DI MANA BUMI DIPIJAK DI SANA LANGIT DIJUNJUNG

Dongeng Yus R. Ismail

Solo Pos, 24 April 2016

Aku tinggal di sebuah desa. Ciwening namanya. Kata Ibu, nama Ciwening diambil dari banyaknya mata air. Air bening mengalir di mana-mana. Bila ada pohon besar yang sudah bergelantungan jenggot-jenggotnya, biasanya di dekat situ ada mata air. Pohon sebesar itu usianya bisa ratusan tahun. Pohon loa, beringin, kiara, kihujan, dianggap keramat karena banyak menyimpan air.
Bila melihat acara televisi tentang bocah-bocah petualang, aku seperti melihat diri sendiri. Bermain di sungai, sawah, kebun, tepi hutan, adalah keseharian kami anak-anak Ciwening. Sekolahku SDN Ciwening lumayan jauh. Setengah jam perjalanan bila menerobos kebun dan sawah. Tapi bisa sampai satu jam bila mengikuti jalan desa.
Tentu saja aku dan teman-teman sering terkagum-kagum bila melihat permainan orang kota di televisi. Roller coaster, sepedah motor kecil, games yang beraneka permainan, pusat perbelanjaan yang ramai, dan artis-artis terkenal.
“Betapa enaknya tinggal di kota, ya,” kata Udin setelah kami melihat acara berlibur di kolam renang yang ada ombak buatannya. “Mau piknik ke kebun binatang, kolam renang, taman-taman indah, tinggal berangkat.”
Tapi Bu Guru menyangkalnya. “Tempat main di kota itu serba harus membayar,” katanya. “Jangan minder menjadi orang desa. Banyak orang besar yang asalnya dari desa. Kita harus bangga menjadi orang desa. Makanya ada peribahasa di mana tanah dipijak di sana langit dijunjung.”
Suatu hari aku melihat Ayah termenung di bale-bale. Saat itu aku pulang sekolah. Biasanya Ayah tidak ada di rumah. O iya, Ayah bekerja di pabrik stik bambu. Biasanya Ayah pergi pagi berjalan kaki, bareng bersama aku yang mau ke sekolah. Aku pulang siang. Ayah pulang sore. Begitu biasanya dari hari Senin sampai Sabtu. Tapi kali ini, kenapa Ayah ada di rumah?
“Ayah berhenti bekerja,” kata Ibu menerangkan. “Pabrik stiknya bangkrut. Katanya pesanan stik bambu berkurang terus.”
Tentu saja aku kasihan kepada Ayah. Dulu waktu aku bertanya, kenapa Ayah tidak bertani seperti Kakek atau tetangga lainnya, Ayah menjawab: “Ayah ingin mencoba pekerjaan yang lain. Siapa tahu dengan bekerja di pabrik stik bambu kehidupan kita lebih sejahtera dibanding ikut menggarap sawah dan kebun.”
Nyatanya bekerja di pabrik stik bambu tidak lebih sejahtera dibanding menjadi penggarap sawah dan kebun. Sesekali bila kehabisan beras sementara gajian Ayah beberapa hari lagi, Ibu meminjam beras ke tetangga atau saudara.
Besoknya Ayah ikut mencangkul di sawah. Aku tentu saja bermain bersama teman-teman. Mencari ikan-ikan sawah seperti bogo, lele, impun, paray, dan belut. Bila musim mencangkul sawah, belut banyak yang tertangkap. Setiap cangkul membalik tanah, belut yang terkejut bergerak liar mencari tempat bersembunyi. Kalau sudah begitu, tinggal adu cepat antara tangan dengan belut yang mau menyusup ke tanah sawah.
Bagi yang tidak biasa pasti susah menangkap belut sawah yang masih liar. Tapi kami sudah terlatih menangkapnya. Selain untuk lauk-pauk, biasanya setiap musim mencangkul aku memelihara belut di drum. Sekedar bermain saja. Drum yang sudah dilubangi itu dibuat seperti miniatur sawah. Tanah lumpur, rumput-rumput sawah dan eceng tumbuh. Ikan impun, udang kecil, cupang, hidup di atas air. Di bawahnya tentu banyak belut.
Pulang mencangkul, ketika aku sedang memasukkan sebagian belut ke sawah drumku, Ayah menghampiri. Ada senyum di bibir Ayah.
“Ayah punya ide,” katanya antusias. “Kenapa kita tidak memelihara belut saja yang banyak. Ayah punya kenalan bandar belut di kota. Dulu dia mencari belut ke desa kita. Di kita belut banyak tapi ukurannya kecil-kecil. Sementara dia meminta yang ukuran besar, sekitar empat ekor untuk satu kilogram.”
Sejak itu selain ikut menggarap sawah dan kebun, Ayah memelihara belut. Tentu aku adalah asisten utamanya. Belut sebagai benih banyak terdapat di desaku. Pakan utamanya adalah keong mas dan cacing, juga tinggal mencarinya. Kadang Ayah membuat cairan organik yang banyak menumbuhkan mikroorganisma makanan belut. Semuanya dipelajari dari buku yang aku pinjam dari perpustakaan sekolah.
Sekarang ini sudah dua tahun Ayah memelihara belut. Kata Ayah, penghasilannya bisa lebih dari gaji di pabrik stik bambu dan buruh menggarap sawah dan kebun. Tetangga dan saudara pun banyak yang mengikuti jejak Ayah. Mereka belajar kepada Ayah.
“Siapa bilang menjadi orang desa itu tidak menyenangkan dan membanggakan,” kata Ayah. “Di desa sumber alam sangat murah, asal kita mau mengolahnya.”
Aku baru mengerti sekarang mengapa ada peribahasa “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung”. Kita yang harus bangga dan mengembangkan tempat tinggal sendiri. ** 

Dongeng Ini Didukung Oleh:
Dongeng Yus R. Ismail


Ingin tahu lebih banyak tentang Dongeng Mendidik Dari Dunia Binatang? 
Klik saja DI SINI

Harga :  Rp 40.000


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DI MANA BUMI DIPIJAK DI SANA LANGIT DIJUNJUNG"

Posting Komentar