MENGGAMBAR CINTA
Cerpen ini dipublikasika HU Pikiran Rakyat, 3 Desember 2005
“Saya mau menggambar cinta!” kata Dodi ketika gurunya bertanya. Anak kelas satu
Sekolah Dasar itu tidak mengalihkan perhatiannya dari kertas gambar yang sudah
terisi setengahnya. Dia tidak perduli kepada gurunya yang berdiri di
sampingnya. Juga tidak perduli kepada keramaian kelasnya. Dia terus
mencoret-coret, mengganti spidol, membuka halaman baru bila dirasanya gambar
yang satu telah selesai.
“Coba lihat gambar yang sudah jadi.” Pak guru yang berdiri di
samping Dodi itu membungkukkan badannya. Dodi membuka buku gambarnya.
“Ini gambar sampah?”
“Bukan. Ini gambar cinta.”
Pak guru berkerut kening. Beberapa halaman
buku gambar Dodi memang penuh dengan gambar sampah. Ada sampah
yang bertebaran, menumpuk, atau yang menggunung, lengkap dengan lalat dan bau
busuknya.
“Kok cinta seperti ini?”
“Memangnya cinta seperti apa?”
Dodi memang lain dari murid kelas satu
lainnya. Setiap pelajaran menggambar, dia sangat antusias dan bisa menggambar
berjam-jam. Kadang dia tidak mau dihentikan menggambar meski mata pelajaran itu
sudah selesai. Lebih baik dia menangis daripada menurut kepada gurunya.
Menangis memang dianggap wajar bagi murid kelas satu. Selain Dodi, murid
lainnya pun bisa menangis karena pensilnya hilang atau bila pipis di celana.
Sejak percakapan di atas, pak guru
menggambar itu semakin memperhatikan Dodi. Menurutnya, Dodi punya bakat besar
dalam menggambar. Maka atas persetujuan kepala sekolah dan guru-guru lainnya,
bila mata pelajaran menggambar tiba, khusus buat Dodi, waktunya bisa ditambah.
Dodi senang dan tidak menangis lagi.
Dalam pengamatan guru menggambar setelah
tiga bulan sekolah berjalan, daya menggambar Dodi memang luar biasa. Tapi yang
digambar itu-itu saja, yaitu sampah. Memang sampah itu kemudian tidak saja
menumpuk dan menggunung, tapi ada yang berbentuk binatang, manusia, gedung,
jalan, atau apa saja. Dan setiap ditanya, Dodi selalu menjawab yang itu-itu
juga.
“Ini gambar apa?”
“Gambar cinta.”
Pak guru menggambar itu tersenyum. Juga
guru-guru lainnya yang sengaja melihat gambar Dodi. “Dasar anak kecil,” kata
guru-guru itu. Tapi meski begitu, hasil menggambar Dodi yang sudah berbuku-buku
itu dikumpulkan dan disimpan rapi oleh pak guru menggambar.
Dan ketika ada pengumuman perlombaan
menggambar bagi murid-murid Sekolah Dasar tingkat nasional, gambar-gambar Dodi
disertakan. Tidak meleset pengamatan pak guru menggambar, gambar Dodi memang
mendapat penghargaan sebagai juara pertama dan favorit.
**
Bakat menggambar Dodi memang luar biasa.
Tidak hanya di sekolah, di rumah pun Dodi hampir tidak bermain. Selain makan
dan mandi, kerja Dodi hanya menggambar. Orangtuanya jelas khawatir, takut
perkembangan anaknya salah. Maka disuruhnya Dodi bermain.
“Lho, setiap hari Dodi kan bermain,
bermain dengan spidol dan warna-warna.” Selalu begitu jawaban Dodi. Lalu dia
menggambar lagi, menghabiskan buku gambar yang masih tersisa. Dan bila orang
tuanya tidak menyediakan buku gambar, Dodi akan menggambar di mana saja. Tembok,
lantai, kursi, meja, pintu, jendela, kasur, bantal, lemari, panci, piring,
gelas, printer, televisi, radio, dan benda apapun yang ada di rumah, akan penuh
dengan gambar Dodi.
Puncak kekhawatiran orang tua Dodi terjadi
ketika anaknya lulus SMU. Meski Dodi telah mendaftar ke FSRD ITB, orang tuanya
memaksa Dodi untuk masuk ke Fakultas Ekonomi. Tentu saja Dodi protes. Tapi di
hadapan orang tua yang otoriter dan menganggap masa depan adalah persoalan
ekonomi belaka, apalah artinya kekuatan seorang anak?
