SANG PENULIS
Banyak yang mengutip kalimat awal dari cerpen ini untuk disimpan di blog, kata mutiara, skripsi sampai dinyanyikan. Tapi hampir semua menganggap kalimat itu diambil dari puisi saya. Padahal yang benarnya diambil dari cerpen ini.
“Ajari aku menggunakan pena,” kata anak desa berkepala pitak
itu. “Akan kutulis gemercik air, udara dingin, kabut senja, sampai daun gugur.”
Para mahasiswa yang sedang ber-kkn (kuliah kerja nyata)
mengisahkan sejarah menulis, meniru-niru buku. Anak itu berkaca matanya ketika
ingat begitu banyak yang belum tercatat di desanya. Barisan pohon, kebiasaan
penduduk, suasana hujan, sunyi jengkrik; siapa yang pernah mengabadikannya?
Atau tidak ada yang sanggup mengabadikan nyeri selain hati?
Mulailah dia menghitung bintang, mengukur jarak,
merasa-rasakan angin menyisir sampai topan membadai. Sepuluh ribu pohon hilang
tinggal tunggulnya, sehektar sawah mengering setiap bulannya, sebelas orang
penduduk mendadak beringas cepat naik darah setiap harinya.
Di persimpangan jalan desa, anak itu dicegat serombongan
orang. Wajahnya galak. Seperti anjing mau menyalak. Tapi pimpinannya, yang
berjas dan menenteng notes, tersenyum ranum.
“Daripada menulis-nulis untuk catatan tidak berguna, lebih
baik kerja buat perusahaan kami. Honornya besar, bisa beli barang sepasar,”
kata sang pemimpin. Senyumnya selalu ranum. Si penulis tidak berkata-kata,
karena kakinya yang diinjak luka-luka.
Mulailah dia menulis keseharian para majikan. Daftar belanjaan
nyonya, kegiatan bapak, melaporkan kata-kata mereka, mengabarkan cuaca. Hidup
penulis itu mewah. Serba melimpah. Tapi dia lelah. Hidupnya gelisah. Ada yang
mendesak dituliskan, selain jumlah dan jarak dan batas. Masih ada nyeri, ada
rindu, ada senyap.
Ketika tulisannya tentang partai-partai yang merantai
diketahui majikannya, penulis itu diinterogasi. Apa maksud menulis itu? Dari
siapa mendapat data? Jaringannya sama siapa? Komuniskah? Atau sekedar taktik
politik?
Penulis itu sebenarnya ingin menjawab. Tapi dia menyerah,
karena kakinya yang diinjak berdarah-darah. Rumahnya lalu digeladah. Buku-buku
dan catatan-catatannya dibakar oleh ribuan orang yang berkobar. Si penulis
melihatnya dari tempat pesakitan. Keningnya telah dicap: Teroris.
Dia menangis. Bukan karena nasibnya tragis. Akan dihukum
mati. Tapi catatannya habis. Jadi tidak akan ada yang tahu: di kantor-kantor,
di perusahaan-perusahaan, di rumah-rumah, di jalan-jalan, di hutan-hutan, di
lautan, berjuta tikus sedang berpesta. Akan menenggelamkan negara.
Rancakalong, 27 November 2002
0 Response to "SANG PENULIS"
Posting Komentar