KELUARGA HITAM

        Cerpen ini diambil dari buku Pohon Tumbuh Tidak Tergesa-gesa, penerbit Syaamil, 2003.         

             Suatu malam, satu keluarga donatur yang terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anak, datang ke panti asuhan. Selain menyumbang makanan, pakaian dan sejumlah uang, mereka pun membawa seorang pendongeng untuk menghibur. Di depan anak-anak yatim piatu yang meyambutnya antusias, pendongeng itu berkisah.
**
Hari masih pagi ketika Si bangun. Sinar matahari hangat menerobos lewat kaca jendela yang gordennya terbuka sejak semalam. Lagu menghentak dari Green Day membuat kamar luas bercat pink itu meriah. Si merentangkan tangannya dan menguap. Komputer yang lupa dimatikan masih memperlihatkan Britney Spears dengan baju minim. Si tidak perduli. Itu sudah biasa. Tapi begitu jam dinding yang menunjukkan hampir pukul tujuh terlihat sekilas, Si melompat dari kasurnya dan segera menyambar handuk. Sekolah sebentar lagi masuk.
Di meja makan, sudah berkumpul ayah, ibu dan tiga orang kakaknya.
“Cepat sarapan, nanti telat!” kata So sedikit membentak.
Si mengambil roti dan segera memasukkannya ke mulut. Dua lembar roti lainnya dimasukkannya ke misting kecil. Segelas jus berwarna kuning diminumnya sampai tandas. Kakak-kakaknya, So, Su dan Sa, berdiri, pamitan dan mencium tangan ayah dan ibu. Mereka tahu bila si bungsu Si makan roti tergesa artinya dia akan menghabiskan sisanya di dalam mobil.
Di dalam mobil yang dikemudikan Mang Diman, So, Su dan Sa, bernyanyi mengikuti Westlife. Si memperhatikan orang-orang yang berjajar di pinggir jalan. Tidak hanya para pegawai, anak-anak berseragam sekolah pun masih ada. Tentunya mereka bangun kesiangan seperti dirinya, pikir Si. Tentunya mereka pun habis surfing semalaman menjelajah dunia aneh di situs-situs. Tentunya mereka pun tahu ada wanita-wanita telanjang, ada kebakaran hutan, ada pembantaian gajah, badak, harimau, dan manusia. Tentunya mereka pun ingin berteriak tapi tidak tahu caranya.
Tapi pagi itu, di dalam mobil yang membawanya ke sekolah, Si benar-benar berteriak. Kakak-kakaknya berhenti bernyanyi. Mang Diman menghentikan mobilnya.
“Ada apa?” bentak So.
“Ini!” Si menjulurkan tangannya. Roti yang sudah dimakannya sebagian, yang dibukanya sambil melamun, tidak hanya dilapisi selai, tapi juga ada bangkai cecak.
“Memangnya kenapa?” bentak Sa.
“Kenapa?”
“Ini mekanan enak dan istimewa, bodoh! Tidak setiap orang mendapatkannya!” Su merebut roti dari tangan Si dan memakannya.
Huakkh! Si muntah melihatnya.
“Memangnya yang kamu makan setiap hari apa? Kalau tidak selai cecak, yang rasanya sedikit asin itu selai kucing, yang rasanya sedikit asam itu selai tikus. Minuman berwarna kuning itu campuran airmata kera yang dibunuh perlahan-lahan dan susu kambing yang diperas sampai mati, yang berwarna merah itu darah harimau Sumatera yang hampir punah.”
Huakkh! Huakkh!
**
Si ternyata tidak hanya muntah-muntah di dalam mobil. Di halaman sekolah, di dalam kelas, di rumah, dia muntah-muntah setiap ingat apa yang telah dimakannya. Wajahnya pucat kekurangan cairan.
“Bawa saja ke dokter. Rawat beberapa hari sampai sehat betul,” kata ayah. Mang Diman segera dipanggil. So, Su dan Sa tertawa-tawa melihat adiknya digendong Mang Diman. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalian jangan sok! Dulu juga seperti itu.” Ibu mencibir.
