SAYA ADA?
Sampai di persawahan matahari baru
terlihat semburat merahnya di langit timur. Tapi yang panen sudah menyelesaikan
satu petakan besar. Tukang sabit maksudnya, yang sudah menyelesaikan satu petakan
besar. Ibu-ibu yang akan ngagebot
belum memulai. Mereka masih berkumpul di gubuk, menghabiskan sarapan nasi
bungkus.
Tukang sabit itu yang didekati.
“Kang, saya ada?”
Tukang sabit menghentikan
pekerjaannya. Di tangan kirinya segenggam rumpun padi, di tangan kanannya
sebuah arit.
“Dari kemarin juga tidak ke sini
lagi.”
“Berarti pernah ke sini?”
“Tentu saja. Dari mulai panen juga
dia selalu ke sini. Kalau sudah duduk di pematang sawah, melihat kami yang
panen, seperti yang melamun. Akhirnya mengeluh, entah kepada siapa. Katanya,
kenapa panen sekarang mah tidak
seramai dulu. Dulu sawah jadi tempat segalanya. Tempat bermain. Tempat harapan.
Tempat mojang dan jajaka saling mengikat janji, lalu ka bale nyungcung setelah batu turun keusik naek. Tempat
bercengkrama, berburu burung sawah, memancing belut dan ikan, kokoleceran, meniup seruling, sisindiran.
“Lalu?”
“Sekarang, panen teh seperti yang dikejar-kejar bayangan.
Rumpun padi dibabat memakai sabit, lalu digebot.
Pasti diarit dan digebot mah lebih
cepat daripada memakai ani-ani dan diirik.
Tidak masalah sebagian padi jatuh ke sawah. Tidak masalah yang gacong tidak merasakan lagi mengirik
padi sambil mendengarkan dongeng radio sore-sore. Hasil gacongnya, sekarang mah kan sudah ditunggu oleh bandar di pinggir
jalan. Jadi ke rumah hanya membawa uang. Buat makan sehari-hari, tetap saja
beras raskin yang diperjualbelikan.”
Tukang sabit menarik nafas panjang,
menyimpan sabit dan padi di tangannya.
“Kata-katanya selalu seperti yang melamun
sampai jauh. Kata Mamang, sudah begini jamannya, Jang. Praktis kalau membawa
uang ke rumah. Kebutuhan sehari-hari, sekarang ini bukan lagi hanya beras dan
ikan asin saja. Tapi juga televisi, video player, telepon genggam, kulkas.
Kalau tidak serba cepat, wah tidak terbeli kebutuhan itu. Suka melamun
berkepanjangan kalau Mamang bicara begitu. Lalu katanya, ‘Yaitu, Mang, bukan tidak
menerima dengan jaman yang berubah. Jaman itu seperti takdir, kita harus selalu
menghadapinya. Tapi tidak menerima kenapa kita mesti berubah. Segala serba
cepat, seperti yang sedang berlomba. Padahal, kita berlomba dengan siapa?
Sementara yang hilang, yang hilang dari hati ini, tidak dianggap sama sekali.
Kita ini pura-pura modern, pura-pura maju, padahal ada yang hilang dari hati,
yang sangat berharga, kita pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak kehilangan.’
Setelah bicara begitu, lalu dia pergi.”
“Ke mana?”
“Entahlah. Tapi katanya mau
demonstrasi.”
Tidak akan salah, kalau demonstrasi
pasti ke kota. Di depan gedung DPR sekumpulan orang sedang demonstrasi. Katanya
sedang mendemo tarif rumah sakit yang terlalu mahal. Waktu yang memimpin demo
turun dari panggung, itu yang dihampiri.
“Saya ada?”
Juru bicara demo itu menatap, lalu
memandang langit kelabu. Entah apa yang ada di pikirannya. Apalagi di
hatinya.
“Saya ada?”
“Yaitu yang membuat kemarin ramai
di sini. Setiap hari yang demo itu kan ribuan orang jumlahnya. Mungkin tidak
akan berkurang, karena masalah yang didemo juga selalu ada. Rumah sakit mahal,
beas raskin diperjualbelikan, uang pajak milyar-milyar dikorupsi, proyek apapun
selalu dipotong siluman, penerimaan
pegawai negeri disogok, dan masih berjejer masalah di negeri ini. Nah, dia ikut
jadi juru bicara.”
Juru bicara demo itu diam.
“Apa katanya?”
“Katanya: ‘Mendemo orang lain itu
gampang. Kesalahan orang lain itu jelas terlihat. Bagaimana kalau yang didemo
itu diri kita sendiri, hati kita sendiri, pikiran kita sendiri. Ke gedung apa
kita harus datang kalau yang didemo itu diri sendiri? Apa yang harus kita
pidatokan kalau yang kita demo itu hati kita sendiri? Gampang sebenarnya
menghitung kesalahan diri sendiri juga, karena kalau kita jujur setiap
kesalahan itu terasa. Tapi apakah kita ikhlas mengakuinya? Apakah kita berani
menunjuk hidung sendiri?’ Tentu saja ribuan orang yang berdemo terdiam, seperti
jengkrik terkejut karena ada orang yang lewat. Lalu dia bicara lagi: ‘Sudah
saatnya kita mendemo diri sendiri. Mari kita tunjuk hidung sendiri. Begitu
banyak kelakuan yang tidak kita kehendaki, dan begitu banyak kehendak yang
tidak kita lakukan. Itu semua harus kita demo. Harus terus-terusan kita demo!”
