BULAN DI LANGIT KOTA
Cerpen ini pernah dipublikasikan Pikiran Rakyat, 24 Januari 2012, dengan judul Bulan Perawan.
Malam belum begitu tua. Bulan yang bersinar penuh tersaput gumpalan awan hitam.
Sejak pagi sampai malam, di jalan-jalan kendaraan memang tidak berhenti,
mengeluarkan gas beracun, mengotori langit. Pada dasarnya, ketidakindahan alam,
manusia juga yang membikinnya. Berulangkali saya memahami kebenaran pernyataan
itu. Benarkah? Benarkah ketidakindahan, manusia juga yang membikinnya? Termasuk
cinta?
Dari tingkat 20 sebuah hotel saya
memandang betapa sibuknya Jakarta. Di langit, bulan begitu suram. Di sepanjang jalan,
lampu-lampu berkilatan seolah berlomba menyemprotkan sinarnya. Diskotik, rumah
makan, pub, mulai sibuk. Para pegawai yang baru pulang, berjajar menunggu mobil
angkutan. Mereka begitu kecil, seperti liliput, dari sini. Atau mungkin mereka
benar-benar liliput dalam gemuruh kota Jakarta.
Entah sejak kapan, dalam pergaulan hidup
dengan jutaan manusia di sini, saya merasa begitu sendiri, begitu sepi. Segala
tempat yang katanya menghibur, tak lebih dari penggumpalan kepenatan. Saya
tetap merasa kehilangan, kehilangan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa
itu.
Apa yang tersisa dari sepi selain separuh
kenangan? 1 Ya, untungnya saya
masih punya kenangan. Apa jadinya hidup manusia seandainya tidak punya
kenangan. Mungkin tidak ada bedanya kita dengan robot. Tapi, apa sekarang saya
bukan robot? Jelas bukan, karena robot tidak mungkin datang ke tingkat 20
sebuah hotel untuk menunggu seseorang. Seseorang dengan rambut sepunggung
bergelombang dan bermata teduh dan berbibir mungil. Ah ya, saya begitu kangen
kepadanya. Sudah sebulan saya tidak bertemu dengannya.
Saya ambil telepon genggam dan pijit-pijit
nomornya.
“Halo.”
“Kenapa lama, Sayang?”
“Jalannya agak macet.”
“Sekarang di mana?”
“Sebentar lagi sampai. Paling lima menit
lagi.”
“Saya sudah kangen.”
“Saya juga.”
**
Dua hari dua malam saya bersama Siska
menghabiskan waktu di sebuah kamar tingkat 20 sebuah hotel. Begitu kangen kami.
Ke mana-mana selalu berdua sambil berpegangan tangan. Saya belai rambutnya,
keningnya, pipinya, matanya, lehernya. Saya cium pelan dan lembut, lalu
bergelora, bergelora seperti ombak yang tidak pernah berhenti. Kami ingin
menumpahkan seluruh rasa kangen yang menggumpal di dada.
Setiap pagi dan malam kami duduk-duduk di
beranda, memandang keluasan langit dan keramaian jalanan.
“Siska, apa kita harus berpisah lagi
setelah ini?” kata saya saat kami duduk-duduk di beranda pada malam kedua.
“Kita bisa janjian lagi nanti.”
“Tapi kamu tahu apa yang ada di pikiran
dan hati saya, Sayang?”
“Tentang apa?”
“Tentang kita. Saya tidak bisa melupakanmu.”
“Sama.”
“Beda Siska. Saya memang mengatakan hal
seperti ini kepada pasangan saya sebelumnya. Kepada Caroline, Ratna, Ineke,
Nisa, dan entah kepada siapa lagi. Tapi setiap mengenang kamu, saya merasa
berbeda. Saya begitu rindu dengan keteduhan sebuah rumah, tempat kita menjadi
pengasuh anak-anak mungil. Saya ingin menikahimu, Siska. Saya ingin membangun
sebuah keluarga, seperti yang pernah dilakukan ibu-bapak kita.”
Siska tertawa.
“Kenapa tertawa, Sayang?”
“Kamu bermimpi. Kita tidak mungkin melakukan
itu.”
“Kenapa? Kita toh belum pernah menikah
dengan siapapun.”
“Tapi saya punya laki-laki lain dan kamu
punya perempuan lain.”
“Kita bia putus, Sayang, putus.”
“Ah, saya tidak bisa mengerti pikiran
kamu.”
Di langit, bulan bersinar redup, seperti
tidak bergairah. Cahayanya berpendar-pendar ingin menembus gumpalan awan hitam.
Angin yang berhembus menyampaikan bau buangan kendaraan. Sayup-sayup suara
klakson bersahutan. Jalanan macet lagi.
“Tapi saya mencintaimu, Siska. Sangat
mencintaimu.”
“Saya juga cinta.”
“Cukup dengan ini menikmati cinta?”
“Ya. Bila kangen kita bisa janjian.”
Saya remas-remas tangan Siska. Saya cium
keningnya dengan lembut. Siska terpejam. Begitu bersih wajahnya. Saya dekap
erat-erat seolah tidak akan melepaskannya lagi.
