PEREMPUAN SUNYI dan SAUDARANYA
Orang-orang
menyebut saya Perempuan Sunyi. Mungkin karena keberadaan saya tidak ditandai
dengan suara. Saya tidak berbicara, apalagi keras, apalagi berteriak. Sering
ada yang bertamu ke rumah Nenek, setelah lama berbincang dengan Nenek atau
Kakek, baru menyadari kehadiran saya di kursi pojok sedang membaca buku.
“Oh, itu Anelis
cucu Ibu itu, ya?” tanya tamu sambil tersenyum kepada saya. Nenek selalu
mengangguk menjawab pertanyaan seperti itu. Sang tamu kemudian menghampiri
saya. “Oh, cantik sekali. Rambutnya begitu indah, matanya begitu cerlang.”
Nenek selalu
tersenyum mendengarnya. Mungkin karena tahu, bila tidak ada Nenek, komentar
tamu atau orang lain yang melihat saya itu sedikit ada penyimpangan. Mereka
akan mengatakan seperti ini: “Kasihan sekali, cantik-cantik kok bisu, tuli dan
lumpuh.”
Apapun komentar
mereka, saya akan tersenyum. Ya, karena saya tidak bisa bicara. Sudah lama saya
berlatih, setiap ingin bicara atau berteriak saya mengalihkannya dengan
tersenyum. Karena suara yang keluar dari mulut saya hanya melenguh. Dan saya
tidak menyukai suara lenguhan.
**
Kata Nenek, saya
sudah bisu, tuli dan lumpuh sejak lahir. Meski begitu, ketika saya lahir ada
suara tangis bayi yang keras. Suara tangis bayi yang membuat pendengarnya
bersyukur. Tapi suara tangis itu bukan keluar dari mulut saya. Suara tangis itu
kepunyaan saudara kembar saya, namanya Inalis.
Nenek selalu
bilang, di antara kami berdua yang lebih mirip Ibu adalah saya. Ibu adalah perempuan
yang cantik dengan rambut indah
bergelombang, mata cerlang bercahaya, dan senyum seperti bunga yang selalu
mekar. Dan Ibu pun perempuan sunyi; bisu, tuli dan lumpuh.
Meski mengalami
keterbelakangan mental, tubuh Ibu nyaris normal. Kulit kuning langsat seperti
bercahaya, halus mengundang orang untuk membelainya. Ibu bisa berjalan
mengesot, bisa melakukan apapun keperluannya sendiri. Mandi, ganti baju,
mengambil makanan dari meja makan, Ibu bisa melakukannya. Ibu pernah sekolah,
tapi hanya beberapa tahun. Entah kenapa Ibu tidak melanjutkan sekolah, Nenek
tidak pernah bercerita.
Suatu hari sepulang
bermain di teras belakang rumah, Ibu menangis. Melenguh-lenguh, lalu diam
dengan airmata mengalir membasahi pipinya yang ranum. Tangis yang tidak biasa.
Karena berhari-hari kemudian, berminggu-minggu kemudian, tangis itu tidak
berhenti.
Nenek dan Kakek
tentu saja bingung. Tapi kemudian Ibu melupakan tangisnya. Ibu sibuk lagi
dengan keterampilan menyulamnya, keterampilan yang diajarkan Nenek sejak kecil.
Apapun disulamnya. Taplak meja, sarung bantal, bajunya, hiasan dinding, dan
apapun. Sebagian hasil sulaman Ibu dibagikan kepada saudara-saudara yang datang
dan tetangga.
Tapi Nenek dan
Kakek tidak berhenti bingungnya. Karena beberapa bulan kemudian Ibu tidak juga
datang bulan. Waktu dibawa ke dokter, Ibu dinyatakan hamil. Waktu itu usia Ibu
dua puluh tahun. Sampai saya dan Inalis lahir, Nenek dan Kakek tidak tahu siapa
sebenarnya ayah kami. Ibu selalu menangis setiap ditanya. Ibu pun meninggal
waktu melahirkan saya dan Inalis.
**
Kata orang, saya
dan Inalis seperti pinang dibelah dua. Hanya yang membedakannya, Inalis lebih
besar dan tinggi. Karena sejak kecil Inalis biasa bergerak, menari, menyanyi,
dan bermain berlari-larian. Sementara saya hanya menemaninya dari pinggir
halaman, tersenyum, bertepuk-tangan, dan ngesot untuk mengejarnya.
Inalis sangat
menyayangi saya, seperti juga saya sangat menyayanginya. Inalis selalu membantu
saya. Saya dipangkunya untuk dipindahkan dari lantai ke kursi atau tempat
tidur. Saya digendongnya ketika ingin melihat pawai kendaraan hias saat
perayaan hari kemerdekaan. Saya diberinya makanan dan mainan apapun yang
dipunyainya.
Hanya saja
Inalis tidak pernah bisa menguasai bibirnya. Bila sudah marah, bicaranya akan
panjang, mengomel mengatai apapun yang tidak berhubungan dengan yang membuatnya
marah.
Suatu hari saya
tidak mau diajaknya bermain.
“Setiap hari
saya pangku, saya gendong, saya beri apapun yang saya punya; eh balasannya
penolakan hanya dajak bermain. Saudara seperti apa kamu itu?” kata Inalis
dengan wajah sinis. “Dasar, anak tidak tahu diri. Sudah lumpuh, bisu dan tuli
lagi!”