Dodi memang kurang suka dengan mata
pelajaran ekonomi. Tapi sebagai orang yang luar biasa, meski tidak menumpahkan
seluruh perhatiannya, Dodi bisa menjadi sarjana ekonomi juga. Dan ketika orang
tuanya menyuruh Dodi bekerja di instansi yang katanya tinggal masuk saja karena
sudah ada chanel, Dodi
menolak.
“Ibu dan Bapak sudah cukup memberikan
bekal. Dodi ingin berusaha sendiri,” kata Dodi.
Dodi pun menghimpun para pemulung di
kotanya. Sampah-sampah yang dihasilkan para pemulung itu didaur ulang menjadi
berbagai kerajinan, hiasan, kebutuhan rumah tangga. Usaha Dodi banyak yang
mendukung, termasuk oleh pemerintah. Artinya pemasukan bagi Dodi semakin
banyak. Juga buat para pemulung yang lebih sejahtera dibanding sebelum
dihimpun Dodi.
Karena setiap hari bergaul dengan sampah,
Dodi diingatkan kembali dengan kesenangannya sewaktu kecil. Pengurusan
himpunannya yang sudah merambah ke kota-kota lainnya, diserahkan kepada
stafnya. Dodi memang masih menjadi ketua, pemilik saham tunggal, memantau
perkembangan dan memberikan nasihat-nasihat. Selebihnya dari pekerjaan yang
ringan itu, waktu Dodi dihabiskan untuk menggambar, menggambar tentang cinta.
Siang malam, selain tidur yang sedikit, kerja Dodi hanya menggambar.
“Apa tidak cape, Pak, tidak pernah
istirahat?” tanya seorang stafnya yang tidak bisa mengerti dengan apa yang
dilakukan Dodi.
“Lho, apa kamu tidak melihat bahwa saya
selalu istirahat? Istirahat dengan kanvas, cat, dan warna-warna.”
Daya menggambar Dodi memang luar biasa
sejak kecil. Gambar yang telah dihasilkannya bertebaran di rumahnya. Stafnya
kemudian membeli pigura dan memasang gambar-gambar itu di rumah, kantor, dan di
tempat-tempat lainnya yang khusus dibuat untuk menyimpan gambar-gambar Dodi.
Perusahaan Dodi yang menghimpun pekerja
kelas bawah, yaitu para pemulung, sejak awal memang dikenal oleh kalangan pers.
Maka ketika ada wartawan yang mengetahui Dodi menggambar begitu banyak, berita
itu pun ditulis di koran. Tiga hari kemudian wartawan televisi, wartawan radio,
wartawan kesenian, pengamat seni rupa, kurator galeri, berdatangan ke rumah
Dodi. Mereka berdecak kagum begitu melihat gambar-gambar Dodi.
“Apa sebenarnya yang ingin Anda sampaikan
dengan gambar-gambar ini?” tanya seorang wartawan.
“Hidup ini harus dibarengi dengan cinta.
Karena tanpa itu, hidup kita hambar. Sesungguhnya, kita harus percaya, bahwa
perjalanan hidup kita adalah pencarian terhadap cinta.”
“Jadi, gambar-gambar ini bertema cinta?”
“Ya, ini adalah gambar-gambar cinta.”
“Kapan gambar sebanyak ini dipamerkan,
Pak?” tanya wartawan.
“Entahlah. Hidup saya adalah menggambar,
bukan pameran.”
**
Bila dicermati secara seksama,
gambar-gambar Dodi memperlihatkan perubahan yang terus menerus. Perubahan ini
dirasakan Dodi karena berbagai kenyataan di masyarakat yang ditemui para
pemulung memang berubah pula. Setiap apa yang didapatkan para pemulung memang
dilaporkan kepada Dodi.
Suatu pagi, seperti biasa seminggu sekali,
stafnya melapor kepada Dodi.
“Pak, sejak seminggu lalu ditemukan
sampah-sampah yang lain dari biasanya. Di taman, tempat sampah, trotoar,
ditemukan bayi-bayi manusia yang dibuang. Memang banyak yang sudah mati, tapi
tidak sedikit yang masih hidup. Apa perlu dibuatkan panti asuhan untuk
menampung bayi-bayi yang masih hidup itu?”
Dodi berkerut kening. Apa bayi-bayi itu
pun sampah, setidaknya sampah cinta? Mengapa orang tidak perlu lagi bayi? Apa
orang tidak perlu lagi cinta?
“Sekarang bayi-bayi yang masih hidup itu
ditampung di faviliun kantor, Pak.”
“Tidak, jangan ditampung. Kita hanya
menampung sampah. Bayi-bayi itu bukan sampah. Bunuh saja mereka dan kuburkan.”
“Lho! Dibunuh?”
