Merdeka
Tidak bisa disangkal, Indonesia akan selalu ada di hati saya. Perasaan
bangga dan haru sebagai bagian dari bangsa ini mulai tertanam sejak kecil.
Sebelum sekolah, saat usia sekitar 5 tahun, tahun 1970-an lalu, di rumah selalu
berkumpul tetangga dan orang sekampung lainnya. Kadang tidak hanya di tengah
rumah, tapi teras pun dipenuhi orang.
Buat apa? Bukan, bukan karena ada syukuran atau pengajian. Tapi mereka
semua menonton pertandingan sepak bola antara Indonesia dengan entah negara
mana. Saya belum tahu pasti, kenapa permainan sepak bola di televisi
hitam-putih 14 inc itu harus ditonton banyak orang. Saya hanya ingat, begitu
senangnya karena bisa main dengan anak-anak lainnya, dan banyak makanan.
Waktu itu, tahun 1970-an itu, hanya beberapa orang yang mempunyai
televisi di kampung saya. Bila ada acara seperti itu, sejak sore sepertinya
sudah disiapkan. Ibu-ibu membuat makanan. Rebus singkong-ubi-pisang, urab
jagung, papais, keripik singkong, cuhcur, lontong. Mang Karim dan Kang Rinta
memastikan bahwa aki (accu), harus terisi penuh setrumnya.
Berkumpulnya tetangga dan orang-orang kampung lainnya itu barulah terasa
bedanya saat terjadi gol di pertandingan sepakbola itu. Semua bersorak. Segala
dipukul sebagai tanda kegembiraan. Saya lalu mengenal nama Andi Lala dan Anjas
Asmara sebagai pahlawan. Dan saat lagu Indonesia Raya berkumandang, tengah
rumah yang sesak itu menjadi senyap. Beberapa orang ikut menyanyikan Indonesia
Raya.
Haru ikut mendengarkan dan mulai menyanyikan Indonesia Raya itu kemudian
berulang saat Lim Swie King, Icuk Sugiarto, Susi Susanti, dan banyak pendekar
bulutangkis lainnya yang membuat seluruh rakyat Indonesia bangga menyanyikan
Indonesia Raya. Kadang saya bermimpi yang menyanyikan lagu Indonesia Raya
sambil mengangkat piala itu adalah saya, bukan Icuk. Rasanya menyanyikan
Indonesia Raya setelah ada pahlawan Indonesia menjuarai cabang olahraga tertentu,
berbeda dengan menyanyikannya saat upacara bendera di sekolah.
Mungkin karena kumandang Indonesia Raya dalam pemberian piala sebuah
kejuaraan harus diperjuangkan sebelumnya. Itulah yang saya rasa
"perasaan" cinta berbangsa dan bernegara. Perjuangan itu bagi saya
selanjutnya adalah bersikap keras yang dianggap oleh orang lain sebagai keras
kepala dan mengada-ada.
Sejak SMP saya sudah menulis, belajar ketak-ketik sendiri di mesin tik
merk brother hadiah dari bapak saya. Sekolah SMA tulisan saya mulai banyak
dimuat media massa. Ceritanya terjadi waktu saya ikut tes ke sebuah perguruan
tinggi. Saya baru tahu setelah jalam satu semester, ternyata orang tua saya
memberi tips, menitipkan, atau apalah istilahnya kepada dosen yang mempunyai pengaruh di perguruan tinggi
itu. Kuliah saya tiba-tiba menjadi bimbang. Dan akhirnya, tahun ajaran
berikutnya, saya mendaftar lagi, tes lagi, dan membayar sendiri segala
keperluan tes itu. Alhamdulillah saya diterima kembali, dan yang utama adalah
saya terbebas dari perasaan "bersalah" sebagai mahasiswa yang lulus
"dititipkan".
Tentu saja saya tidak menyadari bahwa sikap seperti itu adalah salah satu
wujud kecintaan saya kepada Indonesia. Karena sampai saya merasa tua, mandiri
dengan keluarga kecil, sikap seperti itu dianggap sebagai "keras
kepala" dan mengada-ada. Saat awal berkeluarga saya berbisnis dan istri
saya bekerja. Tapi bisnis saya, meski banyak berhubungan dengan instansi
pemerintah, saya tidak mau melakukan sogok-menyogok.
