MENANG UNDIAN
Jantung Tardi berdetak dua kali lebih
cepat dari biasanya setelah mendapat telepon. Seseorang yang mengaku dari
perusahaan kopi menghubunginya. Dia mengucapkan selamat. Tardi katanya
mendapatkan hadiah utama, sebuah mobil pajero sport. Tardi diminta datang ke
kantor kopi itu besok dengan membawa berkas yang diperlukan.
“Tapi Akang kan memang pernah
mengirimkan undian kopi?” Istrinya malah balik bertanya.
“Iya, sebulan yang lalu Akang mengirimnya,
hanya satu bungkus kopi.”
“Itulah Kang, Allah itu tidak salah memberi
rejeki. Kalau sudah rejeki kita, ya tidak akan tertukar.”
Besoknya, Tardi dan istrinya datang ke
kantor perusahaan kopi. Betul saja, setelah dicocokkan segala dokumentasinya,
Tardi dan istrinya dikasih kunci mobil dalam sebuah acara meriah.
Tentu saja Tardi tidak membawa mobil ke
rumah kontrakannya. Mobil seharga empat ratus juta rupiah itu masuk lagi ke
dealer. Setelah membayar segala tetek-bengek dan memberi amplop orang-orang
yang membantunya, Tardi dan istrinya menyimpan tiga ratus tiga puluh juta
rupiah di bank.
Tentu juga uang sebesar itu adalah mimpi
indah bagi Tardi dan istrinya. Sudah sepuluh tahun mereka berkeluarga,
mempunyai dua orang anak, tapi hidup sepertinya semakin susah. Mereka hanya
sanggup mengontrak sebuah rumah yang belum selesai di pinggiran kota seharga
satu juta rupiah per tahun. Makan sehari-hari bila tidak nasi dengan tempe,
nasi dengan tahu, ya nasi dengan oseng kangkung. Penghasilan laden (pembantu) tukang tembok di proyek
bangunan tidak cukup hanya untuk hidup sederhana.
Tiba-tiba sekarang mereka mempunyai buku
tabungan dengan saldo Rp 330.000.000,00. Dua hari dua malam mereka meyakini
diri bahwa itu bukan mimpi. “Coba lihat di bawah lemari baju, benarkah kita
mempunyai tabungan tiga ratus tiga puluh juta rupiah?” kata Tardi kepada
istrinya. Pertanyaan kesepuluh kalinya di hari pertama itu diturut oleh istrinya.
Betul saja, di bawah tumpukan baju usang mereka memang ada buku tabungan dengan
saldo sebesar yang disebutkan tadi.
**
“Kang, apakah kita tidak akan syukuran?”
tanya istrinya.
“Syukuran? Membuat nasi kuning atau
uduk, menggulai ayam, balado telur, capcay, kerupuk, sambal goreng ati,
begitu?”
“Ya, seperti itu. Kita membagi ke
tetangga-tetangga. Sampai lupa kita membicarakan syukuran, karena kita tidak
pernah melakukannya.”
“Tapi nanti tetanga-tetangga tahu kita
mendapat hadiiah utama ratusan juta rupiah. Mereka pasti banyak yang datang,
meminjam uang, atau malah ada yang terang-terangan meminta.”
Istrinya terdiam. Berarti,
tetangga-tetangganya memang tidak ada yang tahu acara pemberian hadiah undian
itu. Memang acara itu tidak disiarkan televisi, tapi wartawan dari koran kan
banyak. Tapi siapa juga tetangga-tetangga di sini yang berlangganan koran?
Mereka hanya membaca sobekan koran bekas pembungkus ikan asin.
“Jadi bagaimana baiknya?” tanya
istrinya.
“Baiknya tidak usah syukuran, agar
tetangga kita tidak ada yang tahu. Kalau belanja pun kita jangan terlalu
mecolok. Jangan belanja siang hari, nanti tetangga kita curiga. Kita harus
belanja malam hari.”
Maka dengan menyewa motor dari tukang ojek
sebesar dua puluh lima ribu rupiah, Tardi dan istrinya belanja ke swalayan di
tengah kota tepat pukul 22.00 WIBB. Jeruk, apel, lengkeng, mangga, telor,
daging ayam, daging sapi, makanan kalengan, mie instan, minyak kelapa kemasan,
pakaian buat sekeluarga, dan banyak lagi. Sebenarnya istrinya, juga Tardi
sendiri, masih ngiler melihat
barang-barang yang ada di swalayan itu. Karena baru kali itu mereka belanja di
swalayan, apalagi tanpa dibatasi untuk membayarnya.
Pulang dari swalayan Tardi mengendarai
motor sambil bersenandung. Istrinya senyum-senyum sendiri sambil mendekap
pakaian yang barusan dibelinya. Tapi hanya seperempat jam motor mereka melaju
nyaman. Setelah belok ke jalan yang sepi, tiba-tiba di pinggir jalan ada
motor-motor yang lampunya menyala.
