesai waktu tengah malam. Tapi ketika perahu sedang ditatah, tiba-tiba terlihat pajar di langit timur, lalu terdengar suara ayam berkokok. Apa-apaan ini? Mengapa alam yang telah menjadi sahabat saya bertahun-tahun berkhianat? Saya tendang kapal dengan amarah yang menyala. Saya lari lagi ke dalam hutan. Hanya sunyi hutan yang sanggup menenangkan pikiran dan hati saya.
Alam pun ternyata sudah diperkosa oleh manusia-manusia anjing itu. Kemudian tersiar gosip bahwa saya adalah anak durhaka, anak yang ngotot ingin menikahi ibunya. Sang puteri itu mengaku Ibu saya kepada siapa pun. Maka ke mana pun saya pergi orang-orang akan menunjuk hidung dan meludahi saya.
Karena Ibu menjadi anjing, maka saya membunuhnya.
Saya adalah Sangkuriang, lahir tahun 1990, di negara tercinta ini, Indonesia. Saya rindu Ayah dan Ibu yang tidak menjadi anjing. ***  
  
Pamulihan, 8 Oktober 2013 / 15 Mei 2014   



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SANGKURIANG"

Posting Komentar