SI PENGKOR
Tribun Jabar, 12 Juli 2015
Anak berambut carang dan pirang itu
makan paha ayam lahap sekali. Pipinya yang hitam berdaki kembang kempis.
Giginya yang kotor dan rusak tidak berhenti mengunyah. Sesekali disedotnya air
dari gelas pelastik.
Orang-orang memandangnya sekilas, lalu
melengos. Ada juga yang mencibir. “Dasar, anak tidak tahu sopan santun,”
gumamnya entah kepada siapa.
Ya, karena saat ini adalah bulan
Ramadhan. Anak berambut carang dan pirang itu duduk di trotoar depan halaman
masjid. Tempat yang strategis karena orang yang ada di sekitar situ akan
melihatnya. Anak itu lalu berjalan. Kakinya yang sebelah pengkor, karenanya berjalannya tidak benar. Seperti yang mau jatuh
tapi tidak jadi. Tangan kirinya membawa box dus entah berisi makanan apa. Tangan
kanannya masih sibuk menyuapi mulutnya dengan roti pisang.
Ya, anak itu adalah si Pengkor. Usianya
sebenarnya sudah sepuluh tahun. Tapi karena keterbelakangan mental dia tidak
bisa berkomunikasi dengan baik. “Dasar bodoh,” begitu biasanya orang-orang
bergumam bila gagal berkomunikasi dengan si Pengkor. Si Pengkor nyengir
menanggapi gerutuan apapun. Komunikasi yang paling lancar dengan si Pengkor
adalah dengan memberinya makanan. Dia akan cepat mengambilnya, memakannya, dan
nyengir memperlihatkan giginya yang kotor.
Tapi siapapun yang memberinya makanan
biasanya cepat menarik tangannya. Tentu saja mereka tidak mau bersentuhan
tangan dengan si Pengkor. Karena tangan si Pengkor kotor. Dia tidak mengenal
mencuci tangan, apalagi memakai sabun. Padahal tangannya sudah mengais-ngais
tempat sampah, mengelap ingus, bahkan cebok yang tidak bersih.
“Kalau Ade tidak makan, ih... takut
seperti si Pengkor!” kata seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya di taman
kota.
“Kalau Ayang tidak belajar, ih...
takut bodoh seperti si Pengkor!” kata seorang bapak saat menuntun anaknya
belajar.
“Kalau Nanda tidak mandi, ih... takut
badan bau dan wajahnya buruk seperti si Pengkor!” kata seorang nenek saat
membujuk cucunya mandi.
Tentu saja tidak ada orang tua yang
mau mengadopsi si Pengkor menjadi anaknya. Siapapun tidak akan perduli ada di
mana si Pengkor hari ini. Di tempat sampah, di sungai kecil yang airnya
bercampur limbah pabrik, di trotoar mencari barang bekas, di tong-tong sampah
mencari makanan sisa.
**
Selama hidupnya si Pengkor tidak
pernah menjadi perhatian umum di kota saya. Dia ada tapi seolah tidak ada.
Kecuali hari ini saat si Pengkor makan paha ayam di trotoar jalan depan masjid.
Semua orang yang memandangnya mencibir. Merasa maklum tapi kadang sambil
menggerutu.
“Dasar anak gendeng. Boro-boro tahu
ibadah, menghormati bulan puasa saja tidak bisa!” Begitu gerutuan orang-orang
bila disimpulkan.
Di kota saya, kota kecil kecamatan,
bulan Ramadhan selalu disambut dengan gembira. Dua hari menjelang sholat
tarawih masjid agung dibersihkan. Dindingnya dicat baru. Halamannya dibersihkan
dari rumput dan sampah. Semuanya dilakukan dengan kerja bakti. Pengurus masjid sejak
pagi mengumumkan kerja bakti itu melalui speaker.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, yang ingin
memakmurkan masjid, mari kita bekerja bakti membersihkan rumah suci, rumah
Allah SWT. Bagi yang tidak sempat tidak apa, pahalanya akan sama saja, yaitu
dengan mengirim makanan bagi yang bekerja bakti. Apalagi dengan menyisihkan
dana untuk perbaikan-perbaikan masjid. Kepada dermawan yang sudah memberikan
hartanya untuk kemakmuran masjid, semoga Allah SWT membalasnya dengan rijki
yang melimpah. Mari kita berlomba-lomba mengisi bulan Ramadhan ini dengan
segala amal baik. Karena nanti semua amal baik itu yang akan menyelamatkan kita
di akhirat.”
Nyatanya masjid agung tidak pernah
kekurangan para dermawan. Di kampung saya memang banyak orang yang kaya. Mereka
bekerja di kota-kota besar. Ada yang menjadi pejabat di pemerintahan. Ada yang
menjadi pengusaha bakso, pengusaha bajigur, pengusaha nasi kuning, dan banyak
lagi.