“Ini juga pelajaran, menerima sesuatu yang baru, yang tidak lajim, yang awalnya kita anggap menjijikkan, memang tidak gampang. Setelah terbiasa, kalian kan teringat terus bagaimana rasanya susu kucing yang anaknya dibunuh, airmata anjing yang tubuhnya disayat-sayat, lalu steak dagingnya, bakar harimau hidup-hidup. Itu baru kelas menengah, karena ada makanan lainnya yang kalian belum tahu.”
“Apa lagi, Yah?” tanya So, Su dan Sa serempak.
“Ada makanan yang membuat tubuh kita seperti tiwikrama menjadi raksasa, seperti Batara Kresna. Padahal itu baru kita membayangkannya dan menghirup baunya. Setelah tiwikrama, tentu kita bisa menikmati makanan itu sempurna.”
“Makanan seperti apa, Yah? Panggang jerapah Afrika yang dibaluri darah gajah? Atau hati singa gurun yang dimakan sambil mengisap candu?”
“Itu makanan kelas remaja. Nanti saja sekalian kalian mencicipinya.”
So, Su dan Sa bersorak.
Malamnya, di taman belakang rumah yang luasnya hektaran, ayah, ibu, So, Su dan Sa berkumpul. Ayah mengajak semuanya untuk berkonsentrasi membayangkan sesuatu, sesuatu yang dinikmati sepenuh hati, tanpa perasaan-perasaan mengganggu lainnya. Tiba-tiba tubuh ayah dan ibu membesar menyaingi gedung-gedung dan gunung-gunung. So, Su dan Sa juga membesar, tapi tidak seraksasa ayah dan ibu. Mereka sejajar, setinggu gunung  kecil. Mereka memang beru kali ini belajar tiwikrama.
“Nah, sekarang kita nikmati makanan istimewa ini!” Suara ayah menggelegar. Lalu dicomotnya sebuah gunung dan mengunyahnya. Suara pohon-pohon patah seperti kerupuk dimakan anak kecil. Ibu memilih gedung bertingkat puluhan untuk dikunyah. So, Su dan Sa terbengong-bengong.Tapi begitu mereka merenggut rumah bangunan tipe 21, mereka tahu bagaimana nikmatinya tembok keras, genting yang rangu dan sesuatu yang pecah basah sedikit berbau amis.
“Yang pecah basah seperti mata ayam kalau kita makan di pinggir jalan itu, mungkin manusia atau binatang yang tercomot,” kata ayah.
So tertawa sambil menggenggam sebuah kereta api.
“Kenapa tertawa?” tanya Su dan Sa berbarengan.
“Lihat!” So menunjuk sambil mengunyah lokomotif. Di bawah, orang-orang berlarian tidak tentu arah. Mereka bersembunyi di rumah-rumah, pohon-pohon, kardus atau apa saja yang sekiranya bisa menyembunyikan perasaan takutnya.
“Lihat! Bagaimana takutnya mereka ketika melihat tangan kita,” kata So, sesekali tangannya merubuhkan bangunan sehingga orang-orang berlarian. Su dan Sa mencobanya dan mereka pun tertawa-tawa.
“Yang lebih menyenangkan seperti ini,” kata ayah. Geretan besar dinyalakannya, ayah membakar gedung-gedung dan hutan-hutan. Orang-orang berlarian tidak berarah. Ayah, ibu, So, Su dan Sa tertawa-tawa. Sesekali So, Su atau Sa membunuh seseorang dengan tangannya atau kayu, seperti orang membunuh semut. Teman-teman orang terbunuh itu mencari tahu pelakunya dan mereka berkelahi dengan tersangka. Mereka saling membantai di hutan-hutan, kota, desa, pasar, di mana-mana.
“Sekarang tinggal santapan penutupnya. Tinggalkan saja mereka,” kata ibu. Ibu dan ayah membalikkan kursi. So, Su dan Sa mengikutinya. Mereka duduk-duduk sambil melihat wilayah lain. Ibu dan ayah merentangkan sebuah slang ke lautan lepas. Bergiliran mereka menyedot laut.
“Kenapa wilayah itu tidak kita makan atau bakar, Yah,” kata So.
“Ini wilayah miskin. Lihatlah, mereka siang malam bekerja. Mengerjakan apa saja. Bertani, berdagang, beternak, mengambil ikan. Tanah mereka pun subur, tanaman apapun tumbuh bagus, lautnya banyak ikan. Tapi mereka tetap miskin, tidak bisa mengelola kekayaannya, selalu bertengkar. Ini adalah bagian kesukaan ibu.”