Tentu saja sikap seperti itu banyak dicibir oleh teman atau orang-orang
instansi sendiri. Tapi saya tidak perduli. Saya bekerja sesuai dengan kemampuan
sendiri. Meski saya tidak bisa berbuat apa-apa saat tahu bahwa proyek-proyek,
pengadaan ini-itu, dipotong sekian persen entah untuk dibagikan ke siapa. Meski
tidak bisa berbuat apa-apa, saat menulis fiksi saya sering membocorkan masalah
korupsi yang sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum itu.
Tentu juga usaha saya susah berkembang. Malah kemudian saya nyatakan
bangkrut. Istri saya berhenti bekerja karena pilihan itulah yang terbaik bagi
keluarga. Saat itulah pemerintah mulai menyejahterakan pegawai negeri sipil
dengan menaikan gaji terus menerus. Saya termasuk yang sering mengkritik
kebijakan itu. Bukan terhadap kenaikannya saya protes, tapi kepada
ketidakseimbangan sektor swasta yang justru ditelantarkan. Pegawai serabutan
termasuk yang paling susah. Harga-harga makanan pokok terus naik, fasilitas BLT
(Bantuan Langsung Tunai), kartu sehat, tidak didapatkan karena dianggap masih
muda dan dianggap bekerja. Sementara pengangguran dan profesi serabutan,
pegawai swasta non-UMR, menanggung beban yang begitu berat. Bila
kemarin-kemarin ribut daya beli menurun, saya memperkirakan bahwa itu terjadi
pada orang-orang di sektor itu, bukan para pegawai negeri.
Sekali lagi saya sebutkan bahwa kritik saya itu bukan pada pegawai
negerinya atau pada kenaikannya, tapi pada ketidakseimbangannya. Meski begitu,
bila berdiskusi dengan saudara dan teman, saya sering menjadi bulan-bulanan.
Ya, karena orang tua, saudara, teman, saya kebanyakan adalah pegawai negeri.
Tentu saja mereka menentang kritik saya. Saya sendiri malah mendukung saat
istri saya berkali-kali ikut tes pegawai negeri sipil. Dan entah pada tes ke
berapa, saya lupa lagi, seorang kenalan datang ke rumah.
"Hasil tes Ibu ini bagus, malah masuk pada formatur lulus. Hanya
saja karena saat ini persaingan semakin ketat, jadi harus dijaga. Cukup
sediakan dua puluh juta untuk menjaga agar jangan tergeser. Nanti saja
diberikannya setelah pengumuman. Bila sanggup, saya akan sampaikan kepada
panitia," katanya.
Tentu saja saya susah percaya bila tidak mengalami. Tapi sialnya,
begitulah yang saya alami. Saudara-saudara saya, termasuk orang tua, tentu saja
mendukung. Dua puluh juta rupiah untuk pegawai negeri sipil sangatlah
"murah". Karena saat itu tarif belakang seperti itu yang saya dengan
sudah di atas seratus jutaan. Tapi sebagai kepala keluarga saya harus
memutuskan menolaknya.
"Boleh menjadi pegawai negeri sipil, boleh menjadi apapun, asal
tidak dengan cara-cara seperti itu," kata saya. Sekali lagi banyak yang
mencibir dengan keputusan saya. Apalagi mereka tahu, keluarga saya belum mapan
secara ekonomi.
Bertahun-tahun kemudian, saya dan istri memutuskan untuk menjadi penulis.
Anak saya malah kemudian mengikuti juga. Sudah puluhan buku kami yang terbit.
Rasanya hampir seluruh media massa yang ada di Indonesia ini pernah memuat
tulisan kami. Saat mengantar anak saya masuk ke SMP, seorang guru tiba-tiba
saja bercerita tentang anaknya yang mau masuk kepolisian. "Ada jalan
belakang juga, tapi harganya satu miliar untuk tiga orang," katanya.
Saya yang gilirin mencibir. Sebagaimanapun parahnya budaya korupsi di Indonesia,
saya bangga menjadi bagian yang menolaknya. Merdeka! ***
0 Response to "Merdeka"
Posting Komentar