Juru bicara demo itu diam.
“Terusnya bagaimana?”
“Ribuan orang yang berdemo itu
awalnya diam. Tapi kemudian ada yang mengomentari seorang dua orang. Katanya,
siapa itu yang bicara? Mengapa berani-berani mendemo tukang demo? Kata yang
lain, tidak salah lagi itu oknum. Atau penyusup yang sengaja disusupkan oleh
musuh. Kata yang lain, turunkan! Turun...! Akhirnya dia pada narik, lalu
dilemparkan ke pinggir jalan.”
“Sekarang ke mana?”
“Katanya terus mendemo, mendemo
dirinya sendiri.”
“Ke mana?”
“Katanya ke surau di pinggir
sawah.”
Waktu itu juga langsung disusul ke
surau. Di teras surau yang ada seorang petani yang selesai mencangkul sawah.
“Mang, saya ada?”
“Amang juga kenapa istirahat di
sini, siapa tahu dia ada lagi. Ternyata tidak ada. Kemarin-kemarin mah ada di dalam surau. Kelihatannya
sedang merenung, menunduk. Tapi yang terdengar jelas suara tangisnya. Enak
mendengarnya juga, yang menangis seperti yang begitu bersedih. Amang juga suka
mendengarnya. Kalau bisa ingin menangis seperti itu. Ingin punya waktu untuk
menangis seperti itu. Saat Amang sedang asyik mendengar yang menangis, dia
berhenti lalu keluar surau. Katanya: ‘Bukan di sini... bukan di sini tempat
saya yang sebenarnya. Tempat saya itu di alam ramai. Masih besar tanggung jawab
yang mesti diselesaikan di alam ramai. Bukan di sini...’. Lalu dia pergi.”
“Ke mana?”
“Katanya ke pasar, mau berdagang.”
Disusul ke pasar, ternyata dia
sudah pergi. Pedagang pindang yang menceritakan dia.
“Kemarin memang berdagang di sini.
Tapi tidak lama. Dagangnya sih terlalu polos.”
“Polos bagaimana?”
“Kalau mau berdagang di sini,
mestinya segala ilmu itu dipakai. Apakah itu ilmu yang kelihatan atau yang
tidak kelihatan. Ilmu yang tidak kelihatan, para pedagang di sini memakai
penajem segala macam. Ilmu yang kelihatan, kurangilah timbangan seons dari
sekilo, kan jelas untungnya. Eh, dia berdagang polos, ya tentu dagangannya
numpuk terus.”
“Rugi?”
“Tentu saja. Entah bagaimana
terusnya karena dia juga tidak bicara lagi masalah dagang. Katanya mau beristirahat
dulu.”
“Istirahat di mana?”
“Di rumahnya.”
Rumahnya di pinggir danau. Enak
buat istirahat. Sejuk. Tapi sepertinya dia bukan sedang istirahat. Dia hanya
melarikan diri dari kesumpekan.
Diketuk beberapa kali tidak ada
yang menjawab. Eh, ternyata pintunya tidak terkunci. Didorong, kepala masuk sambil mengucapkan
salam.
“Hallooo... selamat siang...!”
Tidak ada yang menjawab.
“Saya ada...?”
Suara yang perlahan. Tapi kalimat
“saya ada?” tidak berhenti, bolak-balik di dalam rumah. Mantul ke sana ke mari,
mantul ke gorden mantul ke plafon mantul ke jendela mantul ke tiang mantul ke
meja mantul ke ubin mantul ke tembok... lalu menyelusup, menyelusup ke karpet
menyelusup ke gelas menyelusup ke lemari menyelusup ke lampu menyelusup ke
selimut menyelusup ke piring menyelusup ke baju menyelusup ke kasur... terus
berdengung, berdengung di dalam rumah berdengung di dalam kamar berdengung di
dalam galon berdengung di toilet berdengung di dalam dada.
Perasaan, iya perasaan, sudah berbulan-bulan
saya di rumah. Sendirian.
***
Nopember-Desember 2012 / 2013
Ngagebot = melepaskan bulir-bulir
padi dari tangkainya dengan cara memukulkan pohon padi ke kayu.
Teh, mah(Sunda) = kata yang
menegaskan
Ka bale nyungcung = menikah
Batu turun keusik naek (pribahasa)
= suka sama suka
Kokoleceran = bermain baling-baling
Diirik = melepaskan bulir-bulir padi dengan
diinjak-injak
Gacong = kuli memanen padi
Mamang, Amang = paman
0 Response to "SAYA ADA?"
Posting Komentar