“Rasakanlah dengan sepenuh hati, bagaimana nikmatnya menyedot laut sambil memandang kemiskinan,” kata ibu. So, Su dan Sa mendengarkan secara seksama. Lalu mereka mencoba menyedot laut merem-melek sambil melihat orang-orang bekerja keras siang malam, tanpa istirahat yang cukup, tapi mereka selalu miskin, selalu diintip pencurian, penodongan, perampasan, dan kejahatan lainnya.
“Dulu kita masih bisa bermain untuk wilayah itu. Tapi sekarang tidak lagi. Dulu, setiap wilayah itu maju menuju sejahtera, ibu dan ayah mengganggu tanaman mereka, memberi kesempatan orang-orang tertentu untuk mencuri, mengambil untung sendiri, berkelahi satu sama lain. Sekarang lingkaran kemiskinan, kebodohan dan ketamakan sudah hampir sempurna. Sistem kehidupan mereka sudah penuh dengan sogok-menyogok, curi-mencuri, jegal-menjegal. Kita tinggal menikmatinya. Mendengarkan sayup-sayup suara tangis menyedihkan, erangan kesakitan, jeritan frustrasi, teriakan kebingungan. Ini suara-suara yang indah, tidak seperti Westlife, Destiny’s Child, The Corrs, Dewa 19, Jamrud, Iwan Fals, atau penyanyi kacangan lainnya. Ini bagian yang memerlukan penghayatan tinggi untuk menikmatinya.” Ibu menerangkan panjang lebar. So menyedot lagi sambil merem-melek. Air laut, perahu, ikan-ikan, karang, mengalir ke dalam perut So yang semakin besar. Tapi dia tidak merasa kenyang. Su dan Sa tidak sabar menunggu giliran.
**
Seminggu kemudian Si dijemput dari rumah sakit. Wajah anak kelas satu SMP itu cerah. Dia tersenyum-senyum. Di rumah, ibu telah menyediakan makanan istimewa menyambut Si. Seminggu berikutnya, saat bersantai di taman belakang rumah malam-malam, setelah meraka tiwikrama, Si meminta semuanya tenang, dia akan membacakan puisi.
“Ini sebenarnya tugas sekolah. Sebelum dikumpulkan, saya akan membacakannya. Semoga kalian bisa menikmatinya.
Sembilan bahan pokok harganya melambung
Tapi ibu tidak khawatir. Karena kita bisa makan gunung
makan gedung makan tanah makan sungai makan sawah.
Ayah tertawa, karena sejak dulu ayah biasa minum laut
menghirup semen mengunyah karet sarapan padang berlapis aspal.
Coba bayangkan, bagaimana nikmatnya menyedot laut
sambil memandang keindahan kemiskinan, kata ibu merem-melek
Saya pun belajar makan cecak makan tikus makan kucing
memasak hutan mengunyah gedung menyemur sawah
Saya muntah-muntah. Saya dibawa ke dokter
yang selalu penuh pasien itu.
Tidak apa-apa, nanti juga biasa, kata dokter. Ayah tersenyum.
Sekian.”
Ayah, ibu, So, Su dan Sa bersorak.
**
“Di negeri dongeng mana cerita menyeramkan itu terjadi, Paman?” tanya seorang anak.
“Ini bukan cerita dongeng. Ini kisah nyata. Dan sekarang, kesukaan mereka adalah menghirup darah langsung dari leher sambil menikmati erangan korbannya. Makanya mereka  hampir setiap malam gentayangan, seperti vampir.”
Anak-anak yatim piatu itu bergidik. Tapi kemudian mereka berteriak melengking begitu melihat mata keluarga donatur yang terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anak itu mengeluarkan sinar garang. Anak-anak yatim piatu itu berlarian tak berarah. Melihat ketakutan mereka, dari mulut keluarga donatur itu tumbuh taring.
**
Sumedang, 4 April 2001

Catatan:
Tiwikrama     = Berubah menjadi raksasa. Dalam cerita wayang, Batara Kresna dan 
                        Arjuna Sosrobahu bisa melakukan ini.
Dicomot        = Diambil dengan kelima jari tangan
Rangu            = Berbunyi nyaring saat dimakan, seperti kerupuk (Sunda)
Merem-melek = Menutup membuka mata untuk menikmati sesuatu.
















Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KELUARGA HITAM"

Posting Komentar