SERULING KEBIJAKSANAAN
Lampung Pos, 28 Juli 2013
Hiduplah satu keluarga miskin. Mereka tinggal di sebuah
gubuk. Gubuk yang terbuat dari susunan kardus. Gubuk yang luasnya hanya 2 x 2 meter. Gubuk yang tanpa
ventilasi dan jendela. Gubuk yang dibuat di bawah pohon loa yang besar.
Keluarga miskin itu terdiri dari Ayah, Ibu, dan dua orang anak. Anak
pertama bernama Mawar. Usia Mawar enam tahun. Anak kedua bernama Melati. Usia
Melati empat tahun. Mawar dan Melati tidak sekolah. Karena ibu bapaknya tidak
punya uang. Mawar dan Melati sering bersedih. Bila anak seusianya pergi sekolah,
Mawar dan Melati selalu memandangnya. Mawar dan Melati ingin sekolah.
“Jangankan
untuk sekolah. Untuk makan pun kita sering kekurangan,” kata Ayah. Mawar dan
Melati berkaca-kaca matanya. Ibu tertunduk sedih. Pekerjaan mereka adalah
mengemis. Mereka mengemis di pasar, jembatan penyeberangan, halaman
masjid, halaman
gereja, atau di
stopan.
Suatu hari ada seorang kakek lewat di depan gubuk
mereka. Kakek itu ikut beristirahat dan meminta segelas air.
“Ada juga air putih, Kek,” kata Ibu.
“Air putih lebih bagus, karena Kakek
kesukaannya air putih.”
Waktu itu matahari bersinar terik. Ayah, Ibu, Mawar
dan Melati tidak pergi mengemis.
“Dan tidak ada makanan. Karena kami juga belum
makan,” kata Ayah.
“Tidak apa, karena Kakek tidak lapar. Kakek malah
mau memberi sesuatu kepada kalian.”
Kakek itu
memberikan sebuah seruling.
“Ini adalah seruling kebijaksanaan. Seruling ini
bisa membantu kesulitan kalian. Syaratnya, kalian harus bekerja keras dan rajin
bersedekah.”
“Sedekah bagaimana, Kek… untuk makan saja kami
kesusahan,” kata Ayah.
“Kemiskinan adalah cobaan. Mengemis adalah pekerjaan
yang hina. Karenanya kalian harus rajin bekerja. Jangan hanya mengandalkan
pemberian orang lain. Jadikanlah pemberian orang lain sebagai modal. Maka
kemiskinan itu lambat laun akan diganti dengan kemakmuran. Setelah itu kalian
harus menjadi pemberi sedekah. Kewajiban orang miskin adalah bekerja keras.
Kewajiban orang kaya adalah berderma, menolong orang lain.”
Kakek itu pun pergi. Ayah, Ibu, Mawar dan Melati
mengiringinya dengan tatapan tidak mengerti. Meski begitu, Ayah mencoba juga meniup
seruling. Suaranya merdu. Mengalun-alun sampai ke tempat jauh. Orang-orang
terpana mendengarnya
“Siapa ya yang meniup seruling. Begitu indahnya…,”
kata orang-orang
Belum juga satu menit Ayah berhenti meniup seruling,
orang-orang berdatangan. Ayah, Ibu, Mawar dan Melati tentu saja terkejut. Mereka
menyambut para tamu di depan rumah.
“Bapakkah yang meniup seruling?” tanya seorang tamu.
“Ya, saya yang meniup seruling….”
“Oh Bapak, suara serulingmu begitu indahnya. Terimalah
sedekah dari kami. Kami ingin berbagi dengan orang yang meniup seruling begitu
indahnya.”
Orang-orang pun mensedekahkan apa yang dibawanya. Ada
yang memberi makanan. Ada yang memberi uang. Ada yang memberi perhiasan. Ada
yang memberi ternak. Ada yang memberi
bibit tumbuhan. Ada yang memberi mobil. Ada yang memberi rekening bank.
Setiap hari orang-orang berdatangan ke rumah
keluarga miskin itu. Setiap hari orang-orang bersedekah. Tepat satu bulan sejak
Ayah meniup seruling orang-orang berhenti berderma. Tapi keluarga miskin itu sudah
menjadi kaya raya. Mereka membeli tanah. Mereka membangun rumah. Mereka membuat
pabrik. Mereka menanami kebun yang luas. Mereka beternak ayam, bebek, domba dan
sapi. Tapi mereka merasa belum puas. Mereka masih ingin diberi. Tapi begitu
ayah mau meniup lagi seruling, serulingnya sudah hilang entah ke mana.
Seminggu kemudian kepada keluarga kaya itu berdatangan
orang meminta sedekah dan pekerjaan. Awalnya keluarga itu menyambut setiap
tamunya. Mereka masih ingat apa yang dikatakan Kakek pemberi
seruling itu... kewajiban orang kaya adalah berderma, menolong orang lain.
Tapi seminggu kemudian mereka merasa terganggu. Awalnya
mereka menghindar bila ada yang meminta-minta. Mereka pura-pura tidak ada di
rumah. Kemudian mereka
sering marah-marah bila ada orang meminta sedekah. “Kamu ini setiap hari meminta
sedekah. Apa tidak ada pekerjaan lain lagi? Pengawal… usir saja orang ini!”
kata Ayah suatu pagi.
Suatu hari seorang kakek datang ke rumah orang miskin
yang menjadi kaya
itu. Seorang pengawal
menghadangnya di depan pintu. “Katakan kepada tuanmu, seorang kakek ingin
memberinya sebuah seruling,” kata kakek itu.
Mendengar kabar itu keluarga kaya itu segera
menyambut si Kakek.
Mereka membawal si
Kakek
ke tengah rumah. Mereka menyuguhi si Kakek dengan minuman dan makanan
yang mewah.
“Betulkah Kakek ingin memberi lagi kami
sebuah seruling?” tanya Ayah
“Ya, Kakek membawa sebuah seruling. Ini adalah
seruling kebijaksanaan,” kata si Kakek.
Ayah segera pergi ke belakang rumah untuk meniup
seruling. Ibu, Mawar dan Melati menyusul di belakangnya. Mereka tidak
memperdulikan si Kakek
yang pamitan. Ayah mulai meniup seruling. Suaranya mengalun-alun sampai ke
tempat jauh. Orang-orang terpana mendengarnya.
“Siapa ya yang meniup seruling.
Begitu jeleknya…,”
kata orang-orang.
Belum juga satu menit Ayah berhenti meniup seruling,
kekayaannya mulai berkurang. Tanaman di kebunnya mengering dan mati. Ternak-ternaknya
sakit dan mati. Padi di lumbungnya membusuk. Simpanan uangnya sobek-sobek. Simpanan
perhiasannya ada yang mencuri. Pabrik-pabriknya kebakaran.
Hari berikutnya keluarga kaya itu mulai menjual
kekayaannya. Kebunnya, sawahnya, kolamnya, pabriknya, dijual. Tapi hasil
penjualan kekayaannya itu secepat kilat habis lagi. Hari berikutnya keluarga
kaya itu menjadi miskin lagi. Hari berikutnya keluarga miskin itu menyesali
kekeliruannya. ****
Dongeng Ini Didukung Oleh:
Dongeng Ini Didukung Oleh:
0 Response to "SERULING KEBIJAKSANAAN"
Posting Komentar