“Biarkan bayi-bayi itu hanya mengenal
cinta. Caranya, ya dengan dibunuh. Jangan biarkan mereka mengenal dunia yang
serba bau sampah ini.”
Staf itu memang kaget. Tapi seperti di
perusahaan lainnya, tanpa mesti banyak bertanya, dia melaksanakan tugas atasannya.
Keputusan Dodi memang kontroversial. Koran-koran berhari-hari membicarakannya.
Banyak yang mengutuk Dodi dan demonstrasi. Tapi lambat laun banyak yang
mengerti dan berdecak kagum atas keberanian dan kecerdasan Dodi.
Berhari-hari Dodi melayani wartawan untuk
wawancara dan menanggapi berita yang berkembang. Pikiran dan pekerjaannya
tersita. Maka dia masih pening ketika suatu pagi stafnya melapor lagi.
“Ada perkembangan
baru, Pak, di wilayah pemulungan sampah kita. Para pemulung
banyak mendapatkan pengemis di mana-mana. Di trotoar, jembatan penyeberangan,
taman, pengemis-pengemis itu bergelimpangan menyerupai sampah. Kata koran, para
pengemis itu datang dari berbagai pelosok. Mereka datang karena kelaparan.
Negara kita memang lagi krisis segala-galanya, Pak. Pemerintah tidak bisa
menindak pencurian minyak, hutan, tambang, dan koruptor kakap semakin
terang-terangan karena dilindungi partai. Perusahaan kita mesti membayar ganti
rugi banyak karena tidak sedikit para pemulung yang salah membacok. Maksudnya
yang dibacok sampah, tapi ternyata para pengemis itu.”
Dodi menarik nafas panjang. Begitu pusing
kepalanya direcoki oleh persoalan yang silih berganti.
“Apa para pengemis itu perlu dibunuh
seperti bayi-bayi itu, Pak?”
“Jangan! Mereka sudah mengenal banyak hal
selain cinta. Mereka tidak sama dengan bayi-bayi itu.”
“Lalu?”
“Hati-hati saja para pemulung bekerja.
Jangan sampai para pengemis itu terbacok. Saya akan memikirkan dulu apa yang
mesti kita perbuat dengan mereka.”
Staf itu pergi. Dia merapatkan keputusan
pimpinan dengan staf lainnya dan memberikan penyuluhan kepada para pemulung.
Sementara Dodi memikirkan, menimbang dan membolak-balik persoalan itu. Tapi
sebelum dia memutuskan, seorang stafnya datang lagi.
“Dengan berhati-hati, produk sampah yang
kita kumpulkan berkurang banyak, Pak. Selain itu ada perkembangan lain. Saat
kita bingung menambah sampah, ternyata ditemukan sumber-sumber lain. Sampah ada
di mana-mana. Tapi begitu mau mengangkutnya, kita salah terka. Banyak pemulung
yang memasukkan sampah ke dalam karung dan sampah-sampah itu berteriak karena
ternyata itu bukan sampah, itu adalah orang yang sedang beristirahat. Kita jadi
kesulitan membedakan sampah dan yang bukan. Di suatu kota ,
perwakilan kita malah mesti mengganti gedung-gedung yang sempat dibongkar.
Mereka awalnya menyewa bulldozer untuk membongkar sampah, ternyata itu bukan
sampah, tapi gedung-gedung. Kita rugi besar, Pak, kalau keadaan ini berjalan
terus.”
Dodi tidak bisa mengerti, apa yang telah
terjadi dengan cinta? Dodi membayangkan ada semacam evolusi yang merubah siapa
dan apa saja menjadi menyerupai sampah lengkap dengan bau busuk dan
menjijikkannya. Apa saya tidak salah lihat, bisik Dodi saat diperhatikannya
stafnya itu pun begitu sulit dibedakan dengan sampah. Dodi berpikir, apa
dirinya pun sudah menyerupai sampah?
Tapi belum sempat Dodi melakukan apa-apa,
wartawan berdatangan dan mengepungnya.
“Di masyarakat sedang terjadi perkembangan
seperti yang Bapak gambarkan dalam ribuan gambar itu, Pak. Masyarakat perlu
masukan moral. Gambar-gambar Bapak perlu dipamerkan, Pak. Kapan Bapak mau
pameran?” tanya salah seorang wartawan.
Dodi melepaskan diri dari kerumunan. “Saya
mau pergi, kalian jangan menghalangi. Saya tidak perduli dengan pameran. Kalian
ambil saja gambar-gambar itu. Saya sudah muak dengan gambar-gambar cinta! Saya
akan menggambar sampah!” ***
0 Response to "MENGGAMBAR CINTA"
Posting Komentar