“Kejjaarr... itu mangsa kita!” teriak
seseorang. Motor-motor yang jumlahnya belasan itu pun melesat mengejar motor
Tardi. Tentu saja Tardi gugup. Gas ditarik lebih kencang. Tapi tentu bukan
tandingan para geng motor itu. Dalam waktu semenit motor Tardi sudah dipepet ke
pinggir. Tardi dan istrinya dipukuli. Motor dan belanjaannya direbut.
“Kojek, maju sini...!” kata ketua geng
motor itu. Seorang remaja maju dengan wajah gugup dan badan gemetar. “Kamu lulus
jadi anggota geng Sadis ini asal keberanianmu mantap! Habisi orang itu! Dan
perkosa yang perempuannya, lalu habisi juga!”
Tardi dan istrinya gemetar badannya.
Darah mengucur dari hidung dan pelipisnya. Tardi terkesiap ketika ketua geng
motor itu mencabut samurai. Besi putih itu berkilat dalam cahaya remang. Bunyi “sreengng”
ketika samurai dicabut menghancurkan hati Tardi dan istrinya. Mereka menangis
meski matanya terpejam. “Ya Allah, tolong kami. Kami ikhlas kehilangan apapun,
asal selamatkan kami,” doa Tardi dan istrinya.
“Habisi!” perintah ketua geng motor itu.
Samurai diangkat remaja itu, lalu angin
berdesir oleh sabetan samurai. Saat itulah seseorang meloncat menahan sabetan
samurai dengan goloknya. Perkelahian terjadi sekitar satu menit. Geng motor itu
pun kabur melarikan diri.
**
“Terima kasih banyak, Kang. Tuhan telah
menolong kami melalui tangan Kang Majun,” kata Tardi. “Bila Kang Majun
menginginkan sesuatu, jangan sungkan datang ke sini.”
Besoknya, meski luka masih terasa nyeri
dan perih, Tardi membawa uang ke bank sebesar lima belas juta rupiah. Tardi dan
istrinya merencanakan untuk membeli sepeda motor seorang guru yang baru dibeli
sebulan lalu. Tapi sebelum mereka ke rumah pak guru itu, Kang Majun datang.
“Wah, maaf mengganggu ya. Kang Majun ini
ingat kemarin yang dikatakan kalian berdua, bila menginginkan sesuatu, datang
saja ke sini. Kang Majun ini ingin membeli sepeda motor untuk jualan sayuran.
Bila punya lima belas juta rupiah....”
Tanpa bicara sepatah pun, Tardi segera
mengambil uang dan memberikannya kepada Kang Majun. Tiga hari kemudian Tardi
mengambil uang lagi untuk membeli rumah di kampung tetangga. Tapi sebelum Tardi
dan istrinya berangkat ke kampung tetangga itu, Kang Majun datang dan meminta
uang untuk membeli rumah. Beberapa hari kemudian Kang Majun datang lagi meminta
uang untuk membeli gerobak dagangan. Lalu datang meminta uang untuk membeli
tanah, modal usaha, membeli beras, ternak, bibit tanaman dan pupuknya, dan
entah untuk apa lagi.
“Kang, sudah lebih dari dua ratus juta
rupiah uang kita diminta Kang Majun. Kita sendiri, selain belanjaan pertama
itu, belum menikmatinya lagi,” kata istrinya.
“Tapi berapapun yang dimintanya jadi
terasa murah bila mengingat nyawa kita telah diselamatkannya,” jawab Tardi.
Betul saja, hari-hari berikutnya Kang
Majun masih datang meminta ini meminta itu. Dan akhirnya uang tabungan Tardi
habis. Setelah Kang Majun pulang, tetangganya ada yang datang ke rumah Tardi.
“Wah, selamat. Tadi saya lihat Kang
Majun baru pulang dari sini,” kata tetangganya itu. “Berarti kalian pun diberi uang
untuk membeli rumah sederhana, ya?”
“Memangnya kamu diberi uang?” Tardi
malah balik bertanya.
“Semua orang miskin di kampung kita ini
sepertinya dikasih oleh Kang Majun. Saya ini sudah tiga puluh tahun berkeluarga
tapi masih mengontrak rumah tidak selesai ini. Kang Majun membelikan rumah
seharga tiga puluh juta rupiah di sebuah kampung terpencil. Saya akan pindah
rumah dan alih profesi jadi peternak ikan lele. Ada juga yang diberinya
sebidang tanah, gerobak-gerobak untuk jualan beserta modalnya, uang untuk
membayar tunggakan sekolah anak-anak, dan banyak lagi.”
Tardi dan istrinya saling memandang.
Lalu keduanya menangis, entah menyesali apa. ***
Cilembu, 6 April 2016
Cerpen ini dimuat Harian Rakyat Sultra, 13 November 2017
0 Response to "MENANG UNDIAN"
Posting Komentar