Kebahagiaan Hati Itu Tak Ada Harganya
Saya
mengenalnya sebagai Guru Ngaji. Setiap sore dia ke madrasah mengajar iqro
sampai Al-Qur’an. Pekerjaan sehari-harinya berjualan bakso. Bukan membuat bakso
sendiri dan punya roda atau motor sendiri. Dia bekerja di juragan bakso. Setiap
hari berkeliling ke kampung-kampung memakai motor, dan pulangnya mendapat upah.
Dia tinggal di rumah kontrakan sederhana bersama istri dan dua orang anaknya
yang baru sepuluh dan tujuh tahun.
Setelah pulang Guru Ngaji itu membagikan yang
diamanatkan kepadanya. Selanjutnya dia membuat nomor rekening. Dan setiap bulan
“orang misterius” itu mentransfer sejumlah uang shodaqoh. Guru ngaji itu
membagikannya kepada orang tua jompo, anak yatim dan fakir miskin. Dia sangat
berbahagia ada yang mempercayai seperti itu. Sudah lama dia berniat ingin
membagi rejeki dengan orang-orang yang disebutkan tadi, tapi jangankan untuk
berbagi, keluarganya saja seringnya kekurangan.
BACA JUGA: BUKU DONGENG PUTRI BULAN
Dan karena “orang misterius” itu tidak pernah
berkata ada bagian untuknya, Guru Ngaji itu pun tidak pernah mengambil sedikit
pun setiap membagikan uang jutaan rupiah itu. Malah bensin motor untuk
mengambil uang dan berkeliling membagikan, membeli amplop, dia sendiri yang
mengeluarkan uang. Itu sudah diniatkan olehnya. Itulah shodaqoh yang bisa dia
berikan.
“Setiap membagikan uang jutaan rupiah, saya
merasa berbahagia. Istri yang ikut membantu membagikan juga merasakan hal yang
sama. Walau di rumah hanya ada beras satu kg,” kisahnya. “Mendengar orang-orang
itu mengucapkan terima kasih, mendo’akan, melihat senyum dan kegembiraan di
wajah mereka; itu kebahagiaan yang sulit diceritakan.”
Tentu karena keadaan perekonomian Guru Ngaji
itu yang jauh dari mapan, peristiwa mengharukan sering terjadi. “Bagi orang tua
jompo, selain memberikan uang, sebagian saya berikan berupa beras, minyak,
kue-kue dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Para jompo itu kadang berbelanja
saja bermasalah, jadi itung-itung membantunya,” kisahnya. “Bila tidak
terbagikan semuanya, belanjaan itu suka dibawa dulu ke rumah. Di rumah itu kadang
anak-anak saya mengetahuinya dan menginginkan kue-kuenya. Saya sering terharu
melihat anak-anak berlinang air mata karena ingin kue, sementara saya tidak
punya uang, dan kue-kue itu hak orang lain.”
Guru Ngaji itu sebenarnya bisa saja mengambil
sebagian uang yang dititipkan kepadanya. Toh dia tidak mesti membuat laporan.
Tidak akan ada orang yang tahu. Tapi dia tidak pernah melakukannya.
“Kebahagiaan hati itu tidak ada harganya,” katanya. “Bila saya mengambil
sedikit saja uang amanat itu, berarti saya sudah menjual kebahagiaan hati.”
0 Response to "Kebahagiaan Hati Itu Tak Ada Harganya"
Posting Komentar