Setiap menjelang Ramadhan mereka
pulang kampung. Mobil-mobil mahal parkir di pinggir jalan. Lahan kerja tahunan
yang basah bagi para pemuda yang kerjanya serabutan. Mereka menjaga mobil-mobil
itu semalaman. Atau mencuci mobil yang baru datang dan kotor. Menjelang Lebaran
mobil-mobil itu akan bertambah banyak.
Masjid agung termasuk besar untuk
ukuran masjid kecamatan. Tapi begitu sholat tarawih pertama, penuh sampai ke
halaman. Mobil berjajar memenuhi pinggir jalan yang dekat dengan masjid.
Mukena-mukena indah yang kabarnya hanya dijual online di internet, sarung dan
kopiah baru, menjadi penghias yang sholat tarawih. Selesai sholat orang-orang
yang saling mengenal dan hanya bertemu setahun sekali saling melepas kangen. Mereka
saling bertanya kerja di mana, usahanya apa, anaknya berapa.
Siangnya suasana Ramadhan juga terasa.
Sejak ba’da lohor dari pengeras suara masjid terdengar orang ceramah. Lalu
anak-anak belajar ngaji. Pesantren kilat istilahnya. Dan sore menjelang berbuka
tadarus tidak berhenti dari winamp. Makanya kota saya dikenal dengan sebutan Kota
Sholeh.
Di kota saya hanya sedikit rumah makan
yang buka siang hari. Itu pun hanya menyediakan bagi yang sedang dalam
perjalanan. Rumah makan itu seperti tutup. Tapi bila anda sedang dalam
perjalanan dan tidak kuat berpuasa, bertanyalah kepada tukang parkir, anda akan
ditunjukkan rumah makan mana saja yang buka siang hari. Itu semua saking
menghormati bulan Ramadhan.
Bisa dimengerti kalau kota saya merasa
terganggu dengan si Pengkor yang makan di sembarang tempat.
**
Besoknya si Pengkor minum jus buah di
trotoar depan masjid. Orang-orang yang melihatnya bukan hanya melengos dan
menggerutu, tapi sudah mulai benci. “Inilah akibatnya bila anak tidak dididik
sopan santun, makan minum di depan umum saat orang lain khusu menunaikan ibadah
puasa,” tulis sebuah status di facebook dengan gambar si Pengkor sedang
nyengir, tangan kanannya memegang paha ayam dan tangan kirinya memegang jus
mangga.
Besoknya masih juga si Pengkor
makan-makan di trotoar depan masjid. Orang-orang mulai bertanya, siapa yang
memberi makanan si Pengkor? Tapi pertanyaan itu tidak berlanjut karena suatu
sore ketahuan si Pengkor muntah-muntah, lalu pingsan di pinggir jalan.
Orang yang mengenalnya membawa si
Pengkor ke gubuk Nini Jumsih. Gubuk tua yang hampir roboh itu berdiri di
pinggir pembuangan sampah. Nini Jumsih sendiri kerjanya mengumpulkan barang
bekas yang sekiranya masih bisa dijual.
Nini Jumsih adalah satu-satunya
kerabat si Pengkor yang diketahui orang. Sewaktu bayi si Pengkor ditemukan Nini
Jumsih di dalam sebuah kardus di pinggir pembuangan sampah. Sepertinya yang
membuangnya menganggap bayi itu sudah mati. Nyatanya bayi itu menangis meski
lemah.
Tidak ada yang tahu ketika akhirnya si
Pengkor meninggal. Hanya delapan orang yang ikut memelihara jenazahnya,
memandikan dan menguburkannya. Setiap saya berkeliling kota, saya melihat
rembulan itu berwajah sendu dan trotoar masjid kehilangan sahabatnya.
Tentu saja saya bersedih. Meski
seorang bapak yang ikut menguburkan si Pengkor menghibur saya. “Jaman dulu ada
juga anak seperti si Pengkor. Cacat sejak lahir, terlunta-lunta, sakit mental, bodoh,
berwajah buruk.” Bapak itu mengusap-usap punggung saya. “Ketika dia meninggal
tidak ada orang yang merasa bersedih. Tidak ada orang yang merasa kehilangan.
Tapi Rasulullah meneteskan air mata. Rasulullah berkabung beberapa hari.”
Saya menangis. Tapi orang-orang tidak
melihat saya menangis. Orang-orang hanya melengos dan menggerutu saat saya
memakan paha ayam menirukan si Pengkor. Ya, karena saya adalah si Kengkong,
adik si Pengkor yang sewaktu bayi ditemukan Nini Jumsih di semak-semak. **
5-6 Juni 2015
Catatan:
Pengkor = kakinya tidak normal,
karenanya berjalannya tidak benar
Kengkong = tangannya tidak normal,
bengkok ke sebelah dalam
0 Response to "SI PENGKOR"
Posting Komentar