“Kamu tidak bohong, Siska? Kamu tidak
ingin kita menikah, punya rumah, punya anak-anak yang lucu, punya taman yang
penuh dengan bunga-bunga? Setiap sore kita menyiramnya. Kita ajarkan kepada
anak-anak bahwa hidup mesti seperti bunga, tetap indah meski tumbuh di tempat
sampah. Kamu tidak rindu suasana seperti itu, Siska?”
Siska merangkul saya erat-erat. Tangannya
menjelajah punggung saya. Bibirnya naik mencari bibir saya.
**
Perkenalan saya dengan Siska terjadi
begitu saja, sepele, seperti perkenalan dengan wanita-wanita lainnya. Saya
sedang makan siang di sebuah kafe saat seorang wanita berambut sebahu
bergelombang, memakai rok sejengkal di atas lutut, datang dan duduk di meja
pojok. Beberapa lama saya perhatikan, dia sendirian dan sepertinya tidak sedang
menunggu seseorang. Saya titipkan kepada pelayan secaraik kertas untuk
diberikan kepada wanita itu. Bunyi surat itu: “Saya sendirian, anda sendirian,
kenapa kita tidak bersama?” Lalu saya tulis nomor telepon genggam saya. Dia
tersenyum setelah membaca surat itu, lalu mengeluarkan telepon genggam dari
tasnya dan memijit nomor saya. 2
Selanjutnya keluar kafe bersama dan
janjian di suatu tempat. Selanjutnya kami sering janjian dan menumpahkan segala
hasrat di tempat tidur.
Perkenalan yang sepele. Perkenalan
gampangan seperti saya mengenal Ratna, Devi, Shara, Gladis, dan entah siapa
lagi. Tapi tidak sepele setelah saya sering melihat matanya, senyumnya, geletar
bisikannya, getaran tangannya. Saya menemukan dunia lain yang tidak bisa
diberikan wanita-wanita kenalan lainnya. Mengingat Siska, ingatan saya tidak
hanya jatuh di tempat tidur, seperti saya mengingat wanita-wanita lainnya.
Mengingat Siska saya disadarkan akan
adanya keindahan yang lain. Keindahan sebuah rumah dengan anak-anak mungil dan
taman-taman bunganya. Saya ingin memberikan sesuatu kepada kehidupan di masa
depan saat saya sudah tidak ada. Saya ingin mewakilkan rasa cinta ini kepada
anak-anak saya dan Siska.
Tapi Siska tidak mau. “Kita cukup janjian
kalau kangen,” katanya. Memang banyak wanita dalam hidup saya. Si Tante,
seorang istri pengusaha kaya yang menjadi pasangan kencan pertama saya yang
kemudian memberi saya anak perusahaannya. Lalu teman-teman kerja saya, rekan
bisnis saya, kenalan-kenalan saya di tempat hiburan, dan entah kenalan di mana
lagi. Tapi saya juga yakin, laki-laki dalam hidup Siska tidak hanya saya dan Si
Bapak yang membelikannya sebuah rumah di Pondok Indah beserta keperluan
lainnya.
Apakah bagi manusia seperti saya dan
Siska, cinta hanya berupa kenangan dan keinginan? Bagi saya tidak. Kegerahan
dan kesunyian hidup yang selama ini saya jalani bisa dihempaskan dengan cinta.
Dan hanya pada mata Siska saya menemukan getaran-getaran itu.
**
“Saya mencintaimu, Siska,” bisik saya saat
kami bertemu di sebuah kamar lantai 20 sebuah hotel.
“Saya juga.”
“Apakah cinta hanya sampai pada keadaan
seperti ini?”
Siska tidak menjawab. Tangannya tidak
berhenti mempermainkan rambut saya.
“Saya ingin menikah, Siska.”
Siska tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Kamu bermimpi.”
“Kenapa bermimpi?”
“Kita tidak bisa menikmati hidup seperti
itu.”
“Lalu apa artinya cinta?”
“Cinta itu saat bibirmu bergetar mencium
mata saya. Cinta itu, ya seperti ini.”
Dua hari dua malam saya dan Siska tidak
keluar dari sebuah kamar di lantai 20 sebuah hotel. Begitu selesai malam kedua,
seperti biasa, Siska berkemas, mencium kening saya dan mengucapkan selamat tinggal.
Saya menatapnya sampai Siska keluar kamar.
Dari beranda saya melihat mobil Siska menyusuri jalan, mengecil, dan
menghilang. Tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya,
sesuatu yang saya sendiri tidak tahu.
***
1 Bait pertama dari puisi The Wedding Song
karangan Cecep Syamsul Hari
2 Saya membaca perkenalan seperti ini di sebuah
majalah terbitan Jakarta, tanggal penerbitannya tidak tercatat. Saya sering
khawatir dengan materialisme yang memungkinkan pergaulan seperti ini. Kata
seorang teman, itulah kekhawatiran seorang yang tidak mapan secara ekonomi.
Barangkali iya.
0 Response to "BULAN DI LANGIT KOTA"
Posting Komentar