Inalis tidak
tahu kepala saya pening sehingga saya tidak kuat bermain.
Tentu saja saya
terkejut. Saya tidak menyangka Inalis mengatakan kalimat-kalimat pedas seperti
itu. Saya menangis saking sedihnya. Tapi Inalis malah seperti yang berbahagia,
merasa puas, melihat airmata saya mengalir menyusuri pipi.
“Makanya kamu
bicara! Jangan hanya ah-uh auh-ah, seperti monyet! Tahu diri, kamu itu manusia
tidak berguna!” katanya semakin membuat airmata saya banjir.
Sejak itu saya
tidak ingin bisa bicara seperti Inalis bicara. Keinginan yang sejak saya ingat
dan sadar bahwa saya tidak bisa bicara seperti itu, berhenti begitu saja. Seperti
sinar matahari yang tertutup awan dan hujan. Saya lalu lebih mempercayai
tersenyum sebagai kata-kata. Itulah awalnya mengapa saya dikenal sebagai
Perempuan Sunyi yang selalu tersenyum.
“Coba, kamu tahu
apa arti senyum Perempuan Sunyi itu kali ini?” tanya seseorang kepada temannya
saat melihat saya sedang menyulam di teras rumah. Saat itu senja turun dengan matahari
jingga kekuningan.
“Mungkin dia
bangga bisa membuat sulaman,” jawab temannya.
“Bukan. Dia
pasti berbahagia begitu menyadari bahwa dirinya tidak bisa bicara.”
“Haha... masa
karena bisu jadi bahagia?”
“Iya, karena dia
tahu, banyak berkata-kata seringkali menutup orang untuk tersenyum.”
Mendengar
percakapan seperti itu senyum di bibir saya semakin merekah.
**
Setelah kami
dewasa, kata-kata seperti kutukan bagi Inalis. Dia sangat baik kepada siapapun.
Tapi begitu sudah berselisih, mulutnya seperti senapan yang tidak akan berhenti
sebelum ada peristiwa besar. Sekali waktu, saat Inalis sekolah SMP, teman
akrabnya sendiri dikatakan pelit, bodoh, tidak tahu diri, kurang ajar,
sengsara, buruk rupa, pecundang, dan entah apa lagi; hanya karena tidak
memberinya pinjaman buku. Tentu saja temannya itu marah. Dia memutuskan
hubungan pertemanannya.
Saya sendiri
tidak sekolah. Nenek mengundang guru les ke rumah. Saya belajar membaca,
berhitung, dan menggambar. Saya sangat senang membaca. Saya bisa belajar banyak
hal dari bacaan. Ketika guru les saya harus meneruskan kuliah ke luar kota,
saya tidak mau lagi belajar. Saya tidak mau guru baru. Lagipula, setelah bisa
membaca, saya bisa belajar sendiri.
Lulus kuliah,
bekerja, Inalis menikah dan berpisah rumah dengan Nenek dan Kakek. Saya
diajaknya juga tinggal di rumah Inalis. Suaminya baik mengijinkan saya ikut
tinggal dengan mereka. Lima tahun mereka berkeluarga tapi belum dikasih momongan
juga. Sekali waktu Inalis dan suaminya berselisih. Seperti yang sudah-sudah,
mulut Inalis seperti senjata yang tidak berhenti menembak.
“Dasar lelaki
mandul, miskin, pecundang, tidak tahu diri, pemalas, pengangguran, dan....”
Saya tidak hapal apa lagi yang dikatakan Inalis. Suaminya kemudian pergi.
Beberapa hari kemudian datang surat cerai dari pengadilan.
Sebulan kemudian
Inalis berselisih dengan tetangganya. Setahun kemudian Inalis dijauhi oleh semua
tetangganya. Hidup Inalis seperti terasing. Hidup menyendiri di tengah
keramaian. Bertemu dengan saya para tetangga itu menyapa dan tersenyum. Tapi
begitu melihat Inalis, mereka seperti tidak saling mengenal.
Sekali waktu
Inalis menangis. Ujung bibirnya robek berdarah. Awalnya hanya karena ada orang
yang lewat tidak bilang permisi. Mulut Inalis lalu menjadi senjata lagi
mengeluarkan perbendaharaan kata yang begitu tidak terbayangkan banyaknya. Setiap
orang itu lewat, mulut Inalis menembaknya dengan jutaan kata-kata. Orang itu
awalnya bingung. Tapi begitu tahu kata-kata sumpah serapah dan ejekan itu
ditujukan kepadanya, orang itu memukul Inalis.
Inalis memeluk
saya. “An, tahukah engkau, sejak dulu, sejak kita kecil, aku ingin sepertimu,”
katanya sambil menangis. “Aku ingin bisu sepertimu.”
Saya tentu saja tersenyum
sambil membelai rambutnya.
**
Sekali waktu
keinginan Inalis untuk bisu itu terkabul. Dia tidak bisa berteriak, menembak
orang dengan kata-katanya yang tajam, bahkan melenguh pun tidak bisa. Saya
memeluknya. “Bicaralah, In, bicaralah seperti biasa,” bisik saya. Tapi Inalis
membisu.
Darah segar
membasahi tangan saya saat tersentuh belati yang menancap di dada Inalis.
**
Cerpen ini dimuat Media Indonesia 10 September 2017
0 Response to "PEREMPUAN SUNYI dan SAUDARANYA"
